Skip to main content

Selalu Hari Minggu di Biak

Saya selalu membayangkan kemewahan semacam ini pasti tidak banyak dimiliki oleh orang-orang yang tinggal di kota-kota besar. Kemewahan menikmati hari-hari dengan ritme lambat ibarat hari yang melulu akhir pekan. Hari dimana banyak keluarga menghabiskan waktu libur bersama, hari yang disebut dalam penanggalan sebagai hari Minggu. 

Sungguh saya sangat beruntung dapat menikmati kemewahan sedemikian rupa selama lebih kurang sebulan. Sebuah kemewahan yang saya dapatkan di sebuah negeri di Teluk Cendrawasih. Negeri yang berada di Provinsi Papua, bernama Kabupaten Biak Numfor. Di negeri ini, setiap hari saya selalu merasakan hari-hari yang rimanya berirama laut yang ditingkahi angin sepoi-sepoi.

Biak Numfor adalah sebuah gugusan pulau-pulau karang (atol) yang daratannya membentang seluas 2.602 Km² atau sekitar 0,62 persen dari luas seluruh Provinsi Papua. Secara geografis Biak Numfor bersebrangan dengan Samudra Pasifik yaitu pada titik 134̊ 47’ - 136̊ 45’ Bujur Timur dan 0̊ 55’ - 1̊ 27’ Lintang Selatan. Komposisi Biak Numfor yang terdiri dari pulau-pulau karang itu membuat Biak Numfor tidak bisa melepaskan diri dari pantai, laut, suasana ceria serta rima lambatnya khas orang-orang ‘pinggir pantai’.

                Laut dan Pinang

Laut dan Pinang sepertinya sulit dipisahkan dari orang-orang Biak Numfor. Semenjak saya tiba di Bandara Frans Kaisiepo hingga saya kembali lagi ke Bandara yang sama untuk pulang ke Pulau Jawa, sepanjang yang saya ingat, senyum-senyum merah tua serta gigi yang hampir habis menyambut kehadiran saya dengan ramah.

Pinang adalah tradisi turun temurun orang Biak Numfor. Tradisi ini bahkan telah menubuh dalam diri orang Papua secara umum. Orang Biak Numfor yang adalah bagian dari orang Papua, merupakan salah satu yang bertradisi laut dan menikmati pinang sebagai bagian peninggalan leluhur serta gaya hidup keseharian mereka. 

Pinang (Areca Catechu L) yang konon berasal dari tanah Malaya adalah sejenis palma yang tumbuh di daerah Pasifik, Asia serta Afrika bagian timur. Dalam bahasa Inggris ia dikenal dengan sebutan Betel palm atau Betel nut tree. Pinang memiliki batang yang lurus langsing dan tingginya dapat mencapai 25 meter dengan diameter kurang lebih 15 cm. Pelepah daunnya berbentuk tabung dengan panjang kira-kira 80 cm. Ujung daunnya pun sobek dan bergerigi.

Di Biak, pinang tidak dikunyah sendirian, ia dikunyah bersama kapur, serta sirih. Tanpa kedua pelengkap itu, mengunyah pinang akan terasa hambar dan tidak akan menyenangkan. Di Biak, serta Papua secara umum, tradisi mengunyah pinang yang telah menubuh ini merupakan tradisi orang Papua yang berfungsi secara sosial serta kultural. Biji pinang beserta perangkatnya juga dijadikan semacam pengantar saat pertemuan adat untuk membahas perkawinan.

Bagi masyarakat Biak, ketika tradisi mengunyah pinang dilakukan, segala ketegangan mungkin bisa dikendorkan. Apalagi ketika tradisi dilakukan secara bersama-sama, rasa persaudaraan serta identitas ke-Papuan mereka dapat diteguhkan kembali. Oleh karena itu tidak mengherankan, ketika saya berjalan menyusuri kota Biak, saya selalu menemukan penjaja pinang di setiap sudut kota.  Para penjual pinang, yang biasanya adalah para Mama, menjualnya dengan sistem paket. Satu paket yang terdiri dari satu buah pinang, sebatang sirih, serta kapur, dihargai seribu rupiah.

Selain di sudut-sudut kota, hampir setiap rumah tangga orang Biak menjual pinang di depan rumah mereka masing-masing. Sebuah bangunan kecil, yang disebut sebagai ‘para para pinang’, pasti ada di depan setiap rumah orang Biak. Dahulu ‘para para pinang’ ini berfungsi sebagai pengikat solidaritas sosial dan kerukunan warga. Sekarang, fungsinya makin bertambah, menjadi semacam kios untuk menjajakan sirih pinang.

Atas nama rasa penasaran, saya pun akhirnya menyempatkan diri mencoba sirih pinang walau hanya satu paket. Tetapi ketika saya mencobanya sambil duduk di tepi Pantai Paray – yang berjarak sekitar 7 km dari kota Biak, saya semakin memahami mengapa laut dan pinang bisa begitu bersinergi di Biak ini.

Pada awalnya, rasa pinang, sirih serta kapur tidak akan terlalu menyenangkan bagi para pemula. Tetapi ketika sudah merasakan efek zat-zat yang dikandung pinang, maka apa yang menjadi beban pikir, dan segala ketegangan di kepala, bisa sedikit melayang. Apalagi itu dilakukan sambil memandang matahari terbenam di pinggir pantai Biak, sambil menghela nafas lalu menghirup aroma laut yang sejenak membebaskan hati dan pikiran yang suntuk.

                Setiap Hari adalah Hari Minggu dan Harinya Laut

Rasanya, permakluman saya tentang setiap hari adalah hari Minggu di Biak ini, jadi tepat sekali. Apalagi ketika sore menjelang dan saya menyempatkan diri bermain-main air di pantai bersama bocah-bocah Biak yang kulitnya hitam legam dan senyumnya lebar penuh ketulusan. Saya sungguh jatuh cinta pada bocah-bocah dari Teluk Cendrawasih ini.

Sepertinya ketika mereka melompat ke laut, berenang-renang, tertawa bersama kawan-kawannya lalu melompat lagi, tidak ada hal yang lebih penting di dunia ini selain bermain air dan tertawa gembira. Dan ini adalah aktivitas rutin, setiap menjelang sore, bak hari Minggu di kota-kota besar Pulau Jawa.

Jika saya menggambarkan Biak, maka salah salah satu gambarannya adalah, kolam renang super besar dan super gratis. Bukan berarti Biak ini selalu terendam air gara-gara air sungai meluap atau karena sampah dimana-mana. Tetapi, Biak Numfor ini memang dikelilingi oleh laut serta pantai yang keindahannya tak terkira. Bahkan di tengah kota pun, pinggir laut yang menjadi tempat sandar sejumlah kapal cepat menjadi tempat rutin bocah-bocah Biak berenang-renang.

Tempat sandar sejumlah kapal cepat di tengah kota Biak itu adalah Pelabuhan Tip Top. Pelabuhan kecil ini memang hanya digunakan untuk sandar kapal-kapal cepat yang tujuannya ke pulau-pulau terdekat di sekitar Pulau Biak ataupun Pulau Numfor. Seperti diketahui Kabupaten Biak Numfor terdiri dari dua buah pulau besar yaitu Pulau Biak seluas 1.796 Km² serta Pulau Numfor seluas 323 Km². Sisanya merupakan pulau-pulau kecil sebanyak 38 buah yang tersebar di sekitar dua pulau besar itu seluas 483 Km². Sehingga salah satu sarana transportasi yang paling memadai untuk menuju ke pulau-pulau di sekitar Kabupaten Biak Numfor adalah dengan menggunakan kapal-kapal cepat itu.

Selain Tip Top, juga ada pelabuhan di tengah kota yang menjadi pelabuhan khusus kapal-kapal besar serta peti kemas. Ia adalah Port of Biak. Kemudian, agak jauh di luar kota Biak, terdapat satu pelabuhan khusus untuk penumpang antar Pulau serta antar Kabupaten. Pelabuhan itu adalah Pelabuhan Mokmer. Di ketiga pelabuhan itu, tidak pernah lepas dari pemadangan sore yang ceria serta bocah-bocah Biak yang melompat terjun ke air. Dan khusus di Pelabuhan Mokmer, ketika malam menjelang para kaum lelaki Biak seringkali memadati pinggir pelabuhan untuk menghabiskan malam sambil melakuan cigi-cigi (cara memancing khas Biak tanpa menggunakan umpan).

Tidak hanya pelabuhan, laut, pantai juga pasar dan manusia-manusia Biak pun selalu membuat saya seperti ingin berlibur melulu. Salah satu pasar yang cukup menarik karena menjual ragam cendramata adalah Pasar Bosnik yang juga dipenuhi oleh manusia-manusia Biak yang menarik. Dan tidak jauh dari situ terdapat Pantai Bosnik yang air bak jelly berwarna biru muda. Memang pantai-pantai di seputaran Biak masih tergolong alami. Beberapa jarang sekali dikunjungi manusia-manusia dari luar Biak. Orang-orang Biak ini seperti memiliki pantai pribadi yang diberikan gratis oleh alam semesta.

Salah satu pantai yang membuat saya lupa waktu dan ingin terus berenang di situ adalah Pantai Adoki. Pantai yang berada di barat kota Biak ini membiarkan saya untuk bisa bercengkrama dengan bocah-bocah Biak serta para mama yang dari jauh duduk di tepi Pantai mengawasi bocah-bocah mereka berenang-renang. Di pantai ini juga terjadi pertemuan antara air tawar dan air laut, yang pada ceruk-ceruk air tawarnya dimanfaatkan oleh para warganya untuk mandi, mencuci serta berendam ala hotel bintang lima.

Memang selalu hari Minggu di Biak. Ini yang saya rasakan selama sebulan di beberapa waktu yang lalu. Namun ada satu yang kurang dan belum penuh rasanya hari-hari saya yang melulu liburan ini. Saya belum mencoba menyelami laut-laut Biak Numfor yang penuh dengan keanekaragaman biota laut, serta satu unggulan wisata Kabupaten Biak Numfor, titik-titik selam yang menyajikan reruntuhan kapal-kapal karam atau sejumlah reruntuhan peninggalan Perang Dunia II.

Selain keindahan alamnya, Biak memang terkenal sebagai tempat yang menyisakan tumpukan peninggalan sejarah Perang Dunia II. Dan hal ini adalah salah satu alasan penting lainnya untuk mengunjungi Biak. Jejak-jejak peninggalan sejarah PD II itu, tidak hanya tersisa di daratan, tetapi juga banyak tertinggal di dasar lautan Biak Numfor. Dan rasanya amat sayang jika saya sudah jauh jauh pergi ke surga Biak, tetapi belum berkesempatan menyelami lautannya. Sebuah pekerjaan rumah besar bagi saya, dan sepertinya amat layak untuk diselesaikan. Jadi, sampai ketemu di Hari Minggu lainnya Biak.

Comments

Popular posts from this blog

Di Belakang Film The Mission : Ketika “si Putih” bekerja dengan “si Merah”.

Sedikit Pengantar Film adalah sebuah karya yang tidak mungkin dikreasi sendirian. Ia muncul menjadi semacam perhelatan bersama berbagai elemen di balik layar serta di depan layar yang pada akhirnya menjadi sebuah konsumsi publik. Film berangkat dari sebuah kerja yang solid antar berbagai individu yang sejatinya memiliki visi dan tujuan sama. Tanpa ada kerja yang benar-benar rekat antar berbagai elemen, seperti para aktor, sutradara, teknis produksi ataupun produser, maka sulit dibayangkan akan tercipta sebuah film yang layak untuk ditonton. Lalu bagaimana jika sebuah film digarap oleh berbagai elemen yang masing-masing memiliki stereotipe-stereotipe yang membuat salah satu diantara mereka menjadi “yang lain”. Predikat “yang lain” inilah yang akhirnya menjadi semacam standar bagi para kru film ini untuk memperlakukan si “yang lain” ini dengan berbeda. Inilah yang jadi begitu menarik dan terlihat jelas dalam “dapur” sebuah film garapan sutradara peraih Oscar, Roland Joffe.”Yang lai

Dunia Diane Arbus, Dunia Sunyi Yang Eksentrik

http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Diane-Arbus.html Saya adalah penggemar karya foto yang memotret manusia tepat pada matanya. Bagi saya, mata itu adalah ruang yang mampu berbicara banyak tentang diri. Ia adalah ruang kosong tempat segala pedih, atau keriaan yang jujur tersimpan. Salah seorang fotografer yang saya kagumi karena  mampu menangkap ruang jujur itu adalah Diane Arbus. Ruang-ruang jujur yang tertangkap kamera itu lah yang membuat karya Diane begitu intim. Seperti ada kedekatan yang tidak artifisial. Dalam setiap bidikannya, Diane mampu menangkap mata dengan begitu telanjang. Mungkin juga karena Diane dan subjeknya sesungguhnya tidak berjarak. Bisa jadi, Diane dan subjek foto itu adalah bagian dari masing-masing. Jangan-jangan yang Diane foto adalah proyeksi tentang dirinya sendiri. Siapakah Diane Arbus ? Diane lahir dengan nama Diane Nemerov pada 14 Maret 1923 di New York. Diane berasal dari kalangan menengah New York. Ia adalah putri Gertrude

Sesudah Melihat 'The Last Temptation Of Christ'

Apreasiasi luar biasa (dan sungguh terlambat) untuk Martin Scorsese, yang masih tetap nekat mengadaptasi novel kontroversial Nikos Kazantzakis ke dalam media film. Ya, saya memang sangat terlambat untuk benar-benar memaknai film ini. Setelah menyaksikan untuk yang ketiga kali tanpa ketiduran (haha), saya akhirnya mampu merefleksi film ini secara lebih personal. Pada saat novel The Last Temptation of Christ terbit tahun 1953, novel ini begitu banyak mengundang kontroversi. Novel ini juga seringkali masuk dalam daftar buku yang dilarang. Sumber kontroversi utama dari buku ini (dan berikutnya film ini), adalah pada dekonstruksi (atau mungkin bisa disebut sebagai refleksi personal) Nikos atas tokoh suci umat Kristen, Yesus, serta kisah penebusan oleh Yesus yang sudah didogmakan dalam Injil. Maafkan karena saya belum membaca novelnya. Oleh karena itu, saya hanya bisa merefleksi film garapan Scorsese yang sempat mendapat nominasi Academy Award untuk kategori Sutradara Terbaik.