Jika saya mulai mendengarkan
Metallica secara intens itu adalah salah satu cara saya menetralisir rasa marah.
Saya ingat, saya pernah begitu terganggu mendengar musik mereka. Apalagi ketika
dahulu kakak saya menyetel musik mereka keras-keras lewat pita kaset. Ketika
itu saya tidak mengenal mereka, yang saya tau, musik ini begitu berisik dan
bikin gendang telinga saya semakin aus. Tetapi, ketika saya makin dewasa dan ada
momen personal yang membuat kepala saya hampir pecah, Metallica seperti menjadi
penyelamat saya,... literally.
Hingar bingar yang memekakkan telinga, musik
yang membuat seluruh tubuh bergerak dalam histeria, berhasil mentransformasi
rasa marah bahkan sakit saya menjadi rasa yang lebur dengan musik itu. Dalam
kebisingan itu saya menjadi hilang. Kemudian marah dan sakit itu akan menguap
lenyap menjadi rasa yang berbeda.
Histeria
Massa
Saat berada dalam sebuah kerumunan, kita telah
menjadi bagian dari kerumunan itu. Kita menjadi anonim, setara dan menyatu
dalam energi yang sama. Ini saya rasakan ketika menyaksikan Hammersonic 2014
beberapa waktu lalu.
Hammersonic adalah sebuah Festival
Metal Internasional tahunan yang diadakan di Jakarta. Venuenya di Senayan, di salah satu lapangan yang biasa digunakan
sebagai tempat latihan sepak bola para atlet nasional. Festival ini mendatangkan
puluhan grup Metal, Heavy Metal, Black Metal, Death Metal dan Trash Metal lokal
hingga internasional, dari Burgerkill, Siksa Kubur, Koil, Bullet for Valentine,
Belphegor, Hatebreed hingga puncaknya grup trash metal lawas asal Jerman, Kreator.
Ini adalah festival metal yang
pertama kali saya hadiri. Sebelumnya saya sempat menyaksikan konser Metallica
di Jakarta, tetapi tentu festival ini sangat berbeda dengan konser tunggal
Metallica. Di festival ini beragam jenis musik yang sama-sama ‘berisik’, bahkan
lebih berisik dari Metallica, bermain dalam venue sama. Dua panggung besar
dibangun bersebelahan dan masing masing grup bermain secara bergantian tanpa
jeda. Pada festival ini, aliran musik yang tidak pernah saya bayangkan saya hadiri
secara langsung pertunjukannya, dimainkan di depan batang hidung saya.
Sebelumnya saya tidak pernah
membayangkan akan menghadiri konser kelompok aliran-aliran black metal, death
metal atau trash metal. Misalnya saja kelompok Belphegor yang beraliran Black
Metal. Dandanan serta properti panggung mereka begitu menyeramkan. Imaji
tentang Malaikat Kegelapan, setan, neraka, darah, serta makhluk-makhluk tak kasat
mata terdeformasi yang amat mengerikan, tampak ditampilkan di panggung. Pada
tiang mikrofon dipasang kepala kambing dan pada layar besar di panggung tampak
gambar makhluk yang membuat saya begidik. Ketika masing masing personil mulai
keluar panggung, sungguh, jantung saya berdebar-debar. Exciting. Saya seperti
akan melihat sebuah pertunjukan yang cuma bisa saya lihat di film-film horor
Holywood. Ketika masing-masing personil keluar, wajah-wajah menyeramkan tampak
hadir. Jantung saya berpacu semakin cepat, dan ketika akhirnya mereka mulai
bermain, saya sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Apalagi saya sama sekali
tidak paham dengan apa yang meraka suarakan. Saya hanya mendengar suara-suara
bising yang terdistorsi oleh teriakan-teriakan keras tertahan di perut.
Beberapa kali kata-kata Lucifer terdengar. Tetapi melihat ini sungguh menggairahkan
saya. Jouissance, dan saya pun
terlarut dalam arus energi yang ada di arena itu.
Arus energi begitu besar yang
diekspresikan lewat kebertubuhan para penontonnya juga menjadi semacam tradisi dalam arena-arena
pertunjukan semacam ini. Ini yang sebelum masuk dalam arena Hammersonic menjadi
ketakutan saya. Saya pikir pengunjung akan sangat brutal, moshing tendang kiri tendang kanan, headbang tak terkontrol, dan
saya pikir bisa jadi saya cedera karena menonton ini. Apalagi saya seorang
perempuan[1].
Ketika itu saya sempat berpikir, bisa bisa saya kena colak colek parah dalam
kerumunan itu. Tetapi itu semua tidak terjadi. Saya baik baik saja. Tubuh saya
tidak disentuh sama sekali. Saya merasa sangat aman. Bahkan ketika ada moshing dan saya tidak ingin
berpartisipasi, beberapa lelaki penonton yang berdiri di belakang saya membantu
untuk menyelamatkan saya dari arena moshing.
