Skip to main content

Hati-Hati Dalam Perjalanan *

Saat mengunjungi pameran Klimaks[1] beberapa waktu lalu, saya merasa seperti berada dalam sebuah perjalanan yang amat menarik. Lima belas pameris, masing-masing mencoba merespon dan menginterpretasi secara personal tema dalam pameran ini, yaitu Transformasi Urban. Ada yang bicara tentang pengalaman personal mereka saat mengalami tentang urban (kota), dan ada yang mencoba membaca gejala dan memetakannya secara visual tentang dampak sebuah perubahan, khususnya sebuah kota.

Sepertinya para pameris ini ingin berbicara tentang sesuatu yang tidak stagnan, sesuatu yang dinamis. Mereka melihat ada yang sedang berubah pada lingkup tempat mereka tinggal, kota mereka. Atau bisa jadi para pameris ini sedang membaca diri mereka sendiri yang sedang berubah.

Satu titik yang menghentikan sejenak perjalanan saya dalam pameran ini adalah sebuah karya yang begitu personal melihat perubahan itu.  Karya ini seperti mengingatkan kembali akan pengalaman personal saya. Bisa saya bilang, karya ini adalah punctum[2] saya. Karya ini berjudul Selfie Beyond Realism milik Yuga Bagus.

Dalam karyanya itu, Yuga mencoba memaparkan kembali pengalaman personalnya menjejaki setiap persinggahan yang ia datangi. Sebuah persinggahan yang memang benar-benar singgah. Yuga merasakan keberadaan dirinya yang sureal pada tiap tempat itu. Ia ada, tetapi sekaligus tidak ada. Ia harus berada di tempat itu, tetapi pada saat yang sama juga harus segera berpindah. Dan pengalaman inilah yang membentuk dirinya.

Foto-foto yang berjumlah 28 itu adalah rekonstruksi sederhana dari pengalamannya itu. Ia memotret bayangannya sendiri pada tiap tempat yang ia singgahi. Bayangan dirinya itu menjadi semacam simbol dari keberadaan dirinya yang tidak benar-benar menjejak. Seperti sejatinya bayangan, ia akan menghilang saat sinar juga menghilang.

Lewat foto-foto milik Yuga itu, saya jadi mengingat kembali tentang momen-momen perjalanan. Bagi saya ia adalah momen yang tidak pernah selesai. Momen ini selalu membawa saya pada momen-momen lain yang selalu berubah. Namun, pada setiap perjalanan itu, tentu ada tempat-tempat yang menjadi persinggahan.

Setiap tempat yang saya singgahi punya rasa berbeda. Pada masing-masing tempat itu saya seringkali merasa benar-benar berada di situ, dan pada saat yang bersamaan saya seperti merasa tidak benar-benar di situ. Ketika di tempat itu saya merasakan atmosfernya, suasananya, berinteraksi dengan elemen-elemnnya, tetapi suatu saat saya juga harus siap berpindah lagi.

Saya merasa seperti benar-benar menjejak, tetapi juga ada yang benar-benar tidak ada. Seringkali saya merasa ada residu dari diri saya yang tertinggal di situ, entah residu itu adalah semacam ingatan, atau sebuah rasa yang mungkin hanya secara personal mampu saya pahami. Atau, jangan-jangan tempat-tempat persinggahan itu yang meninggalkan sesuatu pada diri saya.

Yang jelas, pada setiap tempat persinggahan itu saya merasakan ada yang sedang bertransformasi dalam diri saya. Residu dari tiap persinggahan itu membawa fragmen-fragmen ingatan dalam kepala saya. Ia membuat isi kepala dan hati saya jadi lebih berisi, dan mata saya lebih terbuka lebar. Tiap persinggahan itu membuat saya jadi lebih tahu.

Mungkin juga demikian yang dirasakan oleh Yuga. Ia menyebut rekonstruksi persinggahan ini sebagai sebuah proses. Sesuatu yang sedang berjalan, menuju ke ujung, ke sebuah entah yang sangat personal dan subjektif. Dan bukankah kita semua sedang melakukan sebuah perjalanan yang tidak melulu bisa terprediksi kemana ujungnya itu ?

Jadi, selamat melakukan perjalanan, hati hati di jalan. :)



*Refleksi singkat saya yang amat personal atas karya Yuga Bagus, Selfie Beyond Realism, untuk Klimaks pameran tugas akhir Kelas Pagi Yogyakarta angkatan tiga.





