Skip to main content

Gigitan Kalajengking ala "Pager"

Catatan Kecil Tentang Sistem Kepercayaan Masyarakat Pager, Gunungkidul

Tulisan ini akan berangkat dari sebuah pengalaman personal tentang keheranan yang berujung pada sebuah kisah soal keyakinan sekelompok masyarakat tertentu. Pengalaman personal ini terjadi beberapa tahun lalu, saat saya sedang menulis tugas akhir S1 tentang sebuah kelompok kesenian Jathilan. Pengalaman ini terjadi di sebuah dusun kecil, bernama Pager, di ujung Yogyakarta, pada sebuah bukit kapur, Gunungkidul.

Demikianlah yang terjadi;  ketika itu selepas dari kamar mandi keluarga Sukirno, salah seorang informan dalam kelompok Jathilan yang saya teliti, tidak sengaja saya menginjak seekor kalajengking kecil yang sedang bersembunyi di bawah keset kamar mandi. Injakan saya itu tampaknya mengagetkan si kalajengking kecil, dan si kalajengking itupun menggigit jempol kaki saya.

Sengatan kalajengking kecil itu terasa seperti api yang membakar ujung jempol kaki saya. Spontan saya berteriak dan segera membuat seisi rumah, yang ketika itu hanya ada dua bocah kecil anak keluarga Sukirno, terbangun dari tidur siangnya. Saat itu gerak refleks saya adalah melompat-lompat dan memegangi ujung jempol kaki dan segera berjingkat ke dipan terdekat.

Tatik dan Sari tampak kebingungan dan sedikit panik, melihat tamu rumahnya kesakitan memegang jempol kaki. Tatik segera berseru sambil berlari ke arah saya, “Kenapa mbak?”, saya pun hanya berkata “Ini jempolku tik, digigit kalajengking, sakit banget.”. Entah kenapa, saat itu saya ingin menangis rasanya. Antara rasa sakit yang rasanya begitu perih, dengan ketakutan bahwa saya akan mati pelan-pelan karena racun yang disuntikkan oleh kalanjengking itu. Mungkin saat itu, perasaan saya terlalu berlebihan, tetapi sungguh itu adalah pengalaman pertama saya digigit kalajengking.

Beberapa detik setelah Tatik dan Sari melihat saya kesakitan di dipan sambil memegang jempol kaki, Tatik segera berlari ke sebuah kamar yang saya tahu sebagai kamar doa keluarga Sukirno. Saya tidak pernah memasuki ruangan itu. Hanya pernah beberapa kali, saya melihat Pak Sukirno tengah malam masuk ke dalam kamar itu, dan yang saya tahu, ia baru keluar di pagi harinya. Lalu dari kamar itu, setengah berlari, Tatik segera keluar sambil mebawa sebuah mata tombak.

Sungguh, saya bingung bukan kepalang saat itu. Lalu pertanyaan yang muncul saat itu adalah, mengapa Tatik membawa ujung mata tombak itu. Yang dilakukan Tatik kemudian, adalah sesuatu yang membuat saya makin bingung dan makin mengaduk-aduk pikiran rasional saya. Tatik lalu mencium ujung mata tombak itu, mengucapkan salam dan kalimat kurang lebih yang artinya permisi kepada mata tombak itu, dan mulai sedikit berkomat-kamit di depan mata tombak itu. Dengan keheranan, saya terus memperhatikan Tatik, sambil memegang-megang jempol kaki. Lalu Tatik segera menempelkan mata tombak itu ke titik dimana jempol saya digigit oleh si kalajengking nakal itu.

