Catatan Kecil Tentang Sistem Kepercayaan Masyarakat Pager, Gunungkidul
Tulisan ini akan berangkat dari sebuah pengalaman personal tentang keheranan yang berujung pada sebuah kisah soal keyakinan sekelompok masyarakat tertentu. Pengalaman personal ini terjadi beberapa tahun lalu, saat saya sedang menulis tugas akhir S1 tentang sebuah kelompok kesenian Jathilan. Pengalaman ini terjadi di sebuah dusun kecil, bernama Pager, di ujung Yogyakarta, pada sebuah bukit kapur, Gunungkidul.
Tulisan ini akan berangkat dari sebuah pengalaman personal tentang keheranan yang berujung pada sebuah kisah soal keyakinan sekelompok masyarakat tertentu. Pengalaman personal ini terjadi beberapa tahun lalu, saat saya sedang menulis tugas akhir S1 tentang sebuah kelompok kesenian Jathilan. Pengalaman ini terjadi di sebuah dusun kecil, bernama Pager, di ujung Yogyakarta, pada sebuah bukit kapur, Gunungkidul.
Demikianlah yang terjadi; ketika itu
selepas dari kamar mandi keluarga Sukirno, salah seorang informan dalam
kelompok Jathilan yang saya teliti, tidak sengaja saya menginjak seekor kalajengking
kecil yang sedang bersembunyi di bawah keset kamar mandi. Injakan saya itu
tampaknya mengagetkan si kalajengking kecil, dan si kalajengking itupun
menggigit jempol kaki saya.
Sengatan kalajengking kecil itu
terasa seperti api yang membakar ujung jempol kaki saya. Spontan saya berteriak
dan segera membuat seisi rumah, yang ketika itu hanya ada dua bocah kecil anak
keluarga Sukirno, terbangun dari tidur siangnya. Saat itu gerak refleks saya
adalah melompat-lompat dan memegangi ujung jempol kaki dan segera berjingkat ke
dipan terdekat.
Tatik dan Sari tampak kebingungan
dan sedikit panik, melihat tamu rumahnya kesakitan memegang jempol kaki. Tatik
segera berseru sambil berlari ke arah saya, “Kenapa mbak?”, saya pun hanya
berkata “Ini jempolku tik, digigit kalajengking, sakit banget.”. Entah kenapa,
saat itu saya ingin menangis rasanya. Antara rasa sakit yang rasanya begitu
perih, dengan ketakutan bahwa saya akan mati pelan-pelan karena racun yang
disuntikkan oleh kalanjengking itu. Mungkin saat itu, perasaan saya terlalu
berlebihan, tetapi sungguh itu adalah pengalaman pertama saya digigit
kalajengking.
Beberapa detik setelah Tatik dan
Sari melihat saya kesakitan di dipan sambil memegang jempol kaki, Tatik segera
berlari ke sebuah kamar yang saya tahu sebagai kamar doa keluarga Sukirno. Saya
tidak pernah memasuki ruangan itu. Hanya pernah beberapa kali, saya melihat Pak
Sukirno tengah malam masuk ke dalam kamar itu, dan yang saya tahu, ia baru
keluar di pagi harinya. Lalu dari kamar itu, setengah berlari, Tatik segera
keluar sambil mebawa sebuah mata tombak.
Sungguh, saya bingung bukan kepalang
saat itu. Lalu pertanyaan yang muncul saat itu adalah, mengapa Tatik membawa
ujung mata tombak itu. Yang dilakukan Tatik kemudian, adalah sesuatu yang
membuat saya makin bingung dan makin mengaduk-aduk pikiran rasional saya. Tatik
lalu mencium ujung mata tombak itu, mengucapkan salam dan kalimat kurang lebih
yang artinya permisi kepada mata tombak itu, dan mulai sedikit berkomat-kamit
di depan mata tombak itu. Dengan keheranan, saya terus memperhatikan Tatik,
sambil memegang-megang jempol kaki. Lalu Tatik segera menempelkan mata tombak
itu ke titik dimana jempol saya digigit oleh si kalajengking nakal itu.
