Pengantar
Saya
sangat tergugah oleh orang-orang yang ‘eksentrik’ dengan cara mereka sendiri,
begitu pula dengan orang-orang yang berani memilih ‘jalur sunyi’. Bagi saya,
mereka adalah individu yang merdeka, atau paling tidak berusaha untuk mewujudkan
kemerdekaan itu (walau saya yakin betul
tidak ada kemerdekaan yang benar-benar). Mungkin yang ada itu semacam
kemerdekaan yang personal, dan pada kutub yang lain mampu menyembuhkan. Mungkin
itu yang coba diwujudkan oleh orang-orang eksentrik itu. Salah satu yang ‘eksentrik’
itu adalah Vivian Maier, atau akan saya sebut dengan Viv saja.
Viv
Tidak
ada yang pernah benar-benar tahu soal Viv. Bagi orang-orang yang pernah
mengenalnya, Viv adalah si pengasuh anak yang misterius dan secretive[1].
Perempuan berperawakan tinggi besar, beraksen Perancis dan setiap hari mengalungkan kamera Rolleiflex di
lehernya.
Viv
adalah misteri besar. Apalagi ketika tiba-tiba saja, dunia melihat karya-karya
fotonya. Karya foto yang bisa dibandingkan dengan sejumlah karya pemotret besar dan ternama dunia. Karya foto dari seorang baby sitter yang sebelumnya sama sekali tidak terlihat.
Itulah
yang membuat Viv makin menarik. Kisah hidupnya bagaikan potongan puzzle yang belum utuh. Beberapa yang
berhasil menceritakan kisah hidup Viv, belum benar-benar berhasil menemukan
kepingan-kepingan puzzle yang belum
utuh itu. Semua meninggalkan banyak pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan yang
kurang lebih sama dengan pertanyaan saya : “Mengapa ia memotret dan mengapa
ribuan momen beku itu tidak pernah ia tunjukan kepada dunia?”
Dari akte
lahir yang ditemukan oleh John Maloof[2],
dikatakan bahwa Viv ternyata bukan benar-benar berasal
dari Perancis. Dikatakan bahwa
perempuan bernama Vivian Dorothy Maier dilahirkan di New York pada 1 Februari
1926. Ibunya bernama Maria Jaussaud Maier yang berasal dari Perancis dan Ayahnya
bernama Charles Maier berasal
dari Austria.
Pada
saat Viv berusia empat tahun, ayahnya seperti menghilang tanpa jejak. Kemudian
Viv dan ibunya muncul dalam sebuah data sensus penduduk tahun 1930. Namun yang
aneh, dalam sensus itu ditulis bahwa kepala keluarga mereka adalah seorang
perempuan Perancis berusia 49 tahun bernama Jeanne Bertrand. Yang menarik, Jeanne
adalah seorang fotografer potret professional yang amat sukses. Ia pernah
menerima berbagai penghargaan dan berteman baik dengan Gertrude Vanderbilt
Whitney, seorang seniman dan pendiri The
Whitney Museum of American Art yang berada di New York. Jim Leonhirt,
seorang wartawan lepas di Tennessee yang menulis tentang Bertrand dan sejumlah
fotografer dari era Bertrand mengatakan tidak mengetahui tentang hubungan Maier
dan Bertrand. Namun menurut Jim, pada saat Viv masih tinggal bersama ibunya, Bertrand
memang aktif berkarya dan memiliki sebuah studio di sekitaran New Jersey tempat
dimana Viv dan ibunya tinggal ketika itu.
Diketahui
pula, Viv dan ibunya sempat kembali Ke Perancis dan tinggal di sebuah desa
kecil di Perancis dalam waktu yang cukup lama. Kemudian pada 16 April 1951, di
umur 25 tahun, Viv kembali ke New York. Selama tinggal di New York dan bahkan hampir seluruh masa
hidupnya, Viv bekerja sebagai seorang pengasuh anak.
