Skip to main content

Membaca Georgia dari Mata D’Agata

Membaca karya Antoine D’Agata adalah seperti sebuah terapi. Saat masuk ke dalam karya Antoine, saya seperti diingatkan akan diri saya sendiri. Saya ingat tentang kerapuhan, ketakutan, tubuh, dan hal-hal yang membuat saya muak dengan dunia ideal, moralis, serta dunia yang secara estetis diatur oleh rezim yang berkuasa.

Ketika membaca karya Antoine saya seperti diajak masuk untuk kembali menguliti segala kegelisahan saya itu. Salah satu karya Antoine yang kali ini saya baca adalah Georgian Spring : D’Agata’s Odyssey.[1]

Menjadi 'Tolol'

Sebelum masuk dalam Georgian Spring, perkenankan saya sedikit membahas fotografer kelahiran Marseilles, Perancis tahun 1961 ini.

Antoine D’Agata meninggalkan Perancis pada tahun 1983 dan pada tahun 1990 pindah ke New York untuk belajar fotografi secara serius di International Center of Photography (ICP). Pada saat itu, Larry Clark dan Nan Goldin adalah salah satu dari banyak guru, juga kawannya di ICP.

Antoine menerbitkan buku pertamanya De Mala Muerte dan Mala Noche pada tahun 1998. Kemudian sesudah itu, Galeri Vu mulai memperkenalkan karya-karyanya pada dunia luar. Tahun 2001 ia menerbitkan Hometown dan memenangkan Niépce Prize. Selanjutnya ia terus mempublikasikan karya-karya secara reguler. Buku selanjutnya adalah Vortex dan Insomnia yang diterbitkan pada tahun 2003. Pada tahun 2004 Antoine menerbitkan Stigma dan Manifeste pada tahun 2005. Ia kemudian bergabung dengan Magnum Photos pada tahun 2004[2].

Antoine memang terkenal dengan karya-karya yang begitu kontroversial. Ia adalah salah satu fotografer Magnum[3] yang –buat saya- lebih tepat disebut sebagai seorang seniman atau bahkan seorang filsuf. Karya-karya Antoine seringkali amat personal, serta seringkali mengekspos seksualitas, tubuh-tubuh telanjang dan persetubuhan dengan amat vulgar. 

Antoine sempat mengatakan bahwa ia tidak mempercayai documentary photography, baginya seorang fotografer harus terlibat langsung dalam dunia yang sedang ia abadikan. 

“I think photography is being misused for the last century. It is being used mostly as a documenting way which of course is a wonderful, very specific way of technique to document reality. But unlike the other art forms, to be a photographer you have to get out of your studio and get to go to experiment the world. And this is what most people forget to do. You know they use photography as illustration of some social sociological ideal in a beautiful way. But they forget that to use photography to its most powerful level you have to use it in the position inside the world not outside.”[4]

Oleh karena itu, tentu Antoine tidak mungkin melepaskan fotografi dari dirinya sendiri. Gambar-gambar yang penuh kontroversi itu adalah gambaran tentang dirinya sendiri. Seorang pribadi yang tidak pernah lepas dari kegelisahan. Dalam sejumlah wawancara, Antoine seringkali menceritakan kisah hidupnya yang banyak dihabiskan di jalanan. Ia banyak bergumul dengan minuman keras, serta pernah beberapa kali terbangun dari tidur, dalam kondisi mabuk dengan seorang perempuan di sampingnya yang bahkan ia lupa siapa atau lupa di mana ia berada. Pengalaman di jalanan, serta pergumulannya –yang menurut Antoine- dengan kenyataan hidup itu sendiri, adalah yang tampak dalam karya-karya visualnya.

Antoine memang selalu mencari kondisi-kondisi yang tidak nyaman. Terutama kondisi-kondisi yang mampu memicu pertanyaan tentang moralitas atau tentang kemanusiaan. Dalam kondisi-kondisi seperti itulah, Antoine benar-benar merasakan dirinya menjadi manusia.

Untuk masuk dalam kondisi-kondisi itu, Antoine akan membuat dirinya masuk dalam ranah ketidaksadaran. “...the things I wouldn’t dare doing if I was sober and yes, it’s true, because I only work when I’m drinking; and if I do anything very good, that is when I’m really out of my mind, when I reach unconsciousness.”[5] 

Bagi Antoine, alkhohol adalah sejenis fasilitator yang berfungsi seperti sebuah tombol switch on atau switch off. Saat dirinya menggunakan alkohol, artinya tombol switch on telah dinyalakan, maka ia merasa memiliki keberanian dan mampu menembus batas-batas yang tidak sanggup ia lampaui ketika berada dalam kondisi sadar. “It’s just the way to break the limits down. It’s just the way I am before photographing. I’m really schizophrenic, in that when I don’t drink I’m completely closed within myself and will not speak to anybody and when I drink I just speak to everybody and break things down.”[6]

Dalam kesadaran penuh, Antoine merasa tidak sanggup menembus batas-batas yang –mungkin saja- kita semua juga maklumi. Dalam kondisi sadar, ada batas-batas moralitas atau tabu-tabu yang kita pahami menjadi norma umum masyarakat. Saat tidak sadar, Antoine, atau bisa jadi saya juga pernah mengalaminya, dengan sangat berani mendobrak batas-batas itu. Saat menjadi (dalam bahasa Antoine) ‘tolol’ atau saat mabuk itu lah Antoine -seringkali- mengabadikan momen-momen visualnya.

Bahasa Kerinduan

Selanjutnya, mari kita masuk dalam Georgian Spring : D’Agata’s Odyssey ini.

Antoine mengawali Georgian Spring miliknya dengan sebuah kutipan karya Homer,

“And may he return without the help of any man or god.” Odyssey, Book V, 31-32.

Odyssey adalah sebuah kisah tentang perjalanan lelaki bernama Odyssey untuk pulang kembali ke Ithaca, rumah, dimana istrinya, Penelope, dan anaknya, Telemachus, tinggal. Perjalanan pulang Odyssey setelah menyelesaikan perang Troya ini adalah sebuah kisah yang amat berliku. Butuh waktu puluhan tahun baginya untuk kembali ke Ithaca. Dalam perjalanan mencari jalan pulang itu, Odyssey diuji kesetiaan serta keteguhan hatinya. 

Begitu juga sebaliknya bagi Penelope dan Telemachus. Menunggu kepulangan Odyssey adalah semacam kisah perjalanan juga. Saat  menunggu di Ithaca, Penelope pun diuji kesetiaan dan keteguhan hatinya, karena menunggu yang tidak pasti –selalu- menjadi hal yang tidak sederhana dan penuh tantangan. Seperti yang digambarkan oleh sepenggal kutipan dari kisah Odyssey itu. “Semoga dia kembali tanpa bantuan dari siapapun, termasuk Tuhan.”

Seperti kisah Odyssey, bagi Antoine mengunjungi Georgia ketika musim semi adalah sebuah perjalanan. Di Georgia ia bertemu dengan makhluk-makhluk penghuninya. Dalam perjalanan itu, Antoine pun masuk dan terlibat secara personal dengan Georgia. Ia bergulat dengan lanskap alamnya, dengan makhluk-makhluknya, dengan emosi mereka, kegelisahan, duka, kehilangan, ketakutan juga dengan passion dan desire pada para perempuanya.  Antoine menjadi bagian dari Georgia, dan dengan fotografi, ia mengartikulasikan dunia barunya itu.

Dalam sebuah wawancara, Antoine mengatakan bahwa baginya fotografi adalah bahasa. Medium untuk bercerita. “I don’t believe in photography as an art or a job or anything. I think of photography as a language and I think a language should be used to speak, to say what you have to say. So, the only things I have to say about my life and what I know about the world, is the way I see it”[7]

Bagi Antoine, fotografi adalah bahasa untuk mengatakan sesuatu yang harus dikatakan. Fotografi adalah cara Antoine menyampaikan sesuatu dari sudut pandangnya. Cara untuk menyampaikan apa yang ia lihat dari dunianya. Oleh karena itu, ia harus berada dalam dunia yang ia lihat itu, bukan berada di luar. Tidak berjarak. Tetapi ia adalah bagian dari dunia yang harus dikatakan itu.“I think people should just use photography to say things and not just photography for the sake of photography.”[8]

Lewat fotografi, Antoine mengartikulasikan Georgia di musim semi sebagai sebuah kisah tentang manusia-manusia yang sedang rindu. Kerinduan yang entah pada apa. Bisa pada seorang kekasih, sahabat,  sesuatu, rumah atau mungkin saja kebebasan. Kerinduan pada yang sudah lama hilang. Menghilang entah kemana, meninggalkan sebuah tempat, yang kadang tidak terlalu bersahabat, tetapi begitu nyaman.

Georgia adalah negeri yang tidak pernah sepi dari pergolakan. Berbagai pemberontakan serta perang kecil di daerah-daerah yang secara administratif masuk dalam wilayah Georgia, seringkali mewarnai kondisi politik negeri ini. Ketika Antoine melakukan perjalananya di Georgia pada 2009, negeri ini belum lama usai dari kisah trauma perang saudara. Perang Georgia dan Rusia yang terjadi pada tahun 2008 atau yang dikenal dengan Perang Agustus adalah perang singkat tetapi membawa banyak luka dan duka pada negeri ini.

Perang Agustus adalah perang yang terjadi ketika salah satu Provinsi di Georgia, Ossetia Selatan berusaha memisahkan diri. Pada enam Agustus 2008, tentara Georgia membombardir Ossetia Selatan agar kontrol pusat dapat direbut kembali. Perang ini semakin besar, ketika Rusia turut campur dengan menempatkan pasukan mereka di Ossetia Selatan. Empat pesawat jet Rusia membom kota Gori, Desa Kareli dan Variani. Kemudian pada Jumat tanggal delapan Agustus, sekitar 2500 tentara Rusia menyerang wilayah darat Georgia.[9] Penyerangan yang berlangsung tidak lama ini, meninggalkan banyak korban pada pihak Georgia.

Georgia pun luluh lantak. Banyak warganya kehilangan orang-orang yang mereka cintai. Infrastruktur rusak parah. Bangunan-bangunan yang rusak ditinggalkan begitu saja. Terbengkalai dan menjadi usang. Banyak yang pergi, dan banyak juga yang tidak kembali lagi.

"I can feel love anywhere but here,
this mountain this landscape love me, I’m their son.[10]

Georgia sempat menjadi negeri mati. Negeri kosong. Bangunan-bangunan tua yang kosong dan terbengkalai. Lanskap alamnya yang gersang, tandus dan tak berpenghuni. Rumah-rumah dan jalanan serta fasilitas publik yang tak terawat.  Tetapi, bagi banyak warganya, Georgia adalah rumah.   

Georgia di musim semi adalah rumah yang sedang ditinggalkan. Georgia di musim semi adalah Ithaca, seperti pada kisah Odyssey. Yang tertinggal adalah orang-orang yang tetap setia pada bentang alamnya. Pada eksotismenya, juga pada perempuan-perempuannya yang memiliki aura begitu menggoda. Ini yang rasanya saya tangkap pada mata Antoine. Seorang pecinta seluruh seksualitas dan sensualitas perempuan.

Dalam perjalanannya ke Georgia itu, Antoine mengabadikan momen-momen sadar nya sekaligus momen-momen ketidaksadarannya. Ia mengalami sendiri lekuk-lekuk tubuh para perempuannya, sekaligus lekuk-lekuk persetubuhannya. Ia juga mengalami sendiri menjadi laki-laki Georgia. Dalam sejumlah foto, tampak bahwa tombol switch on telah diputar ketika momen dalam foto itu terekam. Saat tombol on itu diputar, berarti Antoine telah benar-benar ‘mengalami’ Georgia.

Bagi Antoine yang telah ‘mengalami’ Georgia dan melibatkan dirinya secara personal dalam berbagai karakter manusia Georgia yang ia temui, menjadi Georgia adalah berarti menjadi berani. Berbagai konflik yang mereka temui selama puluhan tahun, telah membuat orang-orang di negeri ini memiliki hati yang kuat.

“hey river river save guard the braveheart the ones who go to war
please river river if you see the coward scared them away with your mighty water
hey river river we dont need the coward we dont love the coward ”[11]

Wajah-wajah khas, dengan gurat-gurat keras yang terbentuk oleh sejarah terlihat dalam foto-foto ini. Profil wajah para lelaki paruh baya yang tampak lelah dan gundah. Wajah-wajah perempuannya yang tampak sensual. Tubuh-tubuh polos perempuannya. Semuanya tanpa senyuman. Semuanya menyiratkan kegamangan. Sepertinya ada begitu banyak yang harus dicerna di kepala. Tetapi bisa jadi, ini adalah bahasa kerinduan mereka. Bahasa mereka untuk menanti yang telah lama pergi.

“I feel fear, my fear will never go away, the fear stay
when I was lying next to you I was felt I was losing that fear for a moment”[12]

Yang telah lama pergi itu adalah sesuatu yang membuat wajah-wajah dalam esai foto ini, -mungkin saja- menjadi tersenyum. Tetapi mereka tahu, bahwa ketakutan adalah hal yang wajar dalam hidup. Ketakutan adalah hal yang tidak bisa dihilangkan begitu saja, apalagi jika tinggal di negeri ini. Dan satu-satunya cara untuk tetap bertahan adalah, menjadi berani untuk menerima ketakutan itu.

“I was an empty body without a soul
I had no wishes and no desires anymore and thus I was free”[13]

Menjadi kosong, dan mematikan rasa adalah juga salah satu cara untuk bertahan. Bagi sebagian orang Georgia, membiarkan tubuh tetap hidup tanpa emosi adalah sebuah kemerdekaan tersendiri. Membiarkan rasa menjadi gersang dan tandus, adalah salah satu cara untuk tetap bisa mempertahankan segala kemanusiaan.

"the desert grows in me..”[14]

Tetapi rasa adalah bagian dari kemanusiaan itu juga. Emosi adalah keniscayaan ketika manusia ingin menjadi manusia yang utuh. Di tengah gurun tandus, di tengah lanskap alam yang tidak bersahabat, penantian pada sesuatu yang lebih baik tidak mungkin dihindari.  

Di tengah pergumulannya dengan para manusia Georgia dan di tengah ketidaksadarannya, Antoine bercerita bahwa Georgia di Musim Semi adalah kisah tentang makhluk-makhluknya yang sedang memendam rindu. Memendam rindu untuk benar-benar pulang pada rumah, pada Ithaca, yang nyaman, juga memendam rindu pada orang-orang terkasih yang telah pergi, dan –mungkin saja- tidak akan pernah kembali.

“and I am understand I'm waiting for nothing, nothing is worse than waiting for nothing.”[15]










*Maaf saya tidak bisa menampilkan foto-foto dalam esay Georgian Spring : D'Agata's Odyssey dalam blog ini karena berhubungan dengan hak cipta. 
Hanya ada satu foto yang mungkin bisa dilihat di http://www.magnumphotos.com/C.aspx?VP3=SearchResult&ALID=2TYRYD001010. Selain itu, jika Anda mencari di Google dengan kata kunci Georgian Spring : D'Agata's Odyssey, sejumlah foto mungkin juga bisa dilihat. 




[1] Georgian Spring adalah projek bersama 10 fotografer Magnum atas undangan Kementrian Pariwasata dan Perdagangan Georgia. Kesepuluh fotografer Magnum itu diantaranya adalah Alec Soth, Martin Parr, Alex Majoli dan Antoine D'Agata. Kesepuluh fotografer ini menginterpretasi Georgia secara personal ketika negri ini memasuki musim semi. Salah satu yang cukup menarik dan amat personal adalah milik Antoine D’Agata. http://www.magnumphotos.com/C.aspx?VP3=SearchResult&ALID=2TYRYD001010
[2] Diringkas dari website Magnum Photos.
[3] Salah satu agensi foto yang amat terkenal di dunia, didirikan, diantaranya oleh Henri Cartier Breson dan Robert Cappa.
[4] Dari wawancara Antoine D’Agata dengan www.gommamag.com
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] disarikan dari http://ihatemycountry.wordpress.com/2008/08/13/mengapa-terjadi-perang-georgia-vs-rusia/
[10] Ini adalah petikan puisi yang ditulis Antoine, terinspirasi dari berbagai wawancara dan ngobrol-ngobrol dengan manusia-manusia, khususnya para perempuan, yang ia temui di Georgia. Puisi ini dinarasikan dalam presentasi  karya foto Georgian Spring : D’Agata’s Odyssey yang ditampilkan dalam Magnum in Motion yang bisa dilihat pada website Magnum Photo Agency.
[11] Petikan puisi dalam Georgian Spring : D’Agata’s Odyssey.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Ibid.

Comments

Review yang bagus. Membuat aku berimajinasi.

Popular posts from this blog

Di Belakang Film The Mission : Ketika “si Putih” bekerja dengan “si Merah”.

Sedikit Pengantar Film adalah sebuah karya yang tidak mungkin dikreasi sendirian. Ia muncul menjadi semacam perhelatan bersama berbagai elemen di balik layar serta di depan layar yang pada akhirnya menjadi sebuah konsumsi publik. Film berangkat dari sebuah kerja yang solid antar berbagai individu yang sejatinya memiliki visi dan tujuan sama. Tanpa ada kerja yang benar-benar rekat antar berbagai elemen, seperti para aktor, sutradara, teknis produksi ataupun produser, maka sulit dibayangkan akan tercipta sebuah film yang layak untuk ditonton. Lalu bagaimana jika sebuah film digarap oleh berbagai elemen yang masing-masing memiliki stereotipe-stereotipe yang membuat salah satu diantara mereka menjadi “yang lain”. Predikat “yang lain” inilah yang akhirnya menjadi semacam standar bagi para kru film ini untuk memperlakukan si “yang lain” ini dengan berbeda. Inilah yang jadi begitu menarik dan terlihat jelas dalam “dapur” sebuah film garapan sutradara peraih Oscar, Roland Joffe.”Yang lai

Dunia Diane Arbus, Dunia Sunyi Yang Eksentrik

http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Diane-Arbus.html Saya adalah penggemar karya foto yang memotret manusia tepat pada matanya. Bagi saya, mata itu adalah ruang yang mampu berbicara banyak tentang diri. Ia adalah ruang kosong tempat segala pedih, atau keriaan yang jujur tersimpan. Salah seorang fotografer yang saya kagumi karena  mampu menangkap ruang jujur itu adalah Diane Arbus. Ruang-ruang jujur yang tertangkap kamera itu lah yang membuat karya Diane begitu intim. Seperti ada kedekatan yang tidak artifisial. Dalam setiap bidikannya, Diane mampu menangkap mata dengan begitu telanjang. Mungkin juga karena Diane dan subjeknya sesungguhnya tidak berjarak. Bisa jadi, Diane dan subjek foto itu adalah bagian dari masing-masing. Jangan-jangan yang Diane foto adalah proyeksi tentang dirinya sendiri. Siapakah Diane Arbus ? Diane lahir dengan nama Diane Nemerov pada 14 Maret 1923 di New York. Diane berasal dari kalangan menengah New York. Ia adalah putri Gertrude

Sesudah Melihat 'The Last Temptation Of Christ'

Apreasiasi luar biasa (dan sungguh terlambat) untuk Martin Scorsese, yang masih tetap nekat mengadaptasi novel kontroversial Nikos Kazantzakis ke dalam media film. Ya, saya memang sangat terlambat untuk benar-benar memaknai film ini. Setelah menyaksikan untuk yang ketiga kali tanpa ketiduran (haha), saya akhirnya mampu merefleksi film ini secara lebih personal. Pada saat novel The Last Temptation of Christ terbit tahun 1953, novel ini begitu banyak mengundang kontroversi. Novel ini juga seringkali masuk dalam daftar buku yang dilarang. Sumber kontroversi utama dari buku ini (dan berikutnya film ini), adalah pada dekonstruksi (atau mungkin bisa disebut sebagai refleksi personal) Nikos atas tokoh suci umat Kristen, Yesus, serta kisah penebusan oleh Yesus yang sudah didogmakan dalam Injil. Maafkan karena saya belum membaca novelnya. Oleh karena itu, saya hanya bisa merefleksi film garapan Scorsese yang sempat mendapat nominasi Academy Award untuk kategori Sutradara Terbaik.