Kebertubuhan dalam arena ini diekspresikan dengan amat personal. Ekspresi tubuh
untuk diri mereka sendiri, tidak untuk orang lain. Ketika itu, tubuh dilepaskan
dari gembok dan dibiarkan bergerak bebas, terkadang tanpa haluan. Terkadang bisa
begitu brutal, dan hanya untuk diri sendiri.
Saat dalam kerumunan penonton Hammersonic
itu saya seperti berada di tengah-tengah jemaat satu kepercayaan tertentu. Jemaat
yang sama-sama sedang beribadah, dan sama-sama sedang menuju pada sesuatu yang
entah. Sesuatu, yang menurut saya sangat personal. Lewat medium musik yang
berisik itu, semua seperti masuk dalam kondisi trans. Bergerak menuju pada yang
nir, yang tak terdefinisi. Saya seperti masuk dalam sebuah histeria massa. Para
penonton, termasuk saya, bersatu dalam hingar bingar. Bersatu dalam satu
gelombang otak yang sama.
Pada ujung sebelah kanan dari sisi
saya, seorang laki laki berambut panjang sebahu yang tergerai bebas,
mengibas-kibaskan rambutnya naik turun. Matanya terpejam. Ia terus menerus
melakukan itu saat Siksa Kubur memainkan musik mereka. Di waktu yang berbeda, saat Burgerkill berteriak, “ayooo
kita bikin chaos, kita buat lingkaran
besar, kita bikin brutalll...” seluruh penonton yang berada di tengah arena
langsung membuat lingkaran besar. Ketika musik mulai menghentak, mereka
kemudian berlari memutar, lalu hambur di dalam lingkaran. Masing masing
melompat, berteriak, menggangguk-anggukkan kepala dengan beringas. Semua
menyeringai. Yang tidak ikut masuk dalam lingkaran, tetap berteriak, tetap
beringas dan tetap larut dan lebur dalam keberisikan.
Saya pun terlarut dalam energi yang
luar biasa itu. Saat Jasad memainkan musik mereka, saya seperti mencapai titik
nir. Titik batas entah yang, jika digambarkan, ada sinar di ujungnya. Seperti
ada perasaan yang begitu membuncah sesaat setelah vokalis kelompok Death Metal
asal Bandung ini berteriak-teriak. Saya –seperti- orgasme.
Saya dan kami dalam kerumunan adalah
sekelompok orang yang sedang histeris. Ketika sedang mengalami fase ini, hasrat
saya seperti tidak bisa terkatakan. Hanya tubuh saya yang bisa berkata-kata. Tubuh
saya yang bergerak, mencoba berkomunikasi pada yang lain, juga pada diri
sendiri.
Jacques Lacan[2]
pernah berbicara tentang momen histeris ini. Ia pernah membicarakan mengenai
wacana histeris. Secara amat banal dan sederhana, karena memang pengetahuan
saya yang amat terbatas tentang Psikoanalisa Lacan, Lacan menyebutkan tentang
sebuah wacana tuan (master discourse)
yang menjadi benang merah dari bagaimana titik histeria ini bisa mewujud. Pada
wacana tuan, posisi dominan ditempati oleh S₁. Ini adalah penanda utama (master signifier) yang ada tanpa alasan.
Keberadaannya hadir karena ia memang harus ada. Ia menjadi semacam kebenaran,
peraturan yang harus dipatuhi.
Wacana tuan merupakan wacana
seseorang (subjek) yang memasuki tatanan simbolik. Tatanan simbolik ini adalah
larangan atau hukum-hukum yang ada pada masyarakat. Subjek yang merasa sudah
kepenuhan dengan hal-hal yang simbolik tadi, kemudian mengalami lack atau subjek terbelah ($). Subjek
yang sudah terbelah ini kemudian memiliki hasrat untuk memiliki objek ‘a’ (lost object). Sayangnya, lost object ini tidak dapat memenuhi
hasrat si subjek yang terbelah.
Karena untuk memenuhi hasratnya $ harus
patuh pada S₁ (larangan atau norma-norma yang berlaku). Jika larangan ini terus
menerus diberikan maka subjek akan merasa terkekang. Subjek akan berontak. Subjek
yang merasa dirinya terkekang akan mencari bahasa yang tidak disediakan oleh
wacana tuan. Sikap berontak ini akhirnya akan membentuk subjek histeris.[3]
Di titik inilah histeria dimulai.
Saya memang sedang memberontak pada
sesuatu yang selama ini seperti membuat saya ingin berteriak keras. Saya sedang
memberontak pada master signifer yang
selama ini seperti membelenggu. Pada master
signifier yang membuat saya, atau bisa jadi kami semua dalam kerumunan, marah.
Saya tidak tahu bagaimana mengatakannya, hanya tubuh saya yang bisa
membahasakannya. Hanya teriakan serta lompatan serta headbang tak henti yang mampu membahasakannya. Apa yang selama ini
coba direpresi oleh master signifier
seperti coba dikeluarkan, diteriakkan. Saya tidak bisa menemukan lost object, dan akhirnya pada poin itu saya
terbelah. Saya harus memberontak, dan saya tidak tahu bagaimana mengatakannya.
Akhirnya sayapun histeris.
'Yang
Tak Terbahasakan'
Momen histeris ini bagi saya adalah
momen yang amat spiritual, momen yang buat saya sulit untuk membahasakannya
secara gamblang. Ada yang transenden hadir di situ. Selain karena tidak ada
bahasa yang mampu mengartikulasikannya, sepertinya memang ada sesuatu yang
tidak terjangkau sedang hadir. Mungkin bagi die
hard fan Belphegor, sang Lucifer sendiri sedang hadir di situ.
Yang transenden adalah yang membuat
saya merasa lepas dari tubuh ketika saya –seperti hampir- mencapainya. Ketika
saya bergerak tak terkontrol, ketika saya berteriak lepas sambil terpejam. Saya
tahu saya sedang melepas sebagian jiwa saya ke udara. Dalam udara bebas itu,
energi-energi yang sama-sama sedang melepaskan sebagian jiwanya itu bersatu dan
melebur bersama. Saya, kami, lebur dalam hingar bingar.
Dalam hingar bingar, saya memaklumi
sebuah momen spritual yang amat personal. Lelaki berambut gondrong yang berada
di depan saya dan semenjak awal panggung Hammersonic menggebrak terus ber-headbang, tentu memiliki pemaknaan dan
pengalaman spiritualnya yang berbeda dengan saya. Begitu juga sebaliknya. Yang
jelas saya merasakan aura dan energi yang begitu hidup ketika berada di
kerumunan itu. Saya yakin, ketika si lelaki berambut gondrong itu ber-headbang, sebagian jiwanya pasti sedang
melayang jauh. Saya melihat ia memejamkan mata, kadang berteriak mengikuti
lagu, dan kadang ia melompat lalu kemudian lebur dalam arena moshing. Bisa jadi ia sedang melupakan
dirinya, melupakan realitas yang sedang berkecamuk di kepalanya. Sepertinya ia
memang sedang mengosongkan kepalanya dan memasukkan musik berisik itu ke dalam kepalanya.
Sementara bagi saya, momen ini
adalah momen saya melepaskan apa yang selama ini direpresi. Marah, takut,
benci, muak, sedih, dan ketakutan-ketakutan saya. Rasa-rasa yang semuanya
imajinasi ini telah menjadi semacam realitas di kepala saya selama ini, dan
imajinasi ini perlu ditransformasi, perlu dikeluarkan. Tetapi terkadang saya
tidak tahu bagaimana mengucapkannya. Saya tidak tahu bagaimana membahasakannya.
Oleh karena itu saya butuh medium, semacam katalisator, untuk mentransformasi perasaan-perasaan
itu, dan arena yang dipenuhi musik keras, berisik dan penuh hingar bingar ini
adalah arena yang sempurna.
Mungkin setelah keluar dari arena
itu, berbagai perasaan yang sangat imajiner itu akan kembali. Karena itu
sejatinya menjadi hidup. Perjalanan yang memutar, dan tidak akan pernah selesai
dan rasa-rasa itu adalah bagian dari semuanya. Kalau saya tidak mau
mengalaminya, tentu sebaiknya saya memilih mati saja.
Kesadaran seperti ini adalah hal
yang amat spiritual buat saya. Karena ketika saya berada dalam kesadaran itu
jiwa saya benar-benar sedang berefleksi dan sedang berpikir tentang sesuatu
yang berada di luar diri saya. Sesuatu yang tidak pernah bisa saya jelaskan, apakah
itu, siapakah itu. Tetapi, ketika saya memejamkan mata, sungguh, selalu saya
rasakan keberadaannya, dan Metallica, Sepultura, Jasad ataupun Burgerkill serta
arena pertunjukannya adalah salah satu media yang membuat saya menemukan ‘yang
tak terbahasakan’ itu.
Referensi:
Basori , Nurviyanto, Histeria Goyang Penggoda Massa, Paper Ilmiah pada Seminar Setengah Hari Dilema Warga Budaya (Konsumsi) dan Ruang Publik di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Fink, Bruce, The Lacanian Subject, New Jersey, Princeton University Press, 1995.
[1] Musik
ini kental dengan stereotipe misoginis dan musik yang amat lelaki. Mengenai
musik metal yang amat patriarkis ini bisa dibaca pada artikel milik Ninin Damayanti
tentang Perempuan Menggugat Heavy Metal.
[2] Jacques Lacan adalah pemikir Prancis yang terkenal mengembangkan psikonalisa Sigmun Freud. Ia sezaman dengan Roland Barthes, Michel Foucault, dan Derrida, Pemikiran Lacan ini amat berpengaruh pada sejumlah pemikir sesudah jamannya, Salah satu yang amat terpengaruh adalah seorang filsuf yang amat kontroversial pada milenia ini, Slavoj Zizek.
[3] Dirangkum
dari The Lacanian Subject : Between Language and Jouissance oleh Bruce Fink dan paper ilmiah karya Nurviyanto Basori
berjudul 'Histeria Goyang Penggoda Massa' yang dipresentasikan dalam Seminar
Setengah Hari bertema Dilema Warga Budaya (Konsumsi) dan Ruang Publik di
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Comments