Skip to main content

Mengartikulasi Tubuh Perempuan Dalam Foto (Studi pada seri foto Nine Months karya Diah Kusumawardani Wijayanti)

catatan: tulisan ini adalah ringkasan Tesis saya pada Magister Ilmu Religi dan Budaya -sekarang Magister Kajian Budaya- di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. 


A. Pengantar

Medio April 2007, saya menyempatkan diri datang ke sebuah pembukaan pameran foto bertajuk Nine Months . Pameran foto ini dihelat di sebuah mal besar Jakarta, Plaza Semanggi. Ketika melihat deretan foto dalam pameran itu, muncul banyak pertanyaan di kepala saya. Salah satunya adalah mengapa tubuh-tubuh hamil sembilan bulan ini –seperti- dirayakan, bahkan diekspos besar-besaran dalam sebuah ruang publik yang amat komersil.

Pertanyaan ini seperti mengantar saya untuk berefleksi lebih jauh tentang bagaimana tubuh perempuan diartikulasi dalam sebuah karya fotografi. Apalagi tema-tema mengenai tubuh perempuan serta kehamilan selalu menggelisahkan saya. Terutama semenjak saya –dianggap- dewasa oleh orang tua, juga masyarakat, serta dianggap sudah harus menikah untuk bereproduksi. 


B. Nine Months, Sebuah Realitas Maskulin Yang Komersil

Mengunjungi pameran Nine Months rasanya seperti melihat jejeran tubuh perempuan hamil yang sedang dijajakan. Apalagi ruang pamernya adalah sebuah ruang komersil tempat berbagai macam hal diperjual-belikan. Sebuah mal.

Konsep pameran semacam ini belum banyak dilakukan di Indonesia, khususnya Jakarta. Pameran foto biasanya dilakukan di ruang-ruang khusus yang memang diciptakan untuk memamerkan karya visual. Inilah yang menurut saya, membuat pameran ini begitu menarik untuk dikunjungi serta dilihat lebih dalam.

Selain itu isi dari pameran ini juga tidak biasa. Ketika itu, belum banyak tubuh-tubuh hamil membuncit, dipamerkan secara terbuka di ruang publik yang pengunjungnya bisa siapa saja dari kalangan manapun. Dalam pameran ini, sejumlah perempuan yang sedang hamil di usia sembilan bulan, dengan amat percaya diri menampilkan perut-perut mereka.

Di mal, atau pasar, perhatian orang terbagi-bagi. Orang ingin berbelanja, melihat-lihat untuk sekedar cuci mata, orang ingin dilihat, ingin melepas lelah, ingin berwisata, orang ingin bertemu yang lain untuk melepas rindu ataupun membicarakan berbagai hal dengan kepentingan yang berbeda-beda.

Sementara itu untuk melihat sebuah karya visual, biasanya, orang-orang yang datang dikondisikan oleh pihak penyelenggara agar perhatiannya terfokus pada karya-karya yang sedang dipajang. Para pengunjung datang dengan pengetahuan dan kesadaran akan melihat sebuah pameran karya visual. Sehingga ketika datang ke pameran, mereka ‘sudah siap’ bahwa mereka akan mengapresiasi sebuah karya visual.

Namun ketika mereka datang ke mal, perhatian para pengunjung pasti akan terbagi-bagi. Sepertinya, penyelenggara pameran Nine Months memang memiliki agenda untuk membuat perhatian para pengunjung terbagi. Penyelenggara ingin pengunjung menjadi mulittasking . Melihat pameran sekaligus berbelanja. Atau sebaliknya, berbelanja sambil melihat pameran.

Pameran Nine Months ini rupanya mengadopsi semangat jaman masyarakat urban Jakarta. Sebuah masyarakat yang super sibuk, karena Jakarta adalah kota yang dikondisikan tidak pernah mati selama 24 jam. Jakarta juga tempat berkumpulnya pencari uang dan pencari untung.

Jakarta yang sibuk ini tentu butuh penghuni yang bisa menyesuaikan diri, karena Jakarta terlalu sombong untuk melakukan hal itu. Oleh karena itu penghuni Jakarta butuh segala sesuatu yang tidak merepotkan, cepat saji. Jakarta butuh hal-hal yang serba instan. 