Sedikit kisah soal Viv itu adalah
fragmen yang dikumpulkan oleh orang-orang yang tidak sengaja ‘bertemu’ dengan
Viv. Untung saja, Viv memiliki kecendrungan yang obsesive compulsive[3]. Dengan sangat rapi ia mengumpulkan berbagai
benda hasil perjalanan hidupnya. Benda-benda yang sangat remeh. Mulai dari
sobekan tiket hingga berbagai nota transaksi. Viv menyimpan berbagai artefak
hidupnya itu dalam kotak-kotak yang ia bawa terus dari domisili yang satu ke
domisili yang lain. Menjelang akhir hidupnya, benda-benda itu sudah terlalu
banyak dan tidak mampu ia simpan lagi. Akhirnya benda-benda itu masuk
pelelangan dan ditemukan oleh orang-orang yang beruntung, seperti Maloof atau Jef Goldstein[4].
Viv pun
berhasil membuat para penemunya begitu penasaran. Lewat kebiasaannya mengkoleksi berbagai benda ‘remeh’ dalam hidupnya itu, Viv berhasil
membuat dirinya abadi. Viv
sepertinya tahu, walau ia tidak bersuara secara langsung kepada dunia, suatu saat benda-benda itu akan menyuarakan
kisah hidupnya.
‘Fotografi Jalanan’
Jalanan, ruang publik adalah
setting yang paling banyak ditangkap oleh Viv dalam karya fotonya. Dari ratusan
rol foto yang berhasil terdokumentasi, terlihat bahwa Viv memang amat mencintai
jalanan. Viv merespon jalanan dengan
emosi, imajinasi, dan memberi hidup pada setiap fragmen jalanan yang ia bekukan.
Mungkin bagi Viv, jalanan adalah ‘panggung’. Ia adalah pentas hidup yang amat dinamis.
Tidak ada skenario. Tidak ada yang bisa menebak awal dan ujungnya. Semua berjalan secara natural tanpa ada
yang –sepertinya- memegang kendali. Viv –kita- bisa menjadi
bagian dari panggung itu, bisa terlibat secara aktif. Namun jika tidak sedang
ingin, kita pun bisa cuma jadi penikmatnya.
Di jalanan momen-momen tak
terduga kerap terjadi. Bahkan momen-momen itu bisa sangat surreal. Butuh imajinasi tinggi untuk bisa menangkapnya.
Kesiap-sediaan juga sangat dibutuhkan. Jika tidak cekatan, momen itu bisa
menghilang begitu saja. Dan jika beruntung, kita bisa membekukannya.
Alat pembeku momen yang cukup
mudah dan efektif adalah kamera. Kamera bisa menghentikan momen yang kebetulan
tertangkap mata. Kamera juga bisa mengabadikan momen-momen itu dalam waktu.
Apalagi di masa kini, kamera telah menjadi
makin mudah dan terjangkau.
Tradisi ‘fotografi jalanan’ -atau
boleh saya sebut dengan street photography, mulai marak ketika
kamera mengalami evolusi bentuk dan teknologi. Kamera yang semula memiliki
penampang tubuh begitu besar dan tidak mungkin masuk dalam kantong, makin lama
makin mengecil dan makin terjangkau.
Salah satu yang terkenal akan tradisi fotografi jalanan itu adalah Henri
Cartier Bresson dengan Leica 35 mm nya. Bresson kemudian populer sebagai orang
yang mempopulerkan istilah ‘decisive
moment’ [5] dalam
ranah fotografi.
Namun jauh sebelum Bresson,
pada tahun 1850-an, tradisi memotret ruang publik serta sisi-sisi jalanan di
daerah urban mulai dilakukan oleh sejumlah fotografer di London, Paris serta
New York. Seorang Skotlandia yang lahir di Edinburgh, bernama John Thomson juga
mengabadikan kehidupan jalanan di London pada tahun 1870-an. Ia membuat sebuah
karya dokumenter berjudul “Street Life in
London”. [6] Karya John ini merupakan
salah satu yang cukup komprehensif mendokumentasikan kehidupan jalanan kota
London ketika itu. Bahkan bisa dikatakan, karya John ini merupakan salah satu pondasi
awal dari fotojurnalisme.
