Skip to main content

Viv, Jalanan dan Eskapisme

Pengantar

Saya sangat tergugah oleh orang-orang yang ‘eksentrik’ dengan cara mereka sendiri, begitu pula dengan orang-orang yang berani memilih ‘jalur sunyi’. Bagi saya, mereka adalah individu yang merdeka, atau paling tidak berusaha untuk mewujudkan kemerdekaan itu (walau saya yakin betul tidak ada kemerdekaan yang benar-benar). Mungkin yang ada itu semacam kemerdekaan yang personal, dan pada kutub yang lain mampu menyembuhkan. Mungkin itu yang coba diwujudkan oleh orang-orang eksentrik itu. Salah satu yang ‘eksentrik’ itu adalah Vivian Maier, atau akan saya sebut dengan Viv saja.


Viv

Tidak ada yang pernah benar-benar tahu soal Viv. Bagi orang-orang yang pernah mengenalnya, Viv adalah si pengasuh anak yang misterius dan secretive[1]. Perempuan berperawakan tinggi besar, beraksen Perancis  dan setiap hari mengalungkan kamera Rolleiflex di lehernya.

Viv adalah misteri besar. Apalagi ketika tiba-tiba saja, dunia melihat karya-karya fotonya. Karya foto yang bisa dibandingkan dengan sejumlah karya pemotret besar dan ternama dunia. Karya foto dari seorang baby sitter yang sebelumnya sama sekali tidak terlihat.

Itulah yang membuat Viv makin menarik. Kisah hidupnya bagaikan potongan puzzle yang belum utuh. Beberapa yang berhasil menceritakan kisah hidup Viv, belum benar-benar berhasil menemukan kepingan-kepingan puzzle yang belum utuh itu. Semua meninggalkan banyak pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan yang kurang lebih sama dengan pertanyaan saya : “Mengapa ia memotret dan mengapa ribuan momen beku itu tidak pernah ia tunjukan kepada dunia?”

Dari akte lahir yang ditemukan oleh John Maloof[2], dikatakan bahwa Viv ternyata bukan benar-benar berasal dari Perancis. Dikatakan bahwa perempuan bernama Vivian Dorothy Maier dilahirkan di New York pada 1 Februari 1926. Ibunya bernama Maria Jaussaud Maier yang berasal dari Perancis dan Ayahnya  bernama Charles Maier berasal dari Austria.

Pada saat Viv berusia empat tahun, ayahnya seperti menghilang tanpa jejak. Kemudian Viv dan ibunya muncul dalam sebuah data sensus penduduk tahun 1930. Namun yang aneh, dalam sensus itu ditulis bahwa kepala keluarga mereka adalah seorang perempuan Perancis berusia 49 tahun bernama Jeanne Bertrand. Yang menarik, Jeanne adalah seorang fotografer potret professional yang amat sukses. Ia pernah menerima berbagai penghargaan dan berteman baik dengan Gertrude Vanderbilt Whitney, seorang seniman dan pendiri The Whitney Museum of American Art yang berada di New York. Jim Leonhirt, seorang wartawan lepas di Tennessee yang menulis tentang Bertrand dan sejumlah fotografer dari era Bertrand mengatakan tidak mengetahui tentang hubungan Maier dan Bertrand. Namun menurut Jim, pada saat Viv masih tinggal bersama ibunya, Bertrand memang aktif berkarya dan memiliki sebuah studio di sekitaran New Jersey tempat dimana Viv dan ibunya tinggal ketika itu.

Diketahui pula, Viv dan ibunya sempat kembali Ke Perancis dan tinggal di sebuah desa kecil di Perancis dalam waktu yang cukup lama. Kemudian pada 16 April 1951, di umur 25 tahun, Viv kembali ke New York. Selama tinggal di New York dan bahkan hampir seluruh masa hidupnya, Viv bekerja sebagai seorang pengasuh anak.

Sedikit kisah soal Viv itu adalah fragmen yang dikumpulkan oleh orang-orang yang tidak sengaja ‘bertemu’ dengan Viv. Untung saja, Viv memiliki kecendrungan yang obsesive compulsive[3].  Dengan sangat rapi ia mengumpulkan berbagai benda hasil perjalanan hidupnya. Benda-benda yang sangat remeh. Mulai dari sobekan tiket hingga berbagai nota transaksi. Viv menyimpan berbagai artefak hidupnya itu dalam kotak-kotak yang ia bawa terus dari domisili yang satu ke domisili yang lain. Menjelang akhir hidupnya, benda-benda itu sudah terlalu banyak dan tidak mampu ia simpan lagi. Akhirnya benda-benda itu masuk pelelangan dan ditemukan oleh orang-orang yang beruntung, seperti Maloof atau Jef Goldstein[4].  

Viv pun berhasil membuat para penemunya begitu penasaran. Lewat kebiasaannya mengkoleksi berbagai benda ‘remeh’ dalam hidupnya itu, Viv berhasil membuat dirinya abadi. Viv sepertinya tahu, walau ia tidak bersuara secara langsung kepada dunia,  suatu saat benda-benda itu akan menyuarakan kisah hidupnya.


‘Fotografi Jalanan

Jalanan, ruang publik adalah setting yang paling banyak ditangkap oleh Viv dalam karya fotonya. Dari ratusan rol foto yang berhasil terdokumentasi, terlihat bahwa Viv memang amat mencintai jalanan.  Viv merespon jalanan dengan emosi, imajinasi, dan memberi hidup pada setiap fragmen jalanan yang ia bekukan.

Mungkin bagi Viv, jalanan adalah panggung’. Ia adalah pentas hidup yang amat dinamis. Tidak ada skenario. Tidak ada yang bisa menebak awal dan ujungnya. Semua berjalan secara natural tanpa ada yang –sepertinya- memegang kendali. Viv –kita- bisa menjadi bagian dari panggung itu, bisa terlibat secara aktif. Namun jika tidak sedang ingin, kita pun bisa cuma jadi penikmatnya.

Di jalanan momen-momen tak terduga kerap terjadi. Bahkan momen-momen itu bisa sangat surreal. Butuh imajinasi tinggi untuk bisa menangkapnya. Kesiap-sediaan juga sangat dibutuhkan. Jika tidak cekatan, momen itu bisa menghilang begitu saja. Dan jika beruntung, kita bisa membekukannya.

Alat pembeku momen yang cukup mudah dan efektif adalah kamera. Kamera bisa menghentikan momen yang kebetulan tertangkap mata. Kamera juga bisa mengabadikan momen-momen itu dalam waktu. Apalagi  di masa kini, kamera telah menjadi makin mudah dan terjangkau.

Tradisi ‘fotografi jalanan’ -atau boleh saya sebut dengan  street photography, mulai marak ketika kamera mengalami evolusi bentuk dan teknologi. Kamera yang semula memiliki penampang tubuh begitu besar dan tidak mungkin masuk dalam kantong, makin lama makin mengecil dan makin terjangkau.  Salah satu yang terkenal akan tradisi fotografi jalanan itu adalah Henri Cartier Bresson dengan Leica 35 mm nya. Bresson kemudian populer sebagai orang yang mempopulerkan istilah ‘decisive moment’ [5] dalam ranah fotografi.

Namun jauh sebelum Bresson, pada tahun 1850-an, tradisi memotret ruang publik serta sisi-sisi jalanan di daerah urban mulai dilakukan oleh sejumlah fotografer di London, Paris serta New York. Seorang Skotlandia yang lahir di Edinburgh, bernama John Thomson juga mengabadikan kehidupan jalanan di London pada tahun 1870-an. Ia membuat sebuah karya dokumenter berjudul “Street Life in London”. [6] Karya John ini merupakan salah satu yang cukup komprehensif mendokumentasikan kehidupan jalanan kota London ketika itu. Bahkan bisa dikatakan, karya John ini merupakan salah satu pondasi awal dari fotojurnalisme.

Selain itu juga ada Eugene Atget  yang mengabadikan lanskap kota Paris di tahun 1890-an hingga 1920-an. Atget lebih banyak mengabadikan benda-benda mati, gedung-gedung tua, serta berbagai elemen arsitektur kota Paris. Pada tahun yang sama, seorang fotografer bernama Paul Martin juga memotret kehidupan jalanan di pinggiran laut kota London  secara candid. Kemudian jauh di benua yang berbeda, seorang fotografer bernama Arnold Genthe juga memotret kehidupan jalanan di Chinatown, San Francisco. Yang menarik adalah kedua fotografer ini sama-sama memotret secara candid dan  menggunakan kamera yang disembunyikan.

Di Paris, pada tahun 1933, seorang fotografer bernama Brassai juga melakukan petualangan di jalanan.  Ia menangkap secara dramatis sudut-sudut jalanan Paris di waktu malam. Ia membungkusnya dalam sebuah buku berjudul Paris de nuit. Lewat lensanya, Brassai berhasil menangkap seksualitas pada sudut-sudut jalanan kota Paris, serta aura-aura kesepian yang kerap membuntuti jalanan Paris.

Juga ada Weegee yang  mengambil sisi gelap, kekacauan, sisi glamor, serta keindahan kota New York. Ia mengemas berbagai sisi kota yang tidak pernah tidur itu dalam beberapa bab bukunya sesuai dengan mood serta apa yang ia lihat dan rasakan di  New York.  Weege mengabadikannya dalam buku berjudul Naked City (1945).[7] Dalam buku nya, Weegee seperti ingin menelanjangi New York. Ia ingin membekukan New York dari matanya dan dari apa yang sudah ia selami, dan ia cinta selama ini.

Selain itu juga ada Robert Frank yang terkenal dengan karya dokumenternya tentang Amerika, The Americans, di tahun 1950-an, Diane Arbus yang beberapa fotonya adalah hasil pengembaraan di jalanan, serta sejumlah pemotret lainnya[8] yang menjadi semacam pioner dalam genre foto  dengan pendekatan street photography ini.

Sama seperti Bresson, para persona itu mengarungi jalanan dan menangkap decisive moment mereka masing-masing. Kamera adalah ‘senjata’ vital  mereka. Dalam konteks tertentu jenis senjata itu amat mempengaruhi gambar-gambar yang mereka hasilkan (walaupun tidak melulu demikian). Bresson dengan kamera 35 mm nya yang cukup compact dan shutter yang hampir tidak bersuara, amat membantunya ketika ingin mengambil momen-momen tak terduga secara candid. Momen-momen ‘point of no return’  tanpa si objek yang dipotret mengetahuinya.

Ini amat berbeda dari dua orang fotografer di masa awal yaitu, Eugene Atget dan John Thomson. Mereka berdua masih menggunakan kamera kayu berformat besar serta plat kaca sebagai medium untuk membekukan gambar. Kamera format besar itu tentu memiliki berbagai keterbatasan, apalagi ketika mereka harus bergerak di jalanan yang dinamis. Dan ketika itu, John Thomson rupanya harus meminta ijin terlebih dahulu, atau bahkan ia harus membayar beberapa subjek foto agar mau dipotret.

Tentu ini adalah tantangan tersendiri yang dihadapi oleh pemotret sesuai dengan jamannya. Kamera besar dan berisik, belum tentu tidak bisa menghasilkan gambar-gambar  ‘jalanan’ dengan decisive moment yang sempurna. Bagi mereka yang paling utama adalah jalanan itu sendiri. Jalanan adalah arena, panggung hidup yang menarik untuk ditelanjangi. Dan saya percaya betul, ada keberuntungan, mata dan insting yang terlatih serta ‘kepasrahan’ pada present moment yang menjadi kombinasi sempurna bagi para persona itu ketika mereka mendapatkan decisive moment mereka. Dan Viv adalah salah seorang pemotret, yang dengan segala ‘kerendahan hatinya’ tidak pernah mempublikasikan karyanya, juga memiliki berbagai kualitas itu. Viv yang amat secretive itu sepertinya menjadikan jalanan sebagai semacam eskapisme[9] (?)


Flâneur 

Bagi Viv jalanan sebagai eskapisme adalah sebuah flâneur. Jalanan adalah ranah untuk bisa melarikan diri sesaat dari realita sehari-hari. Ketika di jalanan, ia menjadi bagiannya, tetapi ia tidak benar-benar menjadi bagian dari jalanan. Dalam flâneur itu Viv turut merasakan ambience jalanan, atmosfernya, namun sesungguhnya ia tidak benar-benar terlibat di dalam fragmen jalanan itu.

Pada sebuah essay di koran Paris, Figaro, yang terbit tahun 1863, Charles Baudelaire melukiskan tentang
flâneur  ini.

"The crowd is his element, as the air is that of birds and water of fishes.  His passion and his profession are to become one flesh with the crowd.  For the perfect flâneur , for the passionate spectator, it is an immense joy to set up house in the heart of the multitude, amid the ebb and flow of movement, in the midst of the fugitive and the infinite.  To be away from home and yet to feel oneself everywhere at home; to see the world, to be at the centre of the world, and yet to remain hidden from the world - impartial natures which the tongue can but clumsily define.  The spectator is a prince who everywhere rejoices in his incognito. 

….

...And so away he goes, hurrying, searching.  But searching for what?  Be very sure that this man, such as I have depicted him - this solitary, gifted with an active imagination, ceaselessly journeying across the great human desert - has an aim loftier than that of a mere flâneur , an aim more general, something other than the fugitive pleasure of circumstance.”[10]

Kemudian seorang pemikir dari era sesudah Baudelaire mengadopsi konsep flâneur itu dan mengelaborasinya secara akadem ik. Walter Benjamin mendeskripsikan flâneur  sebagai figur penonton dalam sebuah masyarakat urban. Seorang detektif amatir, seorang investigator dalam sebuah kota. Benjamin juga kemudian mendeskripsikan flâneur sebagai tanda-tanda alienasi dalam sebuah kota, juga alienasi akibat kapitalisme yang tak terbendung.

Akhirnya, sesudah Benjamin, flâneur pun menjadi subjek menarik yang dibicarakan dalam sejumlah diskusi di kalangan akademisi, seniman juga budayawan. Figur flâneur  ini pun digunakan sebagai cara untuk menjelaskan modernisme, pengalaman dalam masyarakat urban, ketegangan antar kelas, serta pembagian peran sesuai dengan gendernya di sebuah kota pada abad 19. Figur ini juga menjadi inspirasi bagi banyak penulis serta seniman.

Viv adalah salah satu figur flâneur di daerah urban Amerika Serikat. Ia berjalan-jalan (strolling) di jalanan kota tempat ia tinggal, hingga beberapa kota terdekatnya.  Ia membawa kamera dan mengabadikan momen-momen decisive nya. Viv tidak benar-benar-bahkan sama sekali tidak -mengenal orang-orang yang ia potret. Viv pun tidak terlibat pada momen yang ia potret. Viv melakukannya secara candid[11].

Kamera memang akhirnya menjadi kawan bagi figur flâneur ini. Kawan dalam sunyi di kepala, tapi juga menjadi senjata untuk mewujudkan imajinasi si flâneur ini. Senjata untuk mengabadikannya dalam bentuk gambar. Dan saya yakin, scene di jalanan itu bisa mewujud, ketika mata yang menangkapnya memiliki imajinasi luar biasa.

The photographer is an armed version of the solitary walker reconnoitering, stalking, cruising the urban inferno, the voyeuristic stroller who discovers the city as a landscape of voluptuous extremes. Adept of the joys of watching, connoisseur of empathy, the flâneur finds the world "picturesque."[12] (Sontag, On Photography, 55)

Dan ketika kamera menjadi begitu kecil dan terjangkau, ia menjadi alat yang menyenangkan bagi si flâneur untuk sekedar mengintip, kemudian berimajinasi, membayangkan di kepalanya dunia di luar dirinya sendiri sebagai dunia yang sangat indah, jenaka dan kadang tragis. Akhirnya si flâneur akan melepaskan diri  dari momen itu untuk berlanjut ke momen selanjutnya.  

Viv adalah si flâneur dengan kamera yang mencipta dunia sureal di luar kesehariannya. Ia sedang berimajinasi ketika ia mengarungi jalanan kota. Viv adalah si flâneur berkamera dengan perpaduan kualitas yang begitu komplit, dan ia menikmatinya sendiri saja. “She had great eye, great sense of framing, she had a sense of humor, and sense of tragedy,” kata Mary Ellen Mark[13], saat melihat foto-foto karya Viv. Perpaduan dan jukstaposisi yang bisa dibandingkan, dengan Robert Frank[14], Lisette Model[15], Helen Levitt[16] juga Diane arbus[17]. Perpaduan itu kemudian mencipta semacam dunia di luar keseharian Viv.

Itu mungkin yang membuat Viv menikmati aktifitas flâneur. Sebuah aktiftas yang sepertinya sangat rekreatif. Saat ia menyusuri jalanan, ia seperti melarikan diri dari realita hidup kesehariannya. Ia mungkin saja menemukan keramaian yang bukan di dalam dirinya, tetapi tidak jauh dari tempatnya berada. Ia menikmati keramaian yang tidak bisa ia raih benar-benar. Dunia yang sempurna untuk melarikan diri, namun sesaat saja.

Beberapa anak yang sempat diasuh Viv pun mengatakan, Viv memang sangat imajinatif. Ia sangat menyenangkan, sekaligus aneh. Viv sering mengajak mereka berpetualang ke kota atau hanya bermain di kebun belakang. Dan Viv pasti akan memotret mereka dengan kamera yang selalu menggantung di lehernya itu. Tetapi, sepertinya ada ketakutan besar yang ia represi. Ia takut membuka diri seluas-luasnya kepada dunia. Ia takut kepada manusia.Tapi di kutub yang lain, ia juga mencintai manusia dan tidak bisa hidup tanpa manusia lain.

Flâneur , strolling, menjadi pengamat di jalanan, dan menikmati setiap momennya lalu membekukannya dengan medium kamera adalah jalan tengah untuk bisa menikmati hidup tanpa harus benar-benar terlibat dengan manusia lain, tetapi tetap merasakan keberadaan manusia yang lain itu. Karena keberadaan manusia lain itu sesungguhnya bisa dijadikan semacam memori abadi. Foto.

Bresson pernah mengatakan tentang aktifitas flâneur nya.” I love life. I love human being. A also hate people.”[18] Dan ini mungkin yang membuat pendekatan street photography jadi nyaman dilakukan. Detachment –ketidakbersambungan- dengan manusia yang ada di sekitarnya itu, namun tidak benar-benar lepas, adalah hal yang nyaman bagi beberapa orang.

Dan ini adalah kepingan puzzle yang rasa-rasanya masih hilang dari fragmen Viv. Tapi puzzle itulah justru  yang membuat Viv hidup kembali. Ini juga yang membuat saya menulis tentang Viv, dan bagi saya, Viv adalah seorang yang sangat otentik dengan keeksentrikannya.

“First impression when I saw her works was the kind of delight when a surprise comes your way, and you feel that somebody hitherto undiscovered suddenly makes their work available  and it looks good. It looks like there’s an authentic eye and real savvy about human nature, and photography, and the street, and that kind of thing doesn’t happen that often. I see thousands of pictures. Day after day, people send me their websites to look at. And when a flick through them, I feel most of them are undistinguished. But Vivian’s work instantly had those qualities of human understanding and warmth and playfulness that I thought , “This is a genuine shooter.” Joel Meyerowitzs.[19]

Seorang eksentrik yang genuine dan paham betul tentang manusia. Ia paham bagaimana seorang manusia bisa teralienasi dari dirinya sendiri. Teralienasi dari dunia yang ia tinggali. Teralineasi dari hidupnya sendiri.

Mungkin saja Viv mengalami hal itu, sehingga ia butuh sebuah eskapisme. Melarikan diri dari dirinya sejenak, berwisata, untuk kemudian kembali lagi ke hidupnya yang sehari-hari. Dan jalanan adalah tempat yang sempurna untuk melarikan diri. Sebuah panggung yang berwarna dengan ragam polahnya. Dan kamera menjadi medium menyenangkan untuk membuat diri kita benar-benar menjadi anonim, tanpa harus membuka jati diri kita pada fragmen yang ada di depan mata. Klik ! dan fragmen itu membeku. Sebuah eskapisme yang sureal dan abadi.

http://www.nytimes.com/2014/09/06/arts/design/a-legal-battle-over-vivian-maiers-work.html?_r=0


[1]Secretive: adjective (of a person or an organization) inclined to conceal feelings and intentions or not to disclose information.Dalam bahasa Indonesia artinya adalah diam-diam, yang suka merahasiakan.
[2] John Maloof adalah seorang kontraktor yang kebetulan membeli dan menemukan kotak-kotak yang berisi benda-benda pribadi milik Vivian Maier. Maloof kemudian membuat film dokumenter Finding Vivian Maier yang mendapat banyak pengakuan dari dunia internasional serta sempat mendapat nominasi Oscar untuk kategori Best Documentary Film http://www.imdb.com/name/nm5525244/.
[3] Obsesive Compulsive adalah kecendrungan yang bersifat obsesi pada sesuatu. Obsesi /obsési/ n Psi gangguan jiwa berupa pikiran yg selalu menggoda seseorang dan sangat sukar dihilangkan: mencari jalan ke Kepulauan Nusantara merupakan -- bagi orang Eropa pd abad ke-15;
http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/ocd/basics/definition/con-20027827
[4] Jef Goldstein adalah kolektor kedua terbesar yang memiliki negatif pribadi milik Vivian Maier. http://petapixel.com/2014/12/21/toronto-gallery-buys-entire-collection-vivian-maier-negatives-owned-jeffrey-goldstein/
[5] The decisive moment is a concept made popular by the street photographer, photojournalist, and Magnum co-founder Henri Cartier-Bresson. The decisive moment refers to capturing an event that is ephemeral and spontaneous, where the image represents the essence of the event itself.http://petapixel.com/2013/08/12/the-decisive-moment-and-the-human-brain/
[6] http://www.imaging-resource.com/news/2013/08/09/john-thomson-photographing-19th-century-street-life-london. Susan Sontag dalam essay Melancholy Object mengatakan bahwa karya John Thomson ini adalah bisa dikatakan model awal dari pendekatan fotografi jalanan ini. John Thomson mengabadikan karya-karya Street Life in London ini pada tahun 1877-78. Sebelumnya ia telah memiliki pengalaman mengabadikan kehidupan jalanan dan kemiskinan semacam Street Life in London ini yang bukan hanya di negrinya sendiri, tetapi pada negeri-negeri jauh. Pengalaman perjalanannya itu ia abadikan dalam sebuah karya yang terdiri dari empat volume berjudul Illustration of China and its People. (1873-74).  (Sontag, On Photography, 57)
[7] Sontag, On Photography, 55.
[8] Untuk konteks Indonesia, fotografi dengan pendekatan street ini masih merupakan hal yang baru. Salah seorang pemotret yang secara konsisten telah memotret dengan pendekatan ini adalah Erik Prasetya. Lewat buku nya Jakarta: Estetika Banal, Erik mencoba memberikan pondasi pendekatan street photography dalam konteks Indonesia.
[9] eskapisme : n Sas : kehendak atau kencendrungan menghindar dari kenyataan dengan mencari hiburan dan ketentraman di dalam khayal atau situasi rekaan (KBBI)
[10] Essay ini kemudian diterbitkan kembali dalam sebuah buku The Painter of Modern Life, terbitan Da Capo Press, New York pada tahun 1964.
[11] Candid: taken informally, especially without the subject’s knowledge. Dalam sebuah perbincangan dengan sebuah situs online street photography Sidewalker Asia, Erik Prasetya mengatakan, dalam street photography, emosi sebuah kota ditangkap/digambarkan dari momen candid dalam keseharian, dengan bantuan estetika, komposisi, kontras-kontras, simbol, dan juga (yang terpenting) surealisme untuk menangkap hubungan, kontradiksi, ironi, harmoni, kegilaan, absurditas dan sebagainya. Unsur candid di sini menjadi penting karena tujuannya menangkap emosi, dalam hal ini (emosi) sebuah kota.”  
[12] Sontag, On Photography, 55.
[13] http://www.maryellenmark.com/
[14] http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Robert-Frank.html
[15] http://www.getty.edu/art/collection/artists/1521/lisette-model-american-born-austria-1901-1983/
[16] https://www.lensculture.com/articles/helen-levitt-helen-levitt-new-york-streets-1938-to-1990s
[17] Klik luciadianawuri.blogspot.com pada tulisan tentang Diane Arbus.
[18] Bresson mengatakan ini dalam sebuah wawancara yang saya captured lewat film dokumenter singkatnya di http://digital-photography-school.com/henri-cartier-bresson-the-decisive-moment/
[19] ini adalah potongan wawancara Joel (http://www.joelmeyerowitz.com/) ketika diwawancara dalam film Finding Vivian Maier

Comments

Popular posts from this blog

Di Belakang Film The Mission : Ketika “si Putih” bekerja dengan “si Merah”.