“Bapak bilang, kalau digigit kalajengking,
tempelkan saja mata tombak ini,” ucap Tatik sambil terus memegangi tembok itu
di jempol saya yang saya sakit. “Mbak percaya saja, pasti sakitnya hilang,”
lanjut Tatik. Entah mengapa, saya seperti patuh pada Tatik, dan mulai berdoa
dalam hati ke tombak itu agar jempol saya segera sembuh. Dan tidak lebih dari
10 menit, rasa sakit saya ternyata berangsur-angsur mulai hilang. Hingga sampai
beberapa saat kemudian, rasa sakit di jempol saya benar-benar hilang. Lalu
setelah menanyakan keadaan saya apakah rasa sakit sudah hilang, Tatik segera
menarik tombak itu dari jempol saya dan mulai berkomat-kamit lagi, sambil
mengucap “maturnuwun mbah”. Takjub, itulah yang saya rasakan saat itu. Saya
pun, secara refleks turut mengucap terimakasih kepada simbah yang ada di tombak
itu.
Hingga kini, saya masih tidak bisa
menjelaskan mengapa jempol kaki saya yang sudah digigit kalajengking itu bisa
sembuh, atau benar-benar menjelaskan mengapa Tatik mengeluarkan tombak itu dari
ruang doa dan menempelkannya kepada jempol saya yang sakit. Yang jelas ketika
itu, saya sungguh melihat Tatik percaya benar-benar bahwa “sesuatu” yang
“mendiami” tombak itu akan menyembuhkan saya.
Dusun
Pager, Dusun Khas Orang Jawa
Secara sederhana, bolehlah saya coba
memberi gambaran tentang lingkungan hidup Tatik dan Sari. Mungkin dengan
gambaran ini, saya bisa memberi sedikit penjelasan kepada pembaca, mengapa
Tatik dan Sari begitu percaya kepada tombak itu.
Dusun Pager adalah sebuah dusun di Kecamatan Playen, Kelurahan Logandeng,
Kabupaten Gunungkidul. Secara umum dusun ini merupakan sebuah dusun kecil
dengan masyarakat yang tidak terlalu mengalami banyak perubahan dari tahun ke
tahun. Dari saat saya melakukan penelitian untuk S1 sekitar enam tahun yang
lalu, hingga saat ini di tahun 2010 ketika saya sekedar berkunjung untuk
melepas rindu, tidak banyak perubahan, terutama secara fisik, yang terjadi pada
dusun ini. Perubahan fisik yang amat
terlihat dari dusun ini adalah banyaknya rumah-rumah yang dulu hanya terbuat
dari kayu, sekarang sudah diganti dengan menggunakan tembok batu. Selain itu
jalan yang dahulu masih terbuat dari tanah dan bebatuan sekarang sudah diaspal.
Suasana sepi dan damai, ketika pagi hari penduduknya berjalan menuju tegalan
untuk bekerja dan mencari pakan ternak, ketika sore hari mereka menaiki sepeda jenki
besar sambil membawa rumput dan hasil ladang, ataupun ibu-ibu tua yang
berjalan tertatih-tatih sambil membawa setumpuk kayu bakar, masih begitu kental
mewarnai dusun ini.
Menurut
cerita dari mulut ke mulut, alkisah mengatakan sebelum dusun ini terbentuk
menjadi sebuah dusun seperti sekarang, tempat dusun ini berdiri adalah sebuah
hutan kosong yang amat lebat dan tidak berpenghuni seorang manusia pun di
dalamnya. Ketika itu datanglah tiga orang sakti ke hutan belantara ini. Mereka
adalah Eyang Pager Wesi, Eyang Jo Singo, dan Eyang Andan Sari. Ketiga orang
sakti itu kemudian berpencar di sekitar hutan, dan memulai membuka hutan pada
daerah masing-masing yang telah mereka pilih. Eyang Jo Singo membuka Dusun
Logandeng, Eyang Andan Sari membuka Dusun Bandung serta Eyang Pager Wesi
membuka Dusun Pager.
Berkat
jasanya membuka Dusun Pager, kemudian nama Eyang Pager Wesi diabadikan
menjadi nama dusun ini. Sampai sekarang
kisah mengenai asal muasal dari dusun ini diturunkan secara mulut ke mulut oleh
para penduduk dusun kepada anak-anak mereka, sehingga banyak sekali anak-anak
penghuni dusun ini yang mengetahui legenda terbentuknya dusun ini.