[1]  Pameran tugas akhir Kelas Pagi Yogyakarta angkatan tiga.
[2] Punctum adalah salah satu konsep dalam metode pembacaan foto milik Roland Barthes. Untuk melakukan pembacaan terhadap foto dengan teori Barthesian ini ada tiga konsep yang penting untuk diketahui, yaitu studium, punctum, serta satori. Studium adalah saat meraba-raba, mengeksplorasi unsur-unsur yang ada dalam foto. Fase ini adalah saat kita menyesuaikan indera serta pengetahuan kultural dengan objek yang ada dalam foto. Punctum adalah saat kita mulai bergerak dan berhenti pada suatu titik karena titik itu mengesankan kita. Mengesankan artinya titik pada foto itu mampu menimbulkan mourning atau desire yang mendalam pada diri kita. Sedangkan satori adalah saat kita secara personal telah melihat sesuatu yang ada pada foto itu that has been menjadi that has there. Saat satori adalah saat dimana kita telah benar-benar ‘mengalami’ foto secara personal. Seperti ada sebuah pandangan (look) yang memancar dari foto. Studium selalu memiliki kode, sementara punctum tidak. Melihat foto adalah sebuah perjalanan dari studium ke punctum untuk memulihkan foto yang mengancam kita. Menurut Barthes, ketika mencapai momen satori, kita telah mencapai sebuah kegilaan foto. (dirangkum dari Semiotika Negativa karya St. Sunardi)

Comments

Popular posts from this blog

Di Belakang Film The Mission : Ketika “si Putih” bekerja dengan “si Merah”.

Sedikit Pengantar Film adalah sebuah karya yang tidak mungkin dikreasi sendirian. Ia muncul menjadi semacam perhelatan bersama berbagai elemen di balik layar serta di depan layar yang pada akhirnya menjadi sebuah konsumsi publik. Film berangkat dari sebuah kerja yang solid antar berbagai individu yang sejatinya memiliki visi dan tujuan sama. Tanpa ada kerja yang benar-benar rekat antar berbagai elemen, seperti para aktor, sutradara, teknis produksi ataupun produser, maka sulit dibayangkan akan tercipta sebuah film yang layak untuk ditonton. Lalu bagaimana jika sebuah film digarap oleh berbagai elemen yang masing-masing memiliki stereotipe-stereotipe yang membuat salah satu diantara mereka menjadi “yang lain”. Predikat “yang lain” inilah yang akhirnya menjadi semacam standar bagi para kru film ini untuk memperlakukan si “yang lain” ini dengan berbeda. Inilah yang jadi begitu menarik dan terlihat jelas dalam “dapur” sebuah film garapan sutradara peraih Oscar, Roland Joffe.”Yang lai...

Dunia Diane Arbus, Dunia Sunyi Yang Eksentrik

http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Diane-Arbus.html Saya adalah penggemar karya foto yang memotret manusia tepat pada matanya. Bagi saya, mata itu adalah ruang yang mampu berbicara banyak tentang diri. Ia adalah ruang kosong tempat segala pedih, atau keriaan yang jujur tersimpan. Salah seorang fotografer yang saya kagumi karena  mampu menangkap ruang jujur itu adalah Diane Arbus. Ruang-ruang jujur yang tertangkap kamera itu lah yang membuat karya Diane begitu intim. Seperti ada kedekatan yang tidak artifisial. Dalam setiap bidikannya, Diane mampu menangkap mata dengan begitu telanjang. Mungkin juga karena Diane dan subjeknya sesungguhnya tidak berjarak. Bisa jadi, Diane dan subjek foto itu adalah bagian dari masing-masing. Jangan-jangan yang Diane foto adalah proyeksi tentang dirinya sendiri. Siapakah Diane Arbus ? Diane lahir dengan nama Diane Nemerov pada 14 Maret 1923 di New York. Diane berasal dari kalangan menengah New York. Ia adalah putri Gert...

Araki yang Sentimental

Ketika hidup sedang tidak terlalu ramah, beberapa orang mungkin akan pergi meracau pada yang lain, sosial media, tidur, atau pergi melangut sendiri. Sementara itu beberapa yang lain akan pergi memotret. Seperti yang dilakukan Nobuyoshi Araki.  “A man should never show his sadness. Even if you feel pain, don’t show it. You shouldn’t do that. Whenever a man fells pain or sadness, he should keep it inside. You should erase those feelings by taking photos. Just like that, it goes away. Don’t be sad and pathetic!” [1] Ya, jangan jadi orang menyedihkan. Simpan sedihmu jauh-jauh di dalam, dan keluarkanlah lewat medium fotografi. Tapi bukan berarti fotografi bisa semerta-merta membuat yang sedih langsung gembira. Dengan memotret, ketidakramahan dalam hidup bisa dikeluarkan. Bisa dituturkan dengan sangat sentimental. Ini Nobuyoshi Araki yang saya ingat. Selain tentu foto-fotonya yang begitu kontroversial. Sisi Araki yang ‘happy go lucky’ , namun sentimental inilah yang amat men...