Skip to main content

Review Film 2001 a Space Odyssey: Manusia ‘Suntuk’ yang ‘Terkutuk'

Sedikit berefleksi sehabis melihat 2001 a Space Odyssey.

Dalam sebuah perbincangan, seorang kawan mengatakan bahwa saya ini tergolong manusia ‘suntuk’ yang seringkali tidak mendaratkan pikirannya pada landasan yang bisa diciptakan sendiri. Pikiran saya melulu melayang, dan outputnya garukan di kepala karena sulit menemukan apa jawaban dari pikiran yang terbang entah kemana itu -atau jangan-jangan...ketombe di kepala saya sedang menagih untuk dicuci- :p.

‘Suntuk’ di kepala itu terkadang membuat saya menjadi manusia ‘terkutuk’ diantara kerumunan yang saya hadiri. Energi yang saya tularkan membuat sekitar saya...,ya jadi ikut-ikutan suntuk, padahal –sungguh- saya tidak bermaksud demikian. Saya memang cuma senang berpikir dan menurut saya, tanpa pikir bagaimana mungkin makna yang seharusnya dihidupi dalam ruang-ruang kemanusiaan saya bisa hadir.

2001 a Space Odyssey

Salah satu yang sering membuat saya ‘suntuk’ pikir adalah saat membaca dan mereka-reka sejumlah film yang membuat otak dan hati saya gelisah. Film yang cukup berhasil melakukan hal itu adalah 2001 a Space Odyssey garapan sutradara Stanley Kubrick.

Film ini berawal dari sebuah cerita pendek berjudul Sentinel garapan Arthur C Clarke, kemudian bersama dengan Stanley Kubrick, ia menulis screenplay untuk film ini. Novel yang ditulis berdasarkan screenplay dari film ini pun dirilis tidak lama setelah Space Odyssey keluar.

Space Odyssey dibuat pada tahun 1968, setahun sebelum pendaratan manusia pertama (yang tercatat dengan sangat populer dalam sejarah manusia) di bulan oleh Neil Armstrong dan Aldrin. Hal ini adalah salah satu yang -menurut saya- membuat film ini jadi begitu luar biasa. Berbagai imaji tentang luar angkasa, termasuk kapal angkasa serta berbagai teknologi yang dimunculkan sudah melampaui jaman ketika film ini dibuat.

Film ini dibagi dalam beberapa bab yang sukses membuat mata saya tidak bisa berhenti melotot di depan layar notebook. Walau beberapa kali sempat hampir lelap dalam kantuk, film yang beralur lambat dan minim dialog ini sukses membuat saya penasaran, bahkan hingga saat ini masih bertanya-tanya apa sebenarnya yang ingin disampaikan oleh Kubrick serta Clarke lewat film ini.

Bab pertama adalah The Dawn of Man. Dalam bagian ini, diperlihatkan sekumpulan kera yang digambarkan sebagai nenek moyang manusia sedang melakukan berbagai aktivitas keseharian. Diceritakan bahwa pada awalnya mereka tidak memiliki alat bantu apapun. Para kera ini hanya makan tumbuh-tumbuhan di sekitar mereka, menggali-gali tanah dengan tangan, serta sama sekali tidak bisa membela diri ketika bahaya datang mengancam. Bahaya yang seringkali menguntit yang tidak hanya datang dari hewan-hewan pemangsa di sekitar mereka, tetapi juga dari kelompok kera lain yang memperebutkan lahan subur dengan sumber mata air didalamnya.

Suatu ketika benda persegi panjang berwarna hitam –yang kemudian disebut monolith- tiba-tiba hadir di tengah kelompok kera ini. Dengan sangat takjub dan dipenuhi rasa penasaran tinggi, para kera ini mengerumuni monolith tersebut. Mereka pun menyentuh monolith itu dengan was-was.

Setelah pertemuan dengan monolith itu, sebuah kesadaran baru seperti muncul dalam sekumpulan kera itu. Sebuah kesadaran yang pertama kali hadir pada seekor kera yang tiba-tiba saja melihat fungsi dari sisa-sisa tulang yang berserakan di sekitarnya.