Selain
mengetahui folklore terbentuknya dusun ini, banyak orang tua, dan sedikit anak
muda yang mempercayai mitos Eyang Pager Wesi dengan kesaktiannya. Sampai dengan
enam tahun yang lalu, situs dimana dipercaya sebagai rumah Eyang Pager Wesi
berada, masih sering didatangi warga Dusun, dan beberapa masih mengambil air
buangan dari selokan rumah itu, karena dipercaya dapat menyembuhkan penyakit.
Ibu Tatik dan Sari, Sadirah, suatu kali pernah bercerita, bahwa ketika ia kecil
dulu, ketika ia sakit mata, ayahnya hanya mengoleskan air comberan dari situs rumah
Eyang Pager Wesi itu ke matanya yang sakit. Dan percaya tidak percaya, sakit
matanya pun sembuh.
Saat
ini, memang tidak bisa dipungkiri kepercayaan itu sudah berangsur-angsur pudar,
mengingat begitu pesatnya arus informasi dan teknologi yang memasuki Dusun
Pager, terutama televisi. Tetapi folklore soal asal usul Dusun ini, paling
tidak cukup berhasil diturunkan sebagai kisah dari mulut ke mulut oleh
orang-orang tua Dusun Pager kepada anak-anak mudanya, yang saat ini memiliki
orientasi pergi ke kota besar seperti Jakarta daripada tetap tinggal di Dusun
mereka.
Yang
masih bisa dibaca hingga kini dari Dusun Pager adalah kepercayaannya yang teguh
dalam memegang tradisi-tradisi Jawa. Walaupun penduduknya telah menganut
agama-agama besar yang tercantum dalam KTP, yang mayoritasnya adalah Islam,
sebagian kecil Kristen, Katolik dan ada beberapa yang menganut Hindu, berbagai
laku tradisi dan kepercayaan Jawa masih tetap dipegang teguh oleh para
penduduknya. Misalnya saja mereka sampai sekarang masih melakukan
upacara selamatan tiga hari, tujuh hari dan seribu hari untuk orang yang sudah
meninggal. Dan yang tidak bisa dilupakan, berbagai mistisme Jawa, seperti
kepercayaan terhadap leluhur, misalnya percaya soal Eyang Pager Wesi, dan
arwah-arwah leluhur yang mendiami benda-benda yang dianggap pusaka, seperti
tombak atau keris, masih lestari dalam sejumlah aspek kehidupan warga Dusun
Pager ini, contohnya saja pada diri Tatik dan Sari yang percaya dalam mata
tombak yang selalu didoakan oleh Ayah mereka, berdiam diri salah seorang arwah
leluhur mereka, yang memiliki kesaktian untuk menyembuhkan penyakit.
Agama
Sebagai Sistem Kebudayaan
Salah seorang antropolog asal
Amerika yang memiliki perhatian besar pada sistem kepercayaan orang Jawa adalah
Clifford Geertz. Ia pernah menulis sebuah buku yang cukup fenomenal dan sempat
menjadi rujukan mengenai agama Islam di Jawa yaitu The Religion of Java. Dengan
mengambil sampel salah satu kota kecil di Jawa Tengah yang namanya ia samarkan
menjadi Modjokuto, Geertz mencoba mengupas soal berbagai kepercayaan dan
mistisme yang hidup dalam budaya masyarakat Jawa.
Dalam konteks Dusun Pager, rabaan
Geertz serta analisisnya saat melihat bagaimana masyarakat Jawa menjalani
sistem kepercayaannya itu, tampaknya sedikit banyak dapat menjelaskan
pengalaman personal saya dengan mata tombak dan sakit di jempol kaki yang reda
itu.
Geertz mencoba memahami agama dan
kepercayaan manusia secara antropologis. Ia menegaskan bahwa kegiatan budaya
manusia merupakan hal-hal yang luar biasa dan sangat khas. Sehingga ketika kita
ingin menjelaskan hal itu, pendekatan saintis tidak akan dapat memberikan titik
terang apapun. Menurut Geertz, apakah kita suka atau tidak, makhluk manusia
berbeda dari atom dan serangga. Manusia hidup di dalam sistem makna yang sangat
rumit. Maka jika kita ingin memahami kegiatan budaya ini, di mana salah satunya
adalah agama dan kepercayaan, kita tidak memiliki pilihan lain kecuali
menemukan metode yang sesuai dengan konteks yang sedang kita teliti. Dan metode
itu, menurut Geertz adalah interpretasi.
Di dalam masalah yang sifatnya
manusiawi, tampaknya jauh lebih bijaksana, jika kita meninggalkan pendekatan
perilaku (explanation of behaviors) yang mungkin diterapkan oleh
ilmu-ilmu sains kepada sekelompok lebah atau jenis ikan tertentu, dan sebagai
gantinya beralih ke metode “interpretasi budaya”. Dengan metode ini, kita akan
mencoba mendekati dan menjelaskan agama dan kepercayaan melalui mata dan ide
orang-orang yang mempraktikkannya. Melangkah lebih lanjut dari pendekatan yang
telah dimasuki oleh fungsionalisme dan reduksionisme dan menuju ke penghargaan
pada dimensi manusiawi yang khas dari agama, seperti ide-idenya, sikap serta
tujuan yang mengilhaminya.
Secara lebih konkrit mungkin
demikian, dengan menginterpretasi apa yang dilakukan oleh Tatik dan Sari kepada
jempol kaki saya, maka kita bisa melihat bagaimana sistem kepercayaan itu hidup
dalam diri mereka, sehingga pada akhirnya bisa dijelaskan mengapa hal-hal yang
tampaknya tidak masuk akal (menurut pemikiran umum ) itu masih terus dilakukan.
Untuk masuk ke dalam sistem
kepercayaan itu, maka yang harus dilakukan adalah, membahas dimensi budaya dari
agama. Dalam konteks ini, Geertz menjelaskan kebudayaan sebagai “susunan arti”
atau ide yang ada dalam simbol, dimana orang meneruskan pengetahuan mereka
tentang kehidupan dan mengekspresikan sikap mereka terhadapnya. Karena di dalam
suatu kebudayaan terdapat berbagai macam sikap dan berbagai macam bentuk
pengetahuan yang diteruskan, maka ada banyak pula “sistem budaya” untuk
membawanya. Mata tombak, bagi Tatik dan Sari adalah sebuah simbol kehadiran
leluhur yang terus dihidupi oleh kisah dan kepercayaan yang diturunkan oleh
orang tua mereka itu.
Salah satu yang dapat menjelaskan
sistem budaya itu secara konkrit adalah seni. Dalam konteks masyarakat Dusun
Pager, salah satu kesenian yang sempat hidup di tengah mereka adalah, kesenian
Jathilan. Sekitar enam tahun lalu, ketika saya melakukan penelitian ke Pager,
kelompok kesenian yang masih hidup di tempat itu bernama Kudho Pawitan. Kudho
Pawitan adalah sebuah kelompok kesenian Jathilan yang anggota penarinya terdiri
dari anak-anak, serta sejumlah pemuda di dusun itu. Salah satu sesepuh dan
pendiri dari kelompok kesenian ini adalah Pak Sukirno, ayah dari Tatik dan
Sari.
Yang menjadi ciri khas dari kesenian
Jathilan adalah titik trance dimana, para pemain Jathilan atau kuda
lumping ini akan mengalami kesurupan. Di Kudho Pawitan para Warok lah yang
membuat mereka kesurupan. Salah seorang yang berperan sebagai Warok berkisah,
bahwa Warok adalah representasi dari Pangeran Samber Nyowo, seorang lelaki
dalam figur Jawa yang memiliki cemeti untuk menghalau para pasukan berkuda,
sehingga para pasukan berkuda itu bisa kehilangan kesadaran.
Selain itu, ia juga bercerita bahwa
kesenian Jathilan ini adalah salah satu cara yang ia dan sejumlah masyarakat
Pager lakukan untuk menguri-uri atau melestarikan tradisi leluhur yang
telah hidup selama ratusan tahun di dusun itu. Simbol yang menurut Geertz
adalah segala sesuatu yang membawa dan menyampaikan suatu ide kepada orang itu dimunculkan
dalam kesenian Jathilan sebagai salah satu bentuk representasi dari penghargaan
terhadap tradisi leluhur. Seperi membakar dupa sebelum memulai atraksi
Jathilan, melakukan laku tapa, dan menyucikan dengan dupa serta sesaji berbagai
peralatan musik untuk Jathilan itu. Sebuah tradisi yang penuh dengan mistisme
Jawa yang seringkali disebut sebagai sebuah kepercayaan Kejawen. Di luar
konteks kesenian Jathilan itu pun, Pak Sukirno, masih sering melakukan berbagai
simbol-simbol budaya itu. Salah satunya adalah pergi ke ruang doa dimana mata
tombak itu disimpan dan membakar dupa di dalam ruang doa itu.
Geertz juga mengatakan bahwa dalam
konteks kepercayaan dan agama, ide dan simbol adalah sesuatu yang bersifat
publik. Artinya ia diamini oleh banyak pihak, walaupun ia masuk dalam pikiran
pribadi individu, namun ide dan simbol itu dapat dipegang terlepas dari otak
individu yang memikirkannya. Untuk konteks masyarakat Dusun Pager, ide dan
simbol itu diamini mereka bersama, bahwa berbagai hal yang dilakukan itu adalah
salah satu cara untuk melestarikan dan menghormati para leluhur yang telah
menjadi semacam pelindung kehidupan serta Dusun mereka.
Kesimpulan
Geertz adalah seorang penentang
reduksionisme fungsionalis, tidak hanya dalam konteks penjelasannya tentang
agama, tetapi juga mengenai sistem budaya manusia. Ia menentang Marx, Durkheim
dan Freud dan menegaskan bahwa sebuah reduksi yang umum terhadap semua agama
sebagai produk dari neurosis yang tersembunyi, kebutuhan sosial, atau konflik
ekonomi, tak lagi mendapatkan kepercayaan dibandingkan teori besar yang lain.
Menurut Geertz, untuk menjelaskan sebuah sistem kepercayaan atau agama dari
suatu kelompok masyarakat tertentu, kita harus mendekati secara khas. Caranya
yaitu dengan melakukan sebuah deskripsi mendalam (thick description) yang
produknya adalah sebuah etnografi. Dalam etnografi ini tidak hanya dijelaskan
tentang penampakan fisik atau materinya saja, tetapi juga penjelasan secara
mendalam tentang berbagai perilaku yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat
itu. Dari berbagai perilaku yang sudah dideskripsikan itu, maka akan tergambar
berbagai emosi yang muncul serta hal-hal personal, yang tidak mungkin
tergambar, jika tidak dilakukan sebuah deskripsi mendalam.
Dari berbagai perilaku yang sudah
dituliskan dan digambarkan itu, maka kita dapat menemukan berbagai ide serta
simbol yang dimunculkan oleh kelompok masyarakat itu. Berbagai simbol yang kemudian
diinterpretasi itu, adalah sebuah ciri khas yang tidak sama pada satu daerah
dengan daerah lainnya, terutama dalam hubungannya tentang sistem kepercayaan
atau agama mereka. Intinya ada berbagai prilaku agama dan kepercayaan yang
berbeda pada tiap masing-masing kelompok, tergantung bagaimana mereka memaknai
simbol-simbol itu. Di sini Geertz ingin mengatakan bahwa tidak mungkin
menjadikan sebuah etnografi kelompok masyarakat tertentu sebagai sebuah teori
umum. Karena yang ingin ia katakan adalah, setiap masyarakat itu unik, khas dan
partikular.
Seperti misalnya pada masyarakat
Dusun Pager ini. Pengalaman personal saya tentang gigitan kalajengkin serta
perilaku Tatik dan Sari yang menggunakan mata tombak sebagai alat penyembuh
jempol kaki saya adalah sebuah tindakan yang harus dijelaskan secara
partikular. Untuk menjelaskan hal itu, pertama-tama yang harus dilakukan adalah
melihat konteks masyarakat Pager dan membuat sebuah etnografi tentang aspek-aspek
kehidupan yang mempengaruhi masyarakat dusun kecil ini.
Dari gambaran yang sudah dilukiskan
tadi, terlihat bahwa masyarakat Pager adalah sebuah masyarakat yang masih teguh
memegang tradisi keJawaan mereka, walaupun banyak dari mereka sudah menganut
berbagai agama besar yang ada di Indonesia. Salah satu yang paling kelihatan
adalah, kebiasaan mereka melakukan berbagai upacara selametan, saat ada
yang meninggal, kelahiran ataupun perkawinan. Tidak peduli apapun agamanya,
tradisi-tradisi selametan itu masih terus mereka hidupi hingga saat ini.
Selain itu, salah satu kesenian yang
menjadi favorit masyarakat dusun ini adalah Jathilan, yang kelompok keseniannya
sempat hidup mewarnai Dusun Pager. Saat ini, setelah salah seorang pendirinya,
Kus, harus hijrah ke Jakarta untuk bekerja, kelompok kesenian Kudho Pawitan
menjadi vakum. Tetapi hal itu tidak membuat kesukaan masyarakat Dusun Pager
terhadap kesenian Jathilan ini memudar. Walau mereka tidak melakukannya
sendiri, tetapi jika ada pentas-pentas Jathilan di dusun tetangga, maka banyak
dari mereka yang akan segera berdatangan ke Dusun tetangga itu.
Yang membuat Jathilan menjadi
kesenian yang amat populer di dusun ini adalah, berbagai ide dan simbol dari
kesenian ini yang secara publik, diamini dan dibagi bersama-sama. Misalnya saja
berbagai mitos yang hidup di belakang Jathilan itu, berbagai ritual yang yang
tidak jauh dan seringkali mereka praktekkan dalam kehidupan sehari-hari
(seperti membakar dupa, atau memberi sesaji pada benda-benda tertentu) adalah
berbagai simbol yang menjadi bagian dalam sistem kepercayaan dan budaya dalam
masyarakat Pager, walaupun banyak dari mereka memiliki agama KTP, seperti
Islam, Kristen, atau Katolik.
Contohnya saja keluarga Bapak
Sukirno, yang sempat saya inapi selama beberapa minggu waktu melakukan
penelitian untuk skripsi itu. Mereka adalah seorang keluarga Katolik yang bisa
dikatakan taat. Ukurannya adalah, tiap hari Minggu pasti mereka rajin ke
Gereja. Setiap akan makan bersama, mereka selalu menyempatkan diri untuk berdoa
bersama dengan cara Katolik, dan ada saat-saat dimana, mereka sekeluarga akan
berkumpul dalam ruang doa untuk berdoa bersama. Tetapi, selain berbagai ritual
dan dogma-dogma Katolik yang mereka amini, mereka juga mengamini berbagai
ritual dan tradisi leluhur yang telah hidup ratusan tahun di dusun itu di tengah-tengah
nenek moyang mereka hidup dahulu kala.
Berbagai hal inilah yang khas yang belum
tentu sama pada setiap komunitas masyarakat yang ada di dunia ini. Sistem
kepercayaan masyarakat Dusun Pager ini ternyata telah menjadi semacam sistem
budaya mereka. Sesuatu yang telah melekat dan tidak bisa digeneralisir sebagai
sebuah teori umum. Begitulah kira-kira yang ingin dikatakan Geertz tentang
agama sebagai sistem kebudayaan. Tentang bagaimana, si Tatik dan si Sari yang
percaya sungguh-sungguh, bahwa tombak yang berisi arwah leluhur mereka, mampu
menyembuhkan jempol kaki seorang tamu yang sedang bersusah payah memahami
sistem budaya mereka.
Referensi
Geertz, Clifford. The Interpretation of Cultures.
Basic Books, Inc., Publishers. New York 1973.
Geerts, Clifford. The Religion of Java. The
University of Chicago Press. London 1976.
Pals, Daniel L. Seven Theories of Religion: Dari Animisme
E.B. Tylor, Materialisme Karl Marx hingga Antropologi Budaya C. Geertz.
Penerbit Qalam. Yogyakarta 2001.
Comments