Sedikit Pengantar Film adalah sebuah karya yang tidak mungkin dikreasi sendirian. Ia muncul menjadi semacam perhelatan bersama berbagai elemen di balik layar serta di depan layar yang pada akhirnya menjadi sebuah konsumsi publik. Film berangkat dari sebuah kerja yang solid antar berbagai individu yang sejatinya memiliki visi dan tujuan sama. Tanpa ada kerja yang benar-benar rekat antar berbagai elemen, seperti para aktor, sutradara, teknis produksi ataupun produser, maka sulit dibayangkan akan tercipta sebuah film yang layak untuk ditonton. Lalu bagaimana jika sebuah film digarap oleh berbagai elemen yang masing-masing memiliki stereotipe-stereotipe yang membuat salah satu diantara mereka menjadi “yang lain”. Predikat “yang lain” inilah yang akhirnya menjadi semacam standar bagi para kru film ini untuk memperlakukan si “yang lain” ini dengan berbeda. Inilah yang jadi begitu menarik dan terlihat jelas dalam “dapur” sebuah film garapan sutradara peraih Oscar, Roland Joffe.”Yang lai

Dunia Diane Arbus, Dunia Sunyi Yang Eksentrik

http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Diane-Arbus.html Saya adalah penggemar karya foto yang memotret manusia tepat pada matanya. Bagi saya, mata itu adalah ruang yang mampu berbicara banyak tentang diri. Ia adalah ruang kosong tempat segala pedih, atau keriaan yang jujur tersimpan. Salah seorang fotografer yang saya kagumi karena  mampu menangkap ruang jujur itu adalah Diane Arbus. Ruang-ruang jujur yang tertangkap kamera itu lah yang membuat karya Diane begitu intim. Seperti ada kedekatan yang tidak artifisial. Dalam setiap bidikannya, Diane mampu menangkap mata dengan begitu telanjang. Mungkin juga karena Diane dan subjeknya sesungguhnya tidak berjarak. Bisa jadi, Diane dan subjek foto itu adalah bagian dari masing-masing. Jangan-jangan yang Diane foto adalah proyeksi tentang dirinya sendiri. Siapakah Diane Arbus ? Diane lahir dengan nama Diane Nemerov pada 14 Maret 1923 di New York. Diane berasal dari kalangan menengah New York. Ia adalah putri Gertrude

Sesudah Melihat 'The Last Temptation Of Christ'

Apreasiasi luar biasa (dan sungguh terlambat) untuk Martin Scorsese, yang masih tetap nekat mengadaptasi novel kontroversial Nikos Kazantzakis ke dalam media film. Ya, saya memang sangat terlambat untuk benar-benar memaknai film ini. Setelah menyaksikan untuk yang ketiga kali tanpa ketiduran (haha), saya akhirnya mampu merefleksi film ini secara lebih personal. Pada saat novel The Last Temptation of Christ terbit tahun 1953, novel ini begitu banyak mengundang kontroversi. Novel ini juga seringkali masuk dalam daftar buku yang dilarang. Sumber kontroversi utama dari buku ini (dan berikutnya film ini), adalah pada dekonstruksi (atau mungkin bisa disebut sebagai refleksi personal) Nikos atas tokoh suci umat Kristen, Yesus, serta kisah penebusan oleh Yesus yang sudah didogmakan dalam Injil. Maafkan karena saya belum membaca novelnya. Oleh karena itu, saya hanya bisa merefleksi film garapan Scorsese yang sempat mendapat nominasi Academy Award untuk kategori Sutradara Terbaik.