“Bapak bilang, kalau digigit kalajengking, tempelkan saja mata tombak ini,” ucap Tatik sambil terus memegangi tembok itu di jempol saya yang saya sakit. “Mbak percaya saja, pasti sakitnya hilang,” lanjut Tatik. Entah mengapa, saya seperti patuh pada Tatik, dan mulai berdoa dalam hati ke tombak itu agar jempol saya segera sembuh. Dan tidak lebih dari 10 menit, rasa sakit saya ternyata berangsur-angsur mulai hilang. Hingga sampai beberapa saat kemudian, rasa sakit di jempol saya benar-benar hilang. Lalu setelah menanyakan keadaan saya apakah rasa sakit sudah hilang, Tatik segera menarik tombak itu dari jempol saya dan mulai berkomat-kamit lagi, sambil mengucap “maturnuwun mbah”. Takjub, itulah yang saya rasakan saat itu. Saya pun, secara refleks turut mengucap terimakasih kepada simbah yang ada di tombak itu.

Hingga kini, saya masih tidak bisa menjelaskan mengapa jempol kaki saya yang sudah digigit kalajengking itu bisa sembuh, atau benar-benar menjelaskan mengapa Tatik mengeluarkan tombak itu dari ruang doa dan menempelkannya kepada jempol saya yang sakit. Yang jelas ketika itu, saya sungguh melihat Tatik percaya benar-benar bahwa “sesuatu” yang “mendiami” tombak itu akan menyembuhkan saya.

Dusun Pager, Dusun Khas Orang Jawa
             
Secara sederhana, bolehlah saya coba memberi gambaran tentang lingkungan hidup Tatik dan Sari. Mungkin dengan gambaran ini, saya bisa memberi sedikit penjelasan kepada pembaca, mengapa Tatik dan Sari begitu percaya kepada tombak itu. 

Dusun Pager adalah sebuah dusun di Kecamatan Playen, Kelurahan Logandeng, Kabupaten Gunungkidul. Secara umum dusun ini merupakan sebuah dusun kecil dengan masyarakat yang tidak terlalu mengalami banyak perubahan dari tahun ke tahun. Dari saat saya melakukan penelitian untuk S1 sekitar enam tahun yang lalu, hingga saat ini di tahun 2010 ketika saya sekedar berkunjung untuk melepas rindu, tidak banyak perubahan, terutama secara fisik, yang terjadi pada dusun ini.  Perubahan fisik yang amat terlihat dari dusun ini adalah banyaknya rumah-rumah yang dulu hanya terbuat dari kayu, sekarang sudah diganti dengan menggunakan tembok batu. Selain itu jalan yang dahulu masih terbuat dari tanah dan bebatuan sekarang sudah diaspal. Suasana sepi dan damai, ketika pagi hari penduduknya berjalan menuju tegalan untuk bekerja dan mencari pakan ternak, ketika sore hari mereka menaiki sepeda jenki besar sambil membawa rumput dan hasil ladang, ataupun ibu-ibu tua yang berjalan tertatih-tatih sambil membawa setumpuk kayu bakar, masih begitu kental mewarnai dusun ini.

Menurut cerita dari mulut ke mulut, alkisah mengatakan sebelum dusun ini terbentuk menjadi sebuah dusun seperti sekarang, tempat dusun ini berdiri adalah sebuah hutan kosong yang amat lebat dan tidak berpenghuni seorang manusia pun di dalamnya. Ketika itu datanglah tiga orang sakti ke hutan belantara ini. Mereka adalah Eyang Pager Wesi, Eyang Jo Singo, dan Eyang Andan Sari. Ketiga orang sakti itu kemudian berpencar di sekitar hutan, dan memulai membuka hutan pada daerah masing-masing yang telah mereka pilih. Eyang Jo Singo membuka Dusun Logandeng, Eyang Andan Sari membuka Dusun Bandung serta Eyang Pager Wesi membuka Dusun Pager.

Berkat jasanya membuka Dusun Pager, kemudian nama Eyang Pager Wesi diabadikan menjadi  nama dusun ini. Sampai sekarang kisah mengenai asal muasal dari dusun ini diturunkan secara mulut ke mulut oleh para penduduk dusun kepada anak-anak mereka, sehingga banyak sekali anak-anak penghuni dusun ini yang mengetahui legenda terbentuknya dusun ini.

Selain mengetahui folklore terbentuknya dusun ini, banyak orang tua, dan sedikit anak muda yang mempercayai mitos Eyang Pager Wesi dengan kesaktiannya. Sampai dengan enam tahun yang lalu, situs dimana dipercaya sebagai rumah Eyang Pager Wesi berada, masih sering didatangi warga Dusun, dan beberapa masih mengambil air buangan dari selokan rumah itu, karena dipercaya dapat menyembuhkan penyakit. Ibu Tatik dan Sari, Sadirah, suatu kali pernah bercerita, bahwa ketika ia kecil dulu, ketika ia sakit mata, ayahnya hanya mengoleskan air comberan dari situs rumah Eyang Pager Wesi itu ke matanya yang sakit. Dan percaya tidak percaya, sakit matanya pun sembuh.

Saat ini, memang tidak bisa dipungkiri kepercayaan itu sudah berangsur-angsur pudar, mengingat begitu pesatnya arus informasi dan teknologi yang memasuki Dusun Pager, terutama televisi. Tetapi folklore soal asal usul Dusun ini, paling tidak cukup berhasil diturunkan sebagai kisah dari mulut ke mulut oleh orang-orang tua Dusun Pager kepada anak-anak mudanya, yang saat ini memiliki orientasi pergi ke kota besar seperti Jakarta daripada tetap tinggal di Dusun mereka. 

Yang masih bisa dibaca hingga kini dari Dusun Pager adalah kepercayaannya yang teguh dalam memegang tradisi-tradisi Jawa. Walaupun penduduknya telah menganut agama-agama besar yang tercantum dalam KTP, yang mayoritasnya adalah Islam, sebagian kecil Kristen, Katolik dan ada beberapa yang menganut Hindu, berbagai laku tradisi dan kepercayaan Jawa masih tetap dipegang teguh oleh para penduduknya. Misalnya saja mereka sampai sekarang masih melakukan upacara selamatan tiga hari, tujuh hari dan seribu hari untuk orang yang sudah meninggal. Dan yang tidak bisa dilupakan, berbagai mistisme Jawa, seperti kepercayaan terhadap leluhur, misalnya percaya soal Eyang Pager Wesi, dan arwah-arwah leluhur yang mendiami benda-benda yang dianggap pusaka, seperti tombak atau keris, masih lestari dalam sejumlah aspek kehidupan warga Dusun Pager ini, contohnya saja pada diri Tatik dan Sari yang percaya dalam mata tombak yang selalu didoakan oleh Ayah mereka, berdiam diri salah seorang arwah leluhur mereka, yang memiliki kesaktian untuk menyembuhkan penyakit. 

Agama Sebagai Sistem Kebudayaan

Salah seorang antropolog asal Amerika yang memiliki perhatian besar pada sistem kepercayaan orang Jawa adalah Clifford Geertz. Ia pernah menulis sebuah buku yang cukup fenomenal dan sempat menjadi rujukan mengenai agama Islam di Jawa yaitu The Religion of Java. Dengan mengambil sampel salah satu kota kecil di Jawa Tengah yang namanya ia samarkan menjadi Modjokuto, Geertz mencoba mengupas soal berbagai kepercayaan dan mistisme yang hidup dalam budaya masyarakat Jawa.

Dalam konteks Dusun Pager, rabaan Geertz serta analisisnya saat melihat bagaimana masyarakat Jawa menjalani sistem kepercayaannya itu, tampaknya sedikit banyak dapat menjelaskan pengalaman personal saya dengan mata tombak dan sakit di jempol kaki yang reda itu.

Geertz mencoba memahami agama dan kepercayaan manusia secara antropologis. Ia menegaskan bahwa kegiatan budaya manusia merupakan hal-hal yang luar biasa dan sangat khas. Sehingga ketika kita ingin menjelaskan hal itu, pendekatan saintis tidak akan dapat memberikan titik terang apapun. Menurut Geertz, apakah kita suka atau tidak, makhluk manusia berbeda dari atom dan serangga. Manusia hidup di dalam sistem makna yang sangat rumit. Maka jika kita ingin memahami kegiatan budaya ini, di mana salah satunya adalah agama dan kepercayaan, kita tidak memiliki pilihan lain kecuali menemukan metode yang sesuai dengan konteks yang sedang kita teliti. Dan metode itu, menurut Geertz adalah interpretasi.

Di dalam masalah yang sifatnya manusiawi, tampaknya jauh lebih bijaksana, jika kita meninggalkan pendekatan perilaku (explanation of behaviors) yang mungkin diterapkan oleh ilmu-ilmu sains kepada sekelompok lebah atau jenis ikan tertentu, dan sebagai gantinya beralih ke metode “interpretasi budaya”. Dengan metode ini, kita akan mencoba mendekati dan menjelaskan agama dan kepercayaan melalui mata dan ide orang-orang yang mempraktikkannya. Melangkah lebih lanjut dari pendekatan yang telah dimasuki oleh fungsionalisme dan reduksionisme dan menuju ke penghargaan pada dimensi manusiawi yang khas dari agama, seperti ide-idenya, sikap serta tujuan yang mengilhaminya.

Secara lebih konkrit mungkin demikian, dengan menginterpretasi apa yang dilakukan oleh Tatik dan Sari kepada jempol kaki saya, maka kita bisa melihat bagaimana sistem kepercayaan itu hidup dalam diri mereka, sehingga pada akhirnya bisa dijelaskan mengapa hal-hal yang tampaknya tidak masuk akal (menurut pemikiran umum ) itu masih terus dilakukan.

Untuk masuk ke dalam sistem kepercayaan itu, maka yang harus dilakukan adalah, membahas dimensi budaya dari agama. Dalam konteks ini, Geertz menjelaskan kebudayaan sebagai “susunan arti” atau ide yang ada dalam simbol, dimana orang meneruskan pengetahuan mereka tentang kehidupan dan mengekspresikan sikap mereka terhadapnya. Karena di dalam suatu kebudayaan terdapat berbagai macam sikap dan berbagai macam bentuk pengetahuan yang diteruskan, maka ada banyak pula “sistem budaya” untuk membawanya. Mata tombak, bagi Tatik dan Sari adalah sebuah simbol kehadiran leluhur yang terus dihidupi oleh kisah dan kepercayaan yang diturunkan oleh orang tua mereka itu.

Salah satu yang dapat menjelaskan sistem budaya itu secara konkrit adalah seni. Dalam konteks masyarakat Dusun Pager, salah satu kesenian yang sempat hidup di tengah mereka adalah, kesenian Jathilan. Sekitar enam tahun lalu, ketika saya melakukan penelitian ke Pager, kelompok kesenian yang masih hidup di tempat itu bernama Kudho Pawitan. Kudho Pawitan adalah sebuah kelompok kesenian Jathilan yang anggota penarinya terdiri dari anak-anak, serta sejumlah pemuda di dusun itu. Salah satu sesepuh dan pendiri dari kelompok kesenian ini adalah Pak Sukirno, ayah dari Tatik dan Sari.

Yang menjadi ciri khas dari kesenian Jathilan adalah titik trance dimana, para pemain Jathilan atau kuda lumping ini akan mengalami kesurupan. Di Kudho Pawitan para Warok lah yang membuat mereka kesurupan. Salah seorang yang berperan sebagai Warok berkisah, bahwa Warok adalah representasi dari Pangeran Samber Nyowo, seorang lelaki dalam figur Jawa yang memiliki cemeti untuk menghalau para pasukan berkuda, sehingga para pasukan berkuda itu bisa kehilangan kesadaran.

Selain itu, ia juga bercerita bahwa kesenian Jathilan ini adalah salah satu cara yang ia dan sejumlah masyarakat Pager lakukan untuk menguri-uri atau melestarikan tradisi leluhur yang telah hidup selama ratusan tahun di dusun itu. Simbol yang menurut Geertz adalah segala sesuatu yang membawa dan menyampaikan suatu ide kepada orang itu dimunculkan dalam kesenian Jathilan sebagai salah satu bentuk representasi dari penghargaan terhadap tradisi leluhur. Seperi membakar dupa sebelum memulai atraksi Jathilan, melakukan laku tapa, dan menyucikan dengan dupa serta sesaji berbagai peralatan musik untuk Jathilan itu. Sebuah tradisi yang penuh dengan mistisme Jawa yang seringkali disebut sebagai sebuah kepercayaan Kejawen. Di luar konteks kesenian Jathilan itu pun, Pak Sukirno, masih sering melakukan berbagai simbol-simbol budaya itu. Salah satunya adalah pergi ke ruang doa dimana mata tombak itu disimpan dan membakar dupa di dalam ruang doa itu.

Geertz juga mengatakan bahwa dalam konteks kepercayaan dan agama, ide dan simbol adalah sesuatu yang bersifat publik. Artinya ia diamini oleh banyak pihak, walaupun ia masuk dalam pikiran pribadi individu, namun ide dan simbol itu dapat dipegang terlepas dari otak individu yang memikirkannya. Untuk konteks masyarakat Dusun Pager, ide dan simbol itu diamini mereka bersama, bahwa berbagai hal yang dilakukan itu adalah salah satu cara untuk melestarikan dan menghormati para leluhur yang telah menjadi semacam pelindung kehidupan serta Dusun mereka.

Kesimpulan

Geertz adalah seorang penentang reduksionisme fungsionalis, tidak hanya dalam konteks penjelasannya tentang agama, tetapi juga mengenai sistem budaya manusia. Ia menentang Marx, Durkheim dan Freud dan menegaskan bahwa sebuah reduksi yang umum terhadap semua agama sebagai produk dari neurosis yang tersembunyi, kebutuhan sosial, atau konflik ekonomi, tak lagi mendapatkan kepercayaan dibandingkan teori besar yang lain. Menurut Geertz, untuk menjelaskan sebuah sistem kepercayaan atau agama dari suatu kelompok masyarakat tertentu, kita harus mendekati secara khas. Caranya yaitu dengan melakukan sebuah deskripsi mendalam (thick description) yang produknya adalah sebuah etnografi. Dalam etnografi ini tidak hanya dijelaskan tentang penampakan fisik atau materinya saja, tetapi juga penjelasan secara mendalam tentang berbagai perilaku yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat itu. Dari berbagai perilaku yang sudah dideskripsikan itu, maka akan tergambar berbagai emosi yang muncul serta hal-hal personal, yang tidak mungkin tergambar, jika tidak dilakukan sebuah deskripsi mendalam.

Dari berbagai perilaku yang sudah dituliskan dan digambarkan itu, maka kita dapat menemukan berbagai ide serta simbol yang dimunculkan oleh kelompok masyarakat itu. Berbagai simbol yang kemudian diinterpretasi itu, adalah sebuah ciri khas yang tidak sama pada satu daerah dengan daerah lainnya, terutama dalam hubungannya tentang sistem kepercayaan atau agama mereka. Intinya ada berbagai prilaku agama dan kepercayaan yang berbeda pada tiap masing-masing kelompok, tergantung bagaimana mereka memaknai simbol-simbol itu. Di sini Geertz ingin mengatakan bahwa tidak mungkin menjadikan sebuah etnografi kelompok masyarakat tertentu sebagai sebuah teori umum. Karena yang ingin ia katakan adalah, setiap masyarakat itu unik, khas dan partikular.

Seperti misalnya pada masyarakat Dusun Pager ini. Pengalaman personal saya tentang gigitan kalajengkin serta perilaku Tatik dan Sari yang menggunakan mata tombak sebagai alat penyembuh jempol kaki saya adalah sebuah tindakan yang harus dijelaskan secara partikular. Untuk menjelaskan hal itu, pertama-tama yang harus dilakukan adalah melihat konteks masyarakat Pager dan membuat sebuah etnografi tentang aspek-aspek kehidupan yang mempengaruhi masyarakat dusun kecil ini.

Dari gambaran yang sudah dilukiskan tadi, terlihat bahwa masyarakat Pager adalah sebuah masyarakat yang masih teguh memegang tradisi keJawaan mereka, walaupun banyak dari mereka sudah menganut berbagai agama besar yang ada di Indonesia. Salah satu yang paling kelihatan adalah, kebiasaan mereka melakukan berbagai upacara selametan, saat ada yang meninggal, kelahiran ataupun perkawinan. Tidak peduli apapun agamanya, tradisi-tradisi selametan itu masih terus mereka hidupi hingga saat ini.  

Selain itu, salah satu kesenian yang menjadi favorit masyarakat dusun ini adalah Jathilan, yang kelompok keseniannya sempat hidup mewarnai Dusun Pager. Saat ini, setelah salah seorang pendirinya, Kus, harus hijrah ke Jakarta untuk bekerja, kelompok kesenian Kudho Pawitan menjadi vakum. Tetapi hal itu tidak membuat kesukaan masyarakat Dusun Pager terhadap kesenian Jathilan ini memudar. Walau mereka tidak melakukannya sendiri, tetapi jika ada pentas-pentas Jathilan di dusun tetangga, maka banyak dari mereka yang akan segera berdatangan ke Dusun tetangga itu.

Yang membuat Jathilan menjadi kesenian yang amat populer di dusun ini adalah, berbagai ide dan simbol dari kesenian ini yang secara publik, diamini dan dibagi bersama-sama. Misalnya saja berbagai mitos yang hidup di belakang Jathilan itu, berbagai ritual yang yang tidak jauh dan seringkali mereka praktekkan dalam kehidupan sehari-hari (seperti membakar dupa, atau memberi sesaji pada benda-benda tertentu) adalah berbagai simbol yang menjadi bagian dalam sistem kepercayaan dan budaya dalam masyarakat Pager, walaupun banyak dari mereka memiliki agama KTP, seperti Islam, Kristen, atau Katolik.

Contohnya saja keluarga Bapak Sukirno, yang sempat saya inapi selama beberapa minggu waktu melakukan penelitian untuk skripsi itu. Mereka adalah seorang keluarga Katolik yang bisa dikatakan taat. Ukurannya adalah, tiap hari Minggu pasti mereka rajin ke Gereja. Setiap akan makan bersama, mereka selalu menyempatkan diri untuk berdoa bersama dengan cara Katolik, dan ada saat-saat dimana, mereka sekeluarga akan berkumpul dalam ruang doa untuk berdoa bersama. Tetapi, selain berbagai ritual dan dogma-dogma Katolik yang mereka amini, mereka juga mengamini berbagai ritual dan tradisi leluhur yang telah hidup ratusan tahun di dusun itu di tengah-tengah nenek moyang mereka hidup dahulu kala.

Berbagai hal inilah yang khas yang belum tentu sama pada setiap komunitas masyarakat yang ada di dunia ini. Sistem kepercayaan masyarakat Dusun Pager ini ternyata telah menjadi semacam sistem budaya mereka. Sesuatu yang telah melekat dan tidak bisa digeneralisir sebagai sebuah teori umum. Begitulah kira-kira yang ingin dikatakan Geertz tentang agama sebagai sistem kebudayaan. Tentang bagaimana, si Tatik dan si Sari yang percaya sungguh-sungguh, bahwa tombak yang berisi arwah leluhur mereka, mampu menyembuhkan jempol kaki seorang tamu yang sedang bersusah payah memahami sistem budaya mereka.


Referensi
Geertz, Clifford. The Interpretation of Cultures. Basic Books, Inc., Publishers. New York 1973.
Geerts, Clifford. The Religion of Java. The University of Chicago Press. London 1976.
Pals, Daniel L. Seven Theories of Religion: Dari Animisme E.B. Tylor, Materialisme Karl Marx hingga Antropologi Budaya C. Geertz. Penerbit Qalam. Yogyakarta 2001. 

Comments

Popular posts from this blog

Di Belakang Film The Mission : Ketika “si Putih” bekerja dengan “si Merah”.

Sedikit Pengantar Film adalah sebuah karya yang tidak mungkin dikreasi sendirian. Ia muncul menjadi semacam perhelatan bersama berbagai elemen di balik layar serta di depan layar yang pada akhirnya menjadi sebuah konsumsi publik. Film berangkat dari sebuah kerja yang solid antar berbagai individu yang sejatinya memiliki visi dan tujuan sama. Tanpa ada kerja yang benar-benar rekat antar berbagai elemen, seperti para aktor, sutradara, teknis produksi ataupun produser, maka sulit dibayangkan akan tercipta sebuah film yang layak untuk ditonton. Lalu bagaimana jika sebuah film digarap oleh berbagai elemen yang masing-masing memiliki stereotipe-stereotipe yang membuat salah satu diantara mereka menjadi “yang lain”. Predikat “yang lain” inilah yang akhirnya menjadi semacam standar bagi para kru film ini untuk memperlakukan si “yang lain” ini dengan berbeda. Inilah yang jadi begitu menarik dan terlihat jelas dalam “dapur” sebuah film garapan sutradara peraih Oscar, Roland Joffe.”Yang lai

Dunia Diane Arbus, Dunia Sunyi Yang Eksentrik

http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Diane-Arbus.html Saya adalah penggemar karya foto yang memotret manusia tepat pada matanya. Bagi saya, mata itu adalah ruang yang mampu berbicara banyak tentang diri. Ia adalah ruang kosong tempat segala pedih, atau keriaan yang jujur tersimpan. Salah seorang fotografer yang saya kagumi karena  mampu menangkap ruang jujur itu adalah Diane Arbus. Ruang-ruang jujur yang tertangkap kamera itu lah yang membuat karya Diane begitu intim. Seperti ada kedekatan yang tidak artifisial. Dalam setiap bidikannya, Diane mampu menangkap mata dengan begitu telanjang. Mungkin juga karena Diane dan subjeknya sesungguhnya tidak berjarak. Bisa jadi, Diane dan subjek foto itu adalah bagian dari masing-masing. Jangan-jangan yang Diane foto adalah proyeksi tentang dirinya sendiri. Siapakah Diane Arbus ? Diane lahir dengan nama Diane Nemerov pada 14 Maret 1923 di New York. Diane berasal dari kalangan menengah New York. Ia adalah putri Gertrude

Sesudah Melihat 'The Last Temptation Of Christ'

Apreasiasi luar biasa (dan sungguh terlambat) untuk Martin Scorsese, yang masih tetap nekat mengadaptasi novel kontroversial Nikos Kazantzakis ke dalam media film. Ya, saya memang sangat terlambat untuk benar-benar memaknai film ini. Setelah menyaksikan untuk yang ketiga kali tanpa ketiduran (haha), saya akhirnya mampu merefleksi film ini secara lebih personal. Pada saat novel The Last Temptation of Christ terbit tahun 1953, novel ini begitu banyak mengundang kontroversi. Novel ini juga seringkali masuk dalam daftar buku yang dilarang. Sumber kontroversi utama dari buku ini (dan berikutnya film ini), adalah pada dekonstruksi (atau mungkin bisa disebut sebagai refleksi personal) Nikos atas tokoh suci umat Kristen, Yesus, serta kisah penebusan oleh Yesus yang sudah didogmakan dalam Injil. Maafkan karena saya belum membaca novelnya. Oleh karena itu, saya hanya bisa merefleksi film garapan Scorsese yang sempat mendapat nominasi Academy Award untuk kategori Sutradara Terbaik.