Lewat kesadaran itu mereka akhirnya memiliki alat untuk berburu, membela diri dan akhirnya memiliki kuasa atas kelompok kera lainnya. Dengan alat bantu itu mereka berhasil membunuh seekor pemimpin kelompok kera lain, serta akhirnya bisa melegitimasi kekuasaan atas kepemilikan sumber mata air di tanah itu.

Kemudian bab kedua dari film ini adalah TMA-1 (Tycho Magnetic Anomali One). Bab ini berkisah tentang misi yang diemban oleh Dr. Heywood R. Floyd (William Sylvester) ke bulan untuk menyelidik sebuah benda asing yang ternyata sudah terkubur selama 4 juta tahun di bulan. Benda asing itu mereka identifikasi sebagai TMA-1 yang sangat identik dengan monolith yang tiba-tiba hadir dalam komunitas kera purba di bab pertama. Misi yang sangat rahasia ini kemudian membawa Dr. Heywood beserta rombongannya berhadap-hadapan dengan monolith itu. Namun saat mereka berhadap-hadapan, sebuah bunyi yang mampu memecahkan gendang telinga menginterupsi pertemuan tersebut.

Bunyi dengan nada tinggi itu menghantar kita ke bab selanjutnya, Jupiter Mission. Bab ini mengisahkan apa yang terjadi 18 bulan setelah misi Dr. Heywood ke bulan. Dikisahkan bahwa setelah misi ke bulan itu sebuah sinyal yang sangat kuat yang berasal dari Jupiter terlacak ke bumi. Lewat dorongan sinyal itu, diberangkatkanlah sebuah misi ke Jupiter beranggotakan lima orang ilmuwan, serta satu buah komputer yang mengontrol seluruh pesawat bernama HAL 9000 atau cukup disapa HAL. Kedua ilmuwan yang tetap terjaga dan tidak masuk ke dalam ruang hibernasi adalah Dr. David Bowman (Keir Dullea) serta Dr. Frank Poole (Gary Lockwood).

Suatu ketika, HAL yang mengklaim dirinya tidak pernah error sedikit pun, mendeteksi adanya malfungsi dalam salah satu sistem pesawat. Namun setelah Bowman dan Poole memeriksa deteksi HAL itu, ternyata tidak ditemukan adanya malfungsi. Ruang kontrol di bumi pun juga tidak menemukan kesalahan apapun. Tetapi HAL rupanya tidak terima akan klaim bahwa ia bisa salah. HAL malah mengatakan bahwa malfungsi yang ia deteksi itu adalah sebuah human error. Membaca gelagat HAL yang mungkin dapat menciptakan preseden buruk itu, Bowman dan Poole berdiskusi dalam ruang kedap suara untuk membicarakan rencana mennonaktifkan HAL. Namun tanpa diketahui oleh kedua orang itu, HAL ternyata membaca gerak bibir mereka, dan marah besar ketika tahu bahwa kedua ilmuwan itu berencana menonaktifkan dia.

HAL si komputer super pintar yang selama ini masih dipertanyakan apakah ia memiliki emosi atau tidak, mengeluarkan emosi marahnya kepada dua orang ilmuwan itu. Ia memotong jalur oksigen ke Poole yang ketika itu sedang berada di luar pesawat lalu memutuskan tali pengaman Poole. Selain Poole, HAL juga memutus sambungan life support tiga ilmuwan yang berada dalam tabung hibernasi.  Bowman yang bermaksud menyelamatkan tubuh Poole tidak diijinkan oleh HAL untuk masuk kembali ke pesawat. HAL mengatakan, rencana Bowman dan Poole untuk menonaktifkan HAL dapat mengancam keberlangsungan dari misi Jupiter itu. Dengan perjuangan yang cukup dramatis, Bowman berhasil masuk kembali dalam pesawat dan masuk ke dalam ruang prosesor inti dari HAL lalu menonktifkan HAL secara perlahan-lahan.

Saat sabotase oleh HAL ini terjadi, pesawat luar angkasa Discovery One yang ditumpangi oleh Bowman ternyata telah memasuki wilayah Jupiter. Saat inilah Space Odyssey memasuki bab terakhirnya, Jupiter and Beyond Infinite. Dalam bab ini digambarkan monolith hitam itu ternyata juga berada melayang-layang dalam wilayah Jupiter. Bowman yang telah menaiki pod, masuk dalam lintasan-lintasan cahaya yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Ia seperti dibawa melintasi, lalu masuk dalam dimensi yang berbeda.

Akhirnya Bowman dengan pod-nya itu tiba dalam sebuah ruang tidur dengan dekorasi ala Louis XVI. Dalam dimensi itu, Bowman menjadi tua dan berada dalam kondisi-kondisi yang berbeda. Ada kondisi saat ia sedang menghabiskan makanannya. Namun tiba-tiba ia berubah semakin tua dan terbaring pada kasur. Saat ia terbaring, di depan kasurnya telah berdiri monolith hitam yang legendaris itu. Ketika Bowman mencoba meraih monolith itu dengan tangannya, ia berubah menjadi fetus yang terbungkus dalam rahim transparan. Seketika, fetus Bowman itu berada dalam orbit bumi dan seperti hendak bergerak masuk menembus bumi.

Evolusi Menjadi Übermensch

Saya yang suntuk ini pun setelah menghabisi Space Odyssey, jadi berpikir serta yakin sekali kalau film ini pada akhirnya mau bicara tentang sebuah proses evolusi. Sebuah proses menjadi, bergerak dari sesuatu yang tadinya amat sederhana menuju ke sesuatu yang lebih kompleks.

Sebuah proses evolusi menjadi manusia yang lebih sempurna, seperti konsep manusia ideal yang diangan-angankan Nietzsche, Übermencsh. Namun, sesungguhnya saya pun tidak benar-benar yakin kalau yang dibicarakan oleh Kubrick atau Clarke adalah tentang menjadi Übermensch ini. Saya sendiri pun tidak betul-betul paham soal konsep ini. Sungguh, saya cuma sedikit tahu dan hanya tahu kulit-kulitnya saja. Jadi maafkan kalau saya jadi terkesan sok tau dan –mungkin- malah mengacaukan konsep Übermencsh yang benar.

Namun, bolehlah saya mencoba meladeni ‘kesuntukan’ saya ini. Jika kembali ke awal film, kita pasti akan mendengar lagu latar gubahan Richard Strauss berjudul Also Sprach Zarathustra. Dari sepenggal lagu latar tadi, saya jadi teringat konsep milik Nietzsche yang ia sebut sebut dalam buku Also Sprach Zarathustra.

Karena saya tidak pandai membaca karya Nietzsche yang asli, untuk memberi gambaran singkat soal konsep Übermensch ini, saya ingin mengutip konsep Übermensch dari buku yang begitu sederhana menjelaskan pemikiran Nietzsche ini.

Dalam buku Nietzsche, St. Sunardi menuliskan bahwa ajaran Nietzsche tentang Übermencsh diperkenalkan lewat mulut tokoh Zarathustra. Zarathustra jugalah yang mewartakan tentang kematian Tuhan. Lewat ajarannya, Zarathustra mengatakan bahwa manusia adalah sesuatu yang harus diatasi (Übermensch). Bagi Nietzsche, kebutuhan orang yang paling mendesak adalah soal pemaknaan. Karena itulah melalui tokoh Zarathustra, ia mengajarkan nilai tanpa jaminan kepada semua orang. Nilai ini adalah Übermensch yang memberikan cara kepada manusia untuk memberikan nilai pada dirinya sendiri tanpa berpaling dari dunia dan menengok ke seberang dunia. Dengan cara penilaian ini, Nietzsche tidak lagi menaruh kepercayaan kepada setiap bentuk nilai adikodrati dari manusia dan dunia. *

Dalam konteks 2001 a Space Odyssey ini, sepertinya Kubrick dan Clarke ingin memberikan ide kepada khalayak tentang proses evolusi yang –mungkin terjadi atau seharusnya terjadi- dalam kehidupan manusia. Proses menjadi manusia yang mampu mengatur dan menguasai dorongan-dorongan hidup dengan selalu mengatakan “ya” pada hidup. Untuk mengafirmasi ide ini, Kubrick dan Clarke masuk lewat bab-bab cerita yang ia awali dari awal bangkitnya manusia dalam The Dawn of Man. Lewat The Dawn of Man, Kubrick menggambarkan awal kebangkitan manusia yang dimulai dengan penemuan sebuah alat bantu.

Namun untuk membuka gembok-gembok pikir yang seringkali mengunci otak manusia, Kubrick dan Clarke menciptakan sebuah medium berbentuk monolith hitam yang hingga akhir film tidak pernah dijelaskan asal muasalnya atau apa persisnya benda hitam persegi itu. Kalau menurut reka-reka saya, monolith itu bisa jadi semacam medium untuk menggugah kesadaran para kera yang masih tependam. Kalau saya andaikan, monolith itu adalah semacam representasi dari nabi yang tujuan mulianya adalah menggelitik otak para kera itu untuk tidak lagi bebal dan malas berpikir.

Kebangkitan manusia lewat penemuan alat bantu itu, terus bergerak sampai batas-batas yang tidak terbayangkan lagi. Bukan lagi bumi dan segala sesuatu di dalamnya yang ditaklukkan, tetapi luar angkasa serta dimensi-dimensi yang tak berbatas lainnya juga semakin terjangkau oleh manusia. Dalam The Dawn of Man, Kubrick ingin memberi pengantar bahwa satu penemuan sederhana, mungkin sekali bisa menjadi pemantik bagi penemuan revolusioner dalam tahap-tahap kehidupan manusia selanjutnya.

Dalam bab-bab selanjutnya Kubrick ingin menegaskan bahwa proses perkembangan manusia menjadi lebih kompleks telah benar-benar terjadi. Namun proses perkembangan yang begitu luar biasa itu ternyata tidak benar-benar membuat manusia berdaya. Semakin kompleks dan semakin maju tingkat perkembangan manusia ini ternyata semakin membuat manusia tergantung pada alat-alat yang mereka ciptakan sendiri. Terkadang para manusia ini justru tidak berdaya di depan alat-alat yang mereka ciptakan. Misalnya saja saat Dr. Heywood hendak pergi ke toilet. Ia tampak kebingungan karena harus membaca instruksi yang begitu banyak dan cukup membingungkan.

Ketergantungan manusia pada alat ciptaannya itu lebih jelas diafirmasi dalam bab Misi ke Jupiter lewat karakter HAL, si komputer super pintar yang ternyata memiliki emosi khas manusia. HAL yang sejatinya diciptakan oleh para ilmuwan untuk mempermudah kerja  serta membantu misi ke Jupiter, malah membuat misi ini gagal total. Yang lebih buruk lagi, HAL juga bertanggung jawab terhadap kematian empat orang ilmuwan yang ikut serta dalam misi tersebut.

Kubrick dan Clarke sepertinya ingin mengatakan bahwa ketika manusia mulai menggantungkan diri pada hal-hal yang berada di luar diri mereka, maka saat itu juga manusia –sangat mungkin- mulai menjadi lemah. Dalam konsep Übermensch  milik Nietzsche ini -mungkin saja- sesuatu yang berada di luar diri manusia itu maksudnya adalah Tuhan. Apalagi dalam konteksnya ketika itu,  Nietzsche amat mengkritik Kekristenan. Dalam agama Kristen, menurut Nietzsche, orang harus mencapai tujuan hidupnya yang terletak jauh di depan. Orang harus berlomba mencapai tujuan itu berdasarkan moralitas yang direduksi. Dan dengan moralitas yang demikian, pengalaman yang paling menonjol adalah perasaan bersalah atau berdosa. Akibatnya, kehidupan manusia seringkali direndahkan oleh manusia itu sendiri.

Manusia yang menjadi lemah karena –sepertinya- sudah tidak lagi berkata “ya” pada hidup, direpresentasikan lewat tokoh Bowman yang melihat dirinya menjadi tua tak berdaya ketika sampai pada dimensi berbeda. Bowman seperti kehilangan kediriannya. Seluruh energi hidupnya seperti sudah habis dihisap oleh hal-hal yang berada di luar dirinya. Entah apa itu. Bowman tampak renta dan akhirnya terbaring tak berdaya di atas sebuah kasur, hingga akhirnya terkaget-kaget menatap monolith hitam yang berdiri kokoh di depannya.

Saat ia ingin meraih kesadarannya untuk menjadi manusia yang benar-benar hidup kembali dengan cara menggapai monolith hitam itu, Bowman lalu bertransformasi menjadi fetus dalam rahim yang transparan. Ia terlahir kembali sebagai anak bintang yang takdirnya adalah kembali ke bumi untuk benar-benar meraih kemanusiaannya. Bowman mungkin saja membawa misi besar bagi seluruh umat manusia. Ia mungkin saja ditakdirkan untuk ‘menghancurkan’ manusia-manusia dekaden yang telah lupa pada kehidupan itu sendiri.

Übermencsh Yang ‘Suntuk’ 

Selepas dari ‘kesuntukan’ saya meracau soal Übermensch dan 2001 a Space Odyssey yang belum tentu tepat ini, saya lalu melayangkan pikiran dalam ruang hitam serta lintasan-lintasan cahaya yang digambarkan oleh Kubrick dengan sangat indah dalam bab terakhir di film ini.

Dalam kondisi pikiran terbang itu saya berpikir bahwa amat sulit menjadi manusia yang sungguh-sungguh melulu berkata “ya” pada hidup. Apalagi benar-benar percaya diri untuk tidak menggantungkan diri pada kekuatan adikodrati yang ada di luar diri saya. Semenjak lahir saya sudah diafirmasi terus menerus bahwa saya adalah manusia lemah dan saya butuh ‘sesuatu’ yang berkekuatan super besar yang mampu mengatur arah hidup saya dengan sekali angguk saja. Saya diafirmasi melulu tentang figur Tuhan, sampai-sampai saya juga percaya bahwa ‘jika Tuhan tidak berkehendak maka apapun tidak mungkin akan terjadi’. Ini adalah pengetahuan yang melulu disuntikan kepada saya, dari saya lahir hingga saat ini saya berumur lebih dari 30.

Dan sungguh, bukan saya menolak atau saya tidak nyaman dengan pengetahuan itu. Ya, saya sempat mengkritisinya dan bahkan hingga saat ini masih terus mengkritisi hal itu. Apalagi saya ini tipe ‘suntuk’ yang kerjaannya mikir dan mikir (walau yang dipikirin tentu belum tentu produktif, kadang saya mikir jorok sih,... ahh bukan kadang sih, sering sepertinya...:p).  Tetapi saya, pada titik ini, merasa nyaman dengan pengetahuan itu. Karena jika saya sedang gelisah, saya punya alasan untuk percaya pada sesuatu serta punya alasan untuk tetap berharap bahwa kegelisahan saya ini pasti akan berakhir dengan bantuan Tuhan atau entah apapun namanya yang –pokoknya- berada di luar diri saya dan sifatnya adikodrati.

Tapi, ide soal Übermensch ini rasa-rasanya patut dipikirkan juga. Apalagi penggalannya soal berkata “ya” pada hidup. Intinya, kalau saya ramu sendiri, lebih baik mencintai manusia dan kemanusiaannya daripada melulu ‘suntuk’ dengan hal-hal di luar kemanusiaan saya. Karena jika saya sudah berhasil ‘suntuk’ dengan kemanusiaan saya sendiri, lalu benar-benar berhasil mengafirmasinya, mungkin saja ‘kesuntukan’ saya ini tidak lagi akan ‘terkutuk’.


*[1] St. Sunardi, Nietzsche, hal 141-144.
 (sedang ‘suntuk’ mencari formula ‘kesuntukan’ yang lebih hidup), Pringgolayan, 9 Juni 2013

Referensi : Sunardi, St, Nietzsche, Yogyakarta: LkiS, 2006.

Comments

Popular posts from this blog

Di Belakang Film The Mission : Ketika “si Putih” bekerja dengan “si Merah”.

Sedikit Pengantar Film adalah sebuah karya yang tidak mungkin dikreasi sendirian. Ia muncul menjadi semacam perhelatan bersama berbagai elemen di balik layar serta di depan layar yang pada akhirnya menjadi sebuah konsumsi publik. Film berangkat dari sebuah kerja yang solid antar berbagai individu yang sejatinya memiliki visi dan tujuan sama. Tanpa ada kerja yang benar-benar rekat antar berbagai elemen, seperti para aktor, sutradara, teknis produksi ataupun produser, maka sulit dibayangkan akan tercipta sebuah film yang layak untuk ditonton. Lalu bagaimana jika sebuah film digarap oleh berbagai elemen yang masing-masing memiliki stereotipe-stereotipe yang membuat salah satu diantara mereka menjadi “yang lain”. Predikat “yang lain” inilah yang akhirnya menjadi semacam standar bagi para kru film ini untuk memperlakukan si “yang lain” ini dengan berbeda. Inilah yang jadi begitu menarik dan terlihat jelas dalam “dapur” sebuah film garapan sutradara peraih Oscar, Roland Joffe.”Yang lai

Dunia Diane Arbus, Dunia Sunyi Yang Eksentrik

http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Diane-Arbus.html Saya adalah penggemar karya foto yang memotret manusia tepat pada matanya. Bagi saya, mata itu adalah ruang yang mampu berbicara banyak tentang diri. Ia adalah ruang kosong tempat segala pedih, atau keriaan yang jujur tersimpan. Salah seorang fotografer yang saya kagumi karena  mampu menangkap ruang jujur itu adalah Diane Arbus. Ruang-ruang jujur yang tertangkap kamera itu lah yang membuat karya Diane begitu intim. Seperti ada kedekatan yang tidak artifisial. Dalam setiap bidikannya, Diane mampu menangkap mata dengan begitu telanjang. Mungkin juga karena Diane dan subjeknya sesungguhnya tidak berjarak. Bisa jadi, Diane dan subjek foto itu adalah bagian dari masing-masing. Jangan-jangan yang Diane foto adalah proyeksi tentang dirinya sendiri. Siapakah Diane Arbus ? Diane lahir dengan nama Diane Nemerov pada 14 Maret 1923 di New York. Diane berasal dari kalangan menengah New York. Ia adalah putri Gertrude

Sesudah Melihat 'The Last Temptation Of Christ'

Apreasiasi luar biasa (dan sungguh terlambat) untuk Martin Scorsese, yang masih tetap nekat mengadaptasi novel kontroversial Nikos Kazantzakis ke dalam media film. Ya, saya memang sangat terlambat untuk benar-benar memaknai film ini. Setelah menyaksikan untuk yang ketiga kali tanpa ketiduran (haha), saya akhirnya mampu merefleksi film ini secara lebih personal. Pada saat novel The Last Temptation of Christ terbit tahun 1953, novel ini begitu banyak mengundang kontroversi. Novel ini juga seringkali masuk dalam daftar buku yang dilarang. Sumber kontroversi utama dari buku ini (dan berikutnya film ini), adalah pada dekonstruksi (atau mungkin bisa disebut sebagai refleksi personal) Nikos atas tokoh suci umat Kristen, Yesus, serta kisah penebusan oleh Yesus yang sudah didogmakan dalam Injil. Maafkan karena saya belum membaca novelnya. Oleh karena itu, saya hanya bisa merefleksi film garapan Scorsese yang sempat mendapat nominasi Academy Award untuk kategori Sutradara Terbaik.