Karakteristik ini kemudian dibaca oleh orang-orang jeli yang memiliki akses ke berbagai peluang ekonomi itu. Frasa “tidak mau repot” itu kemudian diinterpretasi dan dikomersialisasi. Dan inilah yang diadopsi oleh pameran Nine Months. Masyarakat Jakarta yang super sibuk dan “tidak mau repot” ini dimanjakan dengan sebuah pertunjukan karya visual yang mudah dan sangat terjangkau. Sambil nge-mal dan nongkrong-nongkrong, pengunjung juga bisa menonton pameran foto.

Nine Months memang jelas menjadi media komersialisasi kehamilan itu sendiri. Pameran ini berhasil membuat ide soal kehamilan menjadi tren. Dan buntut-buntutnya adalah, berbagai ceruk-ceruk bisnis seputar kehamilan pelan-pelan terbuka lebar.

Ceruk-ceruk bisnis itu tentu saja seputar produksi produk-produk penunjang kehamilan, serta tren foto maternitas seperti rangkaian foto dalam seri Nine Months ini. Ini terbukti, sesudah pameran, Diah akhirnya mendapat label sebagai fotografer khusus kehamilan. Diah pun kebanjiran klien-klien perempuan yang ingin mengabadikan momen kehamilannya. Dan semenjak itu pula, tren foto maternitas makin berkembang pesat di Jakarta, serta menyebar ke sejumlah kota-kota besar di Indonesia.

Komersialisasi kehamilan yang dibungkus secara elegan dalam Nine Months ini memang menyasar kelas menengah Jakarta. Ini terlihat dari display karya foto yang berjumlah dua puluh satu itu. Foto-foto itu dipajang dalam bingkai-bingkai besar elegan yang menyesuaikan dengan suasana dari mal Semanggi. Sebuah mal yang berada di tengah kota Jakarta yang mengklasifikasi dirinya sebagai mal untuk kelas menengah Jakarta.

Tidak bisa dipungkiri bahwa Nine Months yang komersil ini dilahirkan dari rahim dunia yang maskulin. Oleh karena itu apa yang dihasilkan dalam rangkaian karya ini pasti begitu maskulin. Lewat dua puluh satu foto yang dipamerkan, sebuah realitas yang sudut pandangnya maskulin dikreasi.  

Pencipta dari seri ini, Diah Kusumawardani, adalah salah satu dari sedikit perempuan yang berkecimpung di dunia fotografi. Sebuah dunia yang tercipta dalam rahim dunia laki-laki. Male gaze  sudah mengkonstruk Diah dan tentu apa yang ia kreasi adalah karya-karya yang berperspektif laki-laki. Seri Nine Months ini adalah salah satu buktinya.

Seri ini digarap oleh Diah dengan menyisipkan pesan anti aborsi. Sebuah pesan tentang pro-life dan anti pro-choice . Bagi Diah, kehamilan adalah sebuah anugerah yang sudah menjadi kodrat perempuan. Dengan pemahaman akan kodrat itu, kehamilan adalah fitrah yang harus diterima dan disyukuri oleh perempuan.

Konsep mengenai kodrat ini adalah konstruk patriarki yang membuat perempuan tidak punya pilihan bebas terhadap tubuhnya sendiri. Bahwa perempuan juga tidak bisa memilih untuk tidak hamil atau menggugurkan kandungannya. Dengan konsep kodrat ini pula perempuan-perempuan yang memilih untuk tidak hamil atau memang secara biologis tidak bisa hamil, dianggap sebagai perempuan tidak sempurna. Atau ketika ia menggugurkan kandungannya, ia akan dianggap sebagai perempuan tidak bermoral.

Lewat seri ini, Diah ingin bercerita tentang bagaimana perempuan melihat perempuan sendiri. Sebagai sang operator, Diah memang benar-benar memaklumi bagaimana menjadi hamil dan harus ‘terjebak’ pada ritme sibuk orang Jakarta. Pada saat memotret seri ini, Diah sendiri sedang hamil sembilan bulan, dan kedudukannya sebagai perempuan urban Jakarta yang amat sibuk, namun harus tetap menjalakan ‘kodratnya’ sebagai perempuan, membuatnya amat paham bagaimana memotret para perempuan hamil ini.

Lewat gaya serta pose yang ditampilkan oleh para perempuan itu, Diah ingin bicara tentang bagaimana kehamilan harus ditanggapi dengan sangat positif. Tanggapan yang sangat positif pada kehamilan itu ditunjukkan dari wajah-wajah ceria, mode pakaian serta tata rias wajah dan rambut yang funky, elegan, serta berkelas. Para perempuan dalam seri ini terlihat sangat percaya diri dan seperti menyatakan bahwa “ya kami bahagia dan bangga dengan kehamilan ini”.

Apa yang dilihat oleh khalayak pengunjung pameran seri Nine Months ini adalah sebuah realitas tentang kehamilan yang dikonstruk oleh Diah serta penyelenggara pameran yang memiliki kepentingan tertentu. Mata para pengunjung pameran yang memang telah memiliki mata ‘laki-laki’ itu makin dikuatkan lagi persepsinya tentang bagaimana menghadapi kehamilan.  

   
C. Mengartikulasi Tubuh Perempuan Dalam Nine Months

Meminjam metode pembacaan foto yang digunakan oleh Roland Barthes yaitu ‘fenomenologi sinis’ , saya mencoba berpetualang ke dalam 21 foto seri Nine Months, untuk akhirnya tertambat pada foto yang melukai saya. Sama seperti Barthes, saya ingin melakukan advonturir yang dimulai dari rasa tertarik pada sebuah foto, menuju esensi foto itu sendiri dan kemudian kembali lagi ke saya.  

1. Tubuh yang Paradoks


(1)
(2)

Ini adalah dua buah foto dalam seri Nine Months yang menjadi titik luka (punctum)  saya. Foto pertama (1) adalah milik Muthi Kautsar, seorang penari. Foto kedua adalah milik Ngesti Wijayanti (2) seorang manajer sebuah perusahaan swasta. Keduanya sedang hamil sembilan bulan, difoto sambil memperlihatkan perut buncitnya dan sama-sama mengenakan topeng masquarade.

Topeng adalah salah satu medium yang dapat menutupi kesejatian diri. Ia bisa menyamarkan identitas kita yang sebenarnya. Ketersamaran itulah yang terpancar jelas dari maksud orang yang mengenakan topeng. Ada sebagian hal dari dalam dirinya yang ingin ditutupi. Tidak seluruhnya tetapi hanya sebagian saja. Dan ada sebagian lain dari dirinya yang ingin ditampilkan ke publik. Paradoks.

Seperti dalam dua buah foto milik Muthi dan Ngesti ini. Mereka berdua sama-sama difoto untuk dipamerkan. Kebersediaan mereka untuk terlibat dalam proyek ini adalah bukti bahwa sebenarnya mereka berdua sama-sama senang tampil di depan publik, memamerkan diri beserta atribut yang ada pada tubuh mereka. Namun dengan mengenakan topeng, mereka berdua sepertinya juga ingin menyamarkan, atau menutupi sesuatu.

Menjadi paradoks adalah salah satu cara bertahan bagi banyak perempuan di Indonesia, khususnya perempuan-perempuan urban Jakarta. Perempuan yang diharuskan menjadi multitasking. Perempuan yang memiliki peran-peran berbeda tergantung konteks ruang dan waktu dimana mereka berada.

Untuk menjalankan peran-peran yang berbeda, “topeng” dan “kostum” harus dikenakan setiap hari oleh banyak perempuan urban Jakarta ini. Tanpa kedua hal itu, mereka mungkin tidak bisa bertahan hidup di ibukota. Nuansa buka-tutup yang amat paradoks inilah yang sudah menggejala dalam masyarakat kita. Ruang publik kini telah menjadi semacam panggung dimana para pementas di dalamnya,  bisa dari kalangan mana saja serta siapa saja, ‘diharuskan’ untuk tidak membuka atau menutup kediriannya secara utuh. Karena dengan hanya membuka atau menutup sebagian saja dari diri, publik akan semakin penasaran. Berbekal rasa penasaran itu, publik akan semakin tertarik untuk melihat pementasan yang sedang berlangsung. Di situlah imajinasi publik dimainkan serta ruang-ruang interpretasi terbuka lebar. 

2. Tubuh Perempuan yang Tidak Nyata

Muthi Kautsar adalah seorang penari yang tubuhnya sedang berubah. Kehamilannya yang sembilan bulan itu telah membuat tubuhnya yang semula ramping dan ‘sempurna’ membesar serta membuncit pada bagian perut.
Dalam foto hitam putih yang terkesan suram ini, sosok Muthi yang tergambar dalam foto adalah pantulan dirinya dalam cermin. Muthi menghadap cermin, berpose di depannya dan kemudian fotografer memotret cermin tersebut. Jadi foto ini merekam bayangan Muthi, bukan diri Muthi yang nyata dan sebenarnya.

Muthi yang ada dalam cermin tampaknya memang hanya ingin menampilkan bayangan tubuhnya. Ia memilih berfoto di depan cermin karena cermin memang memiliki fungsi demikian. Cermin bisa menjadi semacam gambaran tentang dunia yang lain. Ia menjadi semacam pintu gerbang menuju dunia yang berbeda. Dunia tidak nyata yang terkadang menjadi dunia ideal atau dunia yang tidak mungkin terwujud dalam keseharian yang riil.

Dunia ideal dalam cermin ini adalah konstruksi dunia yang bisa menjadi benar-benar nyata ketika sang empunya terus menerus menghidupi dunia itu. Karena di dalam cermin itu bukan hanya sang empunya –Muthi- yang dipantulkan, tetapi juga berbagai hal yang ada di sekitar Muthi.

Tubuh Muthi sedang diartikulasi oleh sesuatu yang berada di luar dirinya. Sesuatu itu adalah medium fotografi. Tubuh Muthi akhirnya menjadi tidak nyata,  karena ketika ia melihat ke dalam frame-frame cermin, ke dalam dunia yang ideal, ia  merasa harus mengikuti konstruk-konstruk yang ada dalam dunia ideal itu.

Ketika Muthi yang nyata melihat ke dalam cermin, ia seperti melihat dunia ideal yang membuatnya harus berkompromi dengan konstruk-konstruk dalam dunia ideal itu. Jika menurut Naomi Wolf, Muthi telah berkompromi untuk sepakat masuk dalam baju besi (Iron Maiden)  yang diciptakan oleh yang berkuasa. Sebuah konsep yang mengonstruk perempuan dan segala keperempuanannya. Sebuah konsep yang membuat kesejatian diri perempuan lama-lama lenyap, hilang dan tergantikan dengan tubuh serta keperempuanan baru yang serba artifisial.

Muthi si penari, yang dahulu sebelum hamil, tubuhnya belum semakin kebesaran, kini menghadapi realita bahwa tubuhnya telah berubah. Untuk bertahan dalam realita itu, Muthi merasa harus bersembunyi dan membuat citra diri yang baru. Muthi harus berkompromi dan mengganti dirinya dengan tubuh cetakan Iron Maiden yang serba sempurna. 

3. Tubuh Hamil yang Kudus

Dua bocah usia bawah lima tahun (balita) dalam foto Ngesti ini adalah sebuah gambaran tentang ketidakberdosaan. Sesuatu yang suci, tulus, bersih dan innocent. Tubuh Ngesti, dalam foto yang secara vulgar memperlihatkan perutnya ini, dibuat menjadi tidak terkesan erotik.

Tubuh perempuan yang hamil diartikulasi lewat medium fotografi menjadi tidak erotik. Dalam masyarakat patriarki, kehamilan dan menjadi ibu adalah dua hal yang berjalan beriringan. Sosok ibu dalam masyarakat patriarki, dikonstruk menjadi sosok yang lembut, mengasihi, mengasuh, sopan serta bermoral. Sehingga jika ada yang mencoba mengeluarkan erotisisme pada sosok ibu, apalagi di ruang publik, harus segera ditangkal lalu diganti dengan makna yang lain.

Dalam foto-foto yang ingin memunculkan kesan erotik, jarang sekali dimunculkan sosok anak kecil yang menjadi simbol kepolosan. Jika sosok anak kecil atau mungkin bayi ditampilkan, maka kesan erotik tidak akan terbaca, yang akan terbaca adalah energi-energi suci dari bocah itu.

Dalam foto milik Ngesti Wijayanti, dua bocah kembar yang ditampilkan ini sama-sama menggunakan celana dalam putih tanpa mengenakan baju. Ketelanjangan yang tidak seutuhnya dari para bocah ini, justru semakin menambah kesan polos, apa adanya dan suci. Rambut ikal agak panjang dari dua bocah ini juga mengingatkan saya pada imaji-imaji malaikat yang dilukis pada abad pertengahan.

Bocah-bocah kembar ini adalah malaikat-malaikat kecil yang sedang memberi berkat kepada Ngesti. Atau sedang penasaran mengapa perut perempuan ini bisa membesar seperti bola raksasa. Wajah-wajah penasaran terlihat dari dua bocah ala malaikat itu. Sesuatu yang murni dan belum tahu apa-apa akan dunia yang lebih kompleks. Sebuah masa pragenital, masa sebelum Adam dan Hawa dilemparkan oleh Sang Empunya Eden ke bumi yang penuh dengan dosa. Kepada dua malaikat itu, serta kepada publik Ngesti seperti ingin memberitakan bahwa ia sedang hamil dan ia bangga akan kehamilannya itu.

Menjadi hamil adalah sesuatu yang ‘kudus’ bagi perempuan. Karena hanya perempuan yang memiliki rahim, perempuan dianggap bertanggung jawab meneruskan keturunan peradaban manusia di bumi. Sebuah tugas suci, tugas mulia, serta tugas perutusan yang hanya bisa dimiliki oleh seorang perempuan. Menjadi hamil adalah sebuah peristiwa yang didam-idamkan oleh banyak perempuan sejagat. Banyak perempuan yang bisa kalang kabut kalau ia tidak bisa hamil. Perempuan-perempuan itu biasanya akan menyalahkan dirinya sendiri, dan akan terus melabel dirinya sebagai perempuan tidak sempurna.


D. Penutup : Merayakan Sampah Visual 

Sesudah membaca kedua foto yang menggelisahkan saya itu, saya melihat bahwa dua foto dalam seri Nine Months ini adalah gambaran bagaimana foto bisa menjadi media yang mengartikulasi tubuh perempuan. Lewat foto, tubuh perempuan dikonstruk menjadi sesuatu yang –dianggap- sempurna.

Pengetahuan akan kekuatan foto yang begitu luar biasa ini membuat banyak orang yang berkepentingan mencipta berbagai konsep foto yang mampu mengubah paradigma seseorang. Foto dalam dunia yang dihidupi oleh budaya visual ini memang telah menjadi semacam norma dari sesuatu yang seharusnya tampak. Hal inilah yang kemudian mengubah ide dasar dari realita itu sendiri. Hal ini makin menegaskan bahwa yang terjadi bukan hanya ‘sebuah aktifitas melihat’, tetapi ‘melihat secara fotografis’ (photographic seeing). Dimana aktifitas ini adalah cara baru setiap orang untuk melihat serta cara baru bagi setiap orang untuk bertingkah laku.

Cara baru bagi banyak orang untuk melihat dan bertingkah laku itu –photographic seeing- membuat orang tidak bisa hidup tanpa foto. Hal ini mengakibatkan jutaan foto diproduksi setiap harinya. Apalagi dengan terjangkaunya kamera, baik harga maupun kemudahan untuk mendapatkannya.

Tidak bisa dipungkiri bahwa saat ini fotografi telah menjadi semacam candu. Susan Sontag yang adalah orang Amerika dan hidup dalam budaya visual Amerika pernah menuliskan hal ini pada sekitar tahun 1970-an. Ketika itu, saat fotografi mulai berkembang amat pesat di Amerika, juga seluruh belahan dunia, fotografi bahkan telah menjadi bahasa yang dimaknai dan diinterpetasi secara beragam oleh masyarakat penggunanya. Apalagi pada masa sekarang ini, dikala budaya visual telah menjadi makanan keseharian.

Menurut Sontag, ketika itu fotografi adalah semacam realitas serta pengalaman estetik yang konsumtif. Masyarakat yang telah sepenuhnya menjadi masyarakat industri, memang benar-benar telah merubah warganya menjadi image junkies. Sebuah masyarakat yang tidak bisa hidup tanpa gambar dan kecanduan akan gambar-gambar itu.

Gambar-gambar fotografis yang telah menjadi candu itu, telah dimaknai lalu diartikulasi dalam keseharian. Imaji-imaji itu akhirnya dianggap sebagai realitas yang memang harus diterima. Penerimaan imaji-imaji itu sebagai sesuatu yang riil adalah salah satu bentuk pertahanan hidup dari setiap manusia yang hidup dalam dunia -yang menginginkan hal-hal- yang serba ideal. Jika tidak mau menerima hal-hal yang ideal itu sebagai sesuatu yang harus dilakukan dalam hidup keseharian, maka bisa-bisa dianggap aneh atau tidak akan diperhitungkan dalam dunia ini.

Menerima imaji-imaji fotografis itu berarti mau hidup dengan imaji-imaji itu. Hidup berdampingan, berdamai dengannya untuk kemudian merayakannya sebagai sesuatu yang wajar serta natural. Dan tidak bisa disangkal bahwa perempuan ataupun laki-laki, ternyata sedang merayakan sebuah kehidupan yang bukan milik mereka sendiri.

Saya ingat Ibu pernah bercerita bahwa ketika saya masih balita, Ibu menindik cuping telinga saya yang masih lunak. Walaupun hal itu amat menyakitkan, hal itu tidak pernah diperdulikan oleh Ibu, karena menurut ibu, perempuan itu harus memakai anting. Tanpa anting, apa yang akan membedakan bayi perempuan dan laki-laki.

Ketika beranjak remaja, saya pun mulai diwanti-wanti dengan berbagai peraturan tentang bagaimana perempuan seharusnya bertingkah laku. Misalnya saja, ketika payudara saya mulai tumbuh, saya harus mengenakan bra yang berfungsi menutupi dan menyangga glandula mammae saya itu. Padahal, tanpa bra itu pun tubuh saya sejatinya akan baik-baik saja. Tetapi karena memakai bra sudah menjadi kebenaran bagi perempuan, saya pun harus mengikuti kebenaran itu.

Selain masalah bra, Ibu selalu mengatakan bahwa perempuan tidak boleh duduk mengangkang. Di sekolah pun demikian. Guru sempat menendang kaki saya ketika secara tidak sadar saya duduk mengangkang. Dan peraturan duduk tidak boleh mengangkang itu tentu saja tidak dikatakan kepada kakak saya yang laki-laki.

Berbagai peraturan tentang tubuh pun semakin banyak saja ketika saya makin dewasa. Saya sering sekali mendengar bahwa sebagai perempuan, saya harus menjaga berat tubuh karena kalau kegemukan bisa-bisa tidak lekas mendapat jodoh. Selain berat tubuh, saya pun dituntut untuk bisa berdandan dan pandai memilih pakaian. Banyak yang mengatakan bahwa jika perempuan tidak bisa berdandan dan berpakaian dengan layak, bisa-bisa dianggap perempuan tidak ‘beradab’.

Akhirnya lama kelamaan, tubuh saya benar-benar didisiplinkan. Saya pun mulai masuk secara sukarela ke dalam Iron Maiden yang pelan-pelan telah membatu. Tubuh saya yang apa adanya, telah menyesuaikan dengan bentuk Iron Maiden. Kini saya berpikir tentang kegemukan, berpikir tentang gaya jalan saya yang terkadang mengangkang (kata orang saya persis seperti laki-laki kalau sedang berjalan), atau berpikir tentang banyaknya selulit di beberapa bagian tubuh saya.

Namun, berbagai rambu dalam kehidupan saya sebagai perempuan itu tentu amat lumrah dan telah dianggap sebagai kebenaran. Sehingga hal-hal yang telah membeku menjadi Iron Maiden itu adalah bagian dari hidup yang bahkan perlu dirayakan. Malah jika tanpa Iron Maiden itu, atau jika saya tidak memasuki Iron Maiden itu, bisa jadi saya akan menderita karena akan dianggap aneh, atau dianggap pesakitan di dunia yang memiliki ukuran kewajaran dengan standar-standar tertentu.

Sejatinya, kita semua sedang merayakan konstruk diri, tubuh ataupun cara bersikap kita. Kita merayakan sebuah ‘peti besi’ yang dicetak oleh ‘yang punya kuasa’. Kedirian kita pun dibentuk menjadi rupa diri sempurna yang harus mengikuti ide besar serta wacana yang sedang berlaku ketika itu. Sampai pada akhirnya peti besi bernama Iron Maiden itu lama-lama akan menghancurkan kedirian kita yang sejati.

Dalam konteks dunia laki-laki, perempuan adalah pihak yang seringkali berada pada posisi subordinat. Lelaki sebagai pencipta dunia-lah yang membangun kerangka peti besi bernama Iron Maiden itu. Perempuan pun akhirnya tidak memiliki tubuhnya sendiri. Tubuhnya adalah hasil konstruk dunia laki-laki. Sebuah konstruk yang begitu jelas tentang apa yang disebut cantik, ideal, ataupun perempuan sempurna.

Inilah yang membuat pengartikulasian tubuh perempuan dalam seri Nine Months tidak lagi menjadi poin utama. Karena seri ini sebenarnya sedang mencipta dan mereproduksi kode-kode ataupun aturan-aturan kehidupan secara visual. Lewat kode-kode visual yang direproduksi terus-menerus itu, berbagai wacana dalam dunia Patriarki dapat terus hidup. Gambar-gambar foto itu telah menjadi alat pelanggeng kekuasaan, dan khalayak menganggap kode-kode visual itu sebagai realitas –kebenaran-.

Seri Nine Months adalah gambaran tentang bagaimana perayaan akan lautan sampah visual itu selalu kita lakukan. Dalam seri ini image junkies diselebrasi. Perempuan-perempuan dalam seri ini adalah para ‘junkies’ itu. Para pengunjung pameran dan pembaca foto dalam pameran ini juga termasuk diantaranya. Para perempuan dalam seri ini sadar betul bahwa momen-momen kehamilan ini adalah momen yang layak untuk terus diabadikan dalam sebuah citra. Sebuah momen yang belum tentu bisa diulang kembali. Apalagi saat fisik yang berubah dan perut perut membuncit dianggap cantik.

Konsumsi foto secara besar-besaran juga terjadi karena pada dasarnya manusia senang sekali melihat dirinya terlihat lebih cantik atau lebih tampan. Kamera, serta proses pasca produksi sesudah pemotretan, menyediakan fitur-fitur yang mampu membuat citra-citra visual kita tampak lebih ideal. Sebuah ‘ke-ideal-an’ tentang gambaran diri yang telah disesuaikan dengan dunia yang serba tidak nyata itu. Sebuah dunia ideal.

Dengan foto-foto yang tampak ideal sesuai dengan konstruk dunia ideal itu, lahirlah junkies-junkies foto yang membuat citra-citra visual itu semakin banyak diproduksi atau direproduksi terus menerus. Akhirnya, tentu tidak bisa dihindari, foto-foto yang telah diproduksi secara massal itu akan menjadi referensi bagi manusia-manusia lainnya. Sebuah tren. Sebuah lingkaran telah terbentuk. Lingkaran yang terbentuk dari media massa, gambar-gambar, serta ‘pecandu’ gambar. Mereka saling mempengaruhi dan sama-sama saling membutuhkan. Sebuah simbiosis mutualisme. 


Daftar Pustaka

Allen, Graham, Roland Barthes, London: Routledge, 2003. 
Barthes, Roland, Camera Lucida, London: Vintage, 2000. 
Hall, Stuart & Jessica Evans (ed.), Visual Culture: the Reader, London: Sage, 1999.
Rabate, Michel Jean (ed.), Writing the Image After Roland Barthes, Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1997
Sontag, Susan, On Photography, New York: An Anchor Book, 1977.
Sunardi, St. Semiotika Negativa, Yogyakarta: Kanal, 2002. 
Wolf, Naomi, Beauty Myth: How Images of Beauty Are Used Against Women, 
New York: HarperCollins Publishers Inc., 2002.
Katalog pameran Nine Months, Plaza Semanggi, 20-27 April 2007

Comments

Anonymous said…
ngesti wijayanti bekerja di pt akasha wira international...orang paling kacau di kantor

Popular posts from this blog

Di Belakang Film The Mission : Ketika “si Putih” bekerja dengan “si Merah”.

Sedikit Pengantar Film adalah sebuah karya yang tidak mungkin dikreasi sendirian. Ia muncul menjadi semacam perhelatan bersama berbagai elemen di balik layar serta di depan layar yang pada akhirnya menjadi sebuah konsumsi publik. Film berangkat dari sebuah kerja yang solid antar berbagai individu yang sejatinya memiliki visi dan tujuan sama. Tanpa ada kerja yang benar-benar rekat antar berbagai elemen, seperti para aktor, sutradara, teknis produksi ataupun produser, maka sulit dibayangkan akan tercipta sebuah film yang layak untuk ditonton. Lalu bagaimana jika sebuah film digarap oleh berbagai elemen yang masing-masing memiliki stereotipe-stereotipe yang membuat salah satu diantara mereka menjadi “yang lain”. Predikat “yang lain” inilah yang akhirnya menjadi semacam standar bagi para kru film ini untuk memperlakukan si “yang lain” ini dengan berbeda. Inilah yang jadi begitu menarik dan terlihat jelas dalam “dapur” sebuah film garapan sutradara peraih Oscar, Roland Joffe.”Yang lai

Dunia Diane Arbus, Dunia Sunyi Yang Eksentrik

http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Diane-Arbus.html Saya adalah penggemar karya foto yang memotret manusia tepat pada matanya. Bagi saya, mata itu adalah ruang yang mampu berbicara banyak tentang diri. Ia adalah ruang kosong tempat segala pedih, atau keriaan yang jujur tersimpan. Salah seorang fotografer yang saya kagumi karena  mampu menangkap ruang jujur itu adalah Diane Arbus. Ruang-ruang jujur yang tertangkap kamera itu lah yang membuat karya Diane begitu intim. Seperti ada kedekatan yang tidak artifisial. Dalam setiap bidikannya, Diane mampu menangkap mata dengan begitu telanjang. Mungkin juga karena Diane dan subjeknya sesungguhnya tidak berjarak. Bisa jadi, Diane dan subjek foto itu adalah bagian dari masing-masing. Jangan-jangan yang Diane foto adalah proyeksi tentang dirinya sendiri. Siapakah Diane Arbus ? Diane lahir dengan nama Diane Nemerov pada 14 Maret 1923 di New York. Diane berasal dari kalangan menengah New York. Ia adalah putri Gertrude

Sesudah Melihat 'The Last Temptation Of Christ'

Apreasiasi luar biasa (dan sungguh terlambat) untuk Martin Scorsese, yang masih tetap nekat mengadaptasi novel kontroversial Nikos Kazantzakis ke dalam media film. Ya, saya memang sangat terlambat untuk benar-benar memaknai film ini. Setelah menyaksikan untuk yang ketiga kali tanpa ketiduran (haha), saya akhirnya mampu merefleksi film ini secara lebih personal. Pada saat novel The Last Temptation of Christ terbit tahun 1953, novel ini begitu banyak mengundang kontroversi. Novel ini juga seringkali masuk dalam daftar buku yang dilarang. Sumber kontroversi utama dari buku ini (dan berikutnya film ini), adalah pada dekonstruksi (atau mungkin bisa disebut sebagai refleksi personal) Nikos atas tokoh suci umat Kristen, Yesus, serta kisah penebusan oleh Yesus yang sudah didogmakan dalam Injil. Maafkan karena saya belum membaca novelnya. Oleh karena itu, saya hanya bisa merefleksi film garapan Scorsese yang sempat mendapat nominasi Academy Award untuk kategori Sutradara Terbaik.