Selain itu juga ada Eugene
Atget yang mengabadikan lanskap kota
Paris di tahun 1890-an hingga 1920-an. Atget lebih banyak mengabadikan
benda-benda mati, gedung-gedung tua, serta berbagai elemen arsitektur kota
Paris. Pada tahun yang sama, seorang fotografer bernama Paul Martin juga
memotret kehidupan jalanan di pinggiran laut kota London secara candid.
Kemudian jauh di benua yang berbeda, seorang fotografer bernama Arnold Genthe
juga memotret kehidupan jalanan di Chinatown, San Francisco. Yang menarik adalah
kedua fotografer ini sama-sama memotret secara candid dan menggunakan
kamera yang disembunyikan.
Di Paris, pada tahun 1933, seorang
fotografer bernama Brassai juga melakukan petualangan di jalanan. Ia menangkap secara dramatis sudut-sudut
jalanan Paris di waktu malam. Ia membungkusnya dalam sebuah buku berjudul Paris de nuit. Lewat lensanya, Brassai
berhasil menangkap seksualitas pada sudut-sudut jalanan kota Paris, serta
aura-aura kesepian yang kerap membuntuti jalanan Paris.
Juga ada Weegee yang mengambil sisi gelap, kekacauan, sisi glamor,
serta keindahan kota New York. Ia mengemas berbagai sisi kota yang tidak pernah
tidur itu dalam beberapa bab bukunya sesuai dengan mood serta apa yang ia lihat
dan rasakan di New York. Weege mengabadikannya dalam buku berjudul Naked City (1945).[7]
Dalam buku nya, Weegee seperti ingin menelanjangi New York. Ia ingin membekukan
New York dari matanya dan dari apa yang sudah ia selami, dan ia cinta selama
ini.
Selain itu juga ada Robert
Frank yang terkenal dengan karya dokumenternya tentang Amerika, The Americans, di tahun 1950-an, Diane
Arbus yang beberapa fotonya adalah hasil pengembaraan di jalanan, serta
sejumlah pemotret lainnya[8]
yang menjadi semacam pioner dalam genre foto dengan pendekatan street photography ini.
Sama seperti Bresson, para
persona itu mengarungi jalanan dan menangkap decisive moment mereka masing-masing. Kamera adalah ‘senjata’ vital
mereka. Dalam konteks tertentu jenis
senjata itu amat mempengaruhi gambar-gambar yang mereka hasilkan (walaupun
tidak melulu demikian). Bresson dengan kamera 35 mm nya yang cukup compact dan shutter yang hampir tidak bersuara, amat membantunya ketika ingin
mengambil momen-momen tak terduga secara candid.
Momen-momen ‘point of no return’ tanpa si objek yang dipotret mengetahuinya.
Ini amat berbeda dari dua
orang fotografer di masa awal yaitu, Eugene Atget dan John Thomson. Mereka
berdua masih menggunakan kamera kayu berformat besar serta plat kaca sebagai
medium untuk membekukan gambar. Kamera format besar itu tentu memiliki berbagai
keterbatasan, apalagi ketika mereka harus bergerak di jalanan yang dinamis. Dan
ketika itu, John Thomson rupanya harus meminta ijin terlebih dahulu, atau bahkan
ia harus membayar beberapa subjek foto agar mau dipotret.
Tentu ini adalah tantangan
tersendiri yang dihadapi oleh pemotret sesuai dengan jamannya. Kamera besar dan
berisik, belum tentu tidak bisa menghasilkan gambar-gambar ‘jalanan’ dengan decisive moment yang sempurna. Bagi mereka yang paling utama adalah
jalanan itu sendiri. Jalanan adalah arena, panggung hidup yang menarik untuk
ditelanjangi. Dan saya percaya betul, ada keberuntungan, mata dan insting yang
terlatih serta ‘kepasrahan’ pada present
moment yang menjadi kombinasi sempurna bagi para persona itu ketika mereka
mendapatkan decisive moment mