Skip to main content

Image Junkies

Foto bisa menjadi bentuk nyata dari sebuah perayaan. Perayaan terhadap ingatan, ataupun perayaan terhadap yang sudah lewat. Lewat fotografi kita juga merayakan sesuatu yang tidak bisa kita sangkal bahwa hal itu pernah terjadi –the thing has been there[1]-. Lewat medium fotografi, momen yang telah lewat bisa dilihat kembali, bisa dijadikan semacam artefak bahwa kita pernah mengalami momen itu, bisa menjadi ajang ‘narsis’ serta pamer, dan pada poin-poin tertentu bahkan momen yang telah lewat itu bisa dihadirkan kembali dalam ranah-ranah rasa atau pikir kita.

Pada era sekarang ini, bentuk perayaan lewat medium fotografi tampaknya telah menjadi hal yang begitu populer. Sekarang ini semua orang sepertinya senang sekali memotret dan dipotret. Teknologi telah membuat kamera begitu terjangkau. Ia telah teraplikasi dalam berbagai piranti teknologi manusia modern, seperti pada hand phone, tablet, ataupun laptop. Dengan aplikasi yang begitu mudah dan murah, memiliki piranti teknologi yang telah dilengkapi kamera seperti menjadi kebutuhan masyarakat modern sekarang ini.

Keterjangkauan kamera membuat manusia jaman ini ‘keasyikan’ dengan berbagai rupa visual. Manusia sudah ketergantungan dengan gambar. Mereka bahkan tidak bisa hidup tanpa gambar. Manusia jaman ini sudah menjadi pencandu gambar. Image Junkies.[2] 

Pada ruang-ruang tamu, khususnya ruang tamu masyarakat Indonesia, jarang sekali yang benar-benar bersih dari foto-foto di dinding, atau lukisan-lukisan dalam figura. Televisi pun bisa ditemui pada setiap ruang dalam rumah-rumah tinggal. Media cetak, baik majalah atau koran telah menjadi bacaan sehari-hari. Dan kini sosial media seperti Facebook ataupun Twitter, telah menjadi kebutuhan baru yang sulit ditinggalkan. Apalagi era smartphone sekarang ini, internet seperti ada di genggaman tangan, dan bisa diakses setiap detik.

Foto diri, foto pujaan hati, foto keluarga, foto kerabat, atau foto-foto yang yang dianggap menarik, berputar dan berlari-lari di sosial media. Hampir setiap detik, jutaan foto diunggah dalam sosial media itu, dan hampir setiap saat manusia yang berada dalam jaman ini tidak bisa melepaskan diri untuk tidak mengkonsumsinya.

Kita semua adalah konsumen gambar yang setia. Dalam berbagai institusi yang mengharuskan kita menjadi bagiannya –negara, sekolah ataupun masyarakat- visualisasi diri adalah salah satu yang menjadi syarat utama untuk bisa diakui masuk dalam institusi itu. Kartu Tanda Penduduk, Surat Ijin Mengemudi, Kartu keluarga ataupun kartu-kartu identitas lainnya, mengharuskan tiap orang menambahkan pas foto pada kartu-kartu itu. Kedirian kita telah diwujudkan secara visual dalam bentuk foto. Foto telah menggantikan realitas tentang diri kita.

Seri Nine Months (seri foto tentang perempuan hamil sembilan bulan yang sempat dipamerkan di Plaza Semanggi, 20-27 April 2007) adalah gambaran tentang bagaimana image junkies itu bekerja. Perempuan-perempuan dalam seri ini adalah para ‘junkies’ itu. Mereka amat sadar bahwa momen-momen kehamilan ini adalah momen yang layak untuk terus diabadikan dalam sebuah citra. Sebuah momen yang belum tentu bisa diulang kembali. Apalagi ketika fisik mereka yang berubah itu, terutama pada bagian perut, benar-benar diekspos. Sehingga foto-foto ini menjadi unik, karena tidak setiap hari, perut perut membuncit dianggap cantik.      

Seri ini juga menggambarkan bagaimana foto menjadi medium bagi perempuan-perempuan hamil ini untuk ‘memamerkan’ diri. Sebuah ajang untuk memamerkan keperempuanan mereka yang menurut konstruk masyarakat Patriarki telah menjadi perempuan yang benar-benar sempurna. Lewat foto-foto ini, keperempuanan yang dikonstruk oleh dunia laki-laki ini dirayakan.

Konsumsi foto secara besar-besaran juga terjadi karena pada dasarnya manusia senang sekali melihat dirinya terlihat lebih cantik atau lebih tampan. Kamera, serta proses pasca produksi sesudah pemotretan, menyediakan fitur-fitur yang mampu membuat citra-citra visual kita tampak lebih ideal. Sebuah ‘ke-ideal-an’ tentang gambaran diri yang telah disesuaikan dengan konstruk dalam masyarakat.

Ke-21 foto dalam seri ini adalah sebuah rangkaian produksi yang telah direncanakan dan dikonstruk oleh perempuan hamil itu sendiri, fotografernya, serta berbagai piranti teknologi, seperti lampu, kamera, ataupun software Photoshop yang digunakan untuk mengedit foto-foto ini pasca pemotretan.

Dengan foto-foto yang tampak ideal sesuai dengan konstruk itu, lahirlah junkies-junkies foto yang membuat citra-citra visual itu semakin banyak diproduksi atau direproduksi terus menerus. Akhirnya, tentu tidak bisa dihindari, foto-foto yang telah diproduksi secara massal itu akan menjadi referensi bagi manusia-manusia lainnya. Sebuah lingkaran telah terbentuk. Lingkaran yang terbentuk dari media massa, gambar-gambar, serta ‘pecandu’ gambar. Mereka saling mempengaruhi dan sama-sama saling membutuhkan, sebuah simbiosis mutualisme.

Sebuah tren tercipta dari lingkaran ini. Tren yang memanfaatkan para junkies gambar yang tidak peduli seberapa penting atau manfaatnya foto-foto itu bagi hidup mereka. Seri Nine Months ini adalah salah satu contoh dari tren foto maternitas itu. Tren foto yang tercipta dari kontroversi Demi’s effect pada cover majalah Vanity Fair.

Foto ketelanjangan Demi Moore yang hamil tujuh bulan itu ternyata mampu mencipta sebuah kecanduan gambar yang terus berkembang di kalangan perempuan-perempuan hamil pada masa ini. Dan bukan hanya pada perempuan hamil, kecanduan gambar ini juga menjangkiiti perempuan-perempuan yang belum hamil, sehingga banyak yang merasa ingin hamil karena melihat begitu indahnya kehamilan itu. Kaum lelaki pun turut menikmati gambar-gambar perempuan-perempuan hamil itu, karena mereka merasa menjadi bagian dari perayaan akan kehidupan tersebut.



[1] Lihat Barthes, Camera Lucida, hal 76.
[2] Lihat Sontag, On Photography, hal 24.
Menurut Susan Sontag, fotografi telah menjadi candu bagi banyak orang. Ia telah menjadi semacam realitas serta pengalaman estetik yang konsumtif. Masyarakat industri telah mengubah warganya menjadi image junkies.

Comments

Popular posts from this blog

Di Belakang Film The Mission : Ketika “si Putih” bekerja dengan “si Merah”.

Sedikit Pengantar Film adalah sebuah karya yang tidak mungkin dikreasi sendirian. Ia muncul menjadi semacam perhelatan bersama berbagai elemen di balik layar serta di depan layar yang pada akhirnya menjadi sebuah konsumsi publik. Film berangkat dari sebuah kerja yang solid antar berbagai individu yang sejatinya memiliki visi dan tujuan sama. Tanpa ada kerja yang benar-benar rekat antar berbagai elemen, seperti para aktor, sutradara, teknis produksi ataupun produser, maka sulit dibayangkan akan tercipta sebuah film yang layak untuk ditonton. Lalu bagaimana jika sebuah film digarap oleh berbagai elemen yang masing-masing memiliki stereotipe-stereotipe yang membuat salah satu diantara mereka menjadi “yang lain”. Predikat “yang lain” inilah yang akhirnya menjadi semacam standar bagi para kru film ini untuk memperlakukan si “yang lain” ini dengan berbeda. Inilah yang jadi begitu menarik dan terlihat jelas dalam “dapur” sebuah film garapan sutradara peraih Oscar, Roland Joffe.”Yang lai

Dunia Diane Arbus, Dunia Sunyi Yang Eksentrik

http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Diane-Arbus.html Saya adalah penggemar karya foto yang memotret manusia tepat pada matanya. Bagi saya, mata itu adalah ruang yang mampu berbicara banyak tentang diri. Ia adalah ruang kosong tempat segala pedih, atau keriaan yang jujur tersimpan. Salah seorang fotografer yang saya kagumi karena  mampu menangkap ruang jujur itu adalah Diane Arbus. Ruang-ruang jujur yang tertangkap kamera itu lah yang membuat karya Diane begitu intim. Seperti ada kedekatan yang tidak artifisial. Dalam setiap bidikannya, Diane mampu menangkap mata dengan begitu telanjang. Mungkin juga karena Diane dan subjeknya sesungguhnya tidak berjarak. Bisa jadi, Diane dan subjek foto itu adalah bagian dari masing-masing. Jangan-jangan yang Diane foto adalah proyeksi tentang dirinya sendiri. Siapakah Diane Arbus ? Diane lahir dengan nama Diane Nemerov pada 14 Maret 1923 di New York. Diane berasal dari kalangan menengah New York. Ia adalah putri Gertrude

Sesudah Melihat 'The Last Temptation Of Christ'

Apreasiasi luar biasa (dan sungguh terlambat) untuk Martin Scorsese, yang masih tetap nekat mengadaptasi novel kontroversial Nikos Kazantzakis ke dalam media film. Ya, saya memang sangat terlambat untuk benar-benar memaknai film ini. Setelah menyaksikan untuk yang ketiga kali tanpa ketiduran (haha), saya akhirnya mampu merefleksi film ini secara lebih personal. Pada saat novel The Last Temptation of Christ terbit tahun 1953, novel ini begitu banyak mengundang kontroversi. Novel ini juga seringkali masuk dalam daftar buku yang dilarang. Sumber kontroversi utama dari buku ini (dan berikutnya film ini), adalah pada dekonstruksi (atau mungkin bisa disebut sebagai refleksi personal) Nikos atas tokoh suci umat Kristen, Yesus, serta kisah penebusan oleh Yesus yang sudah didogmakan dalam Injil. Maafkan karena saya belum membaca novelnya. Oleh karena itu, saya hanya bisa merefleksi film garapan Scorsese yang sempat mendapat nominasi Academy Award untuk kategori Sutradara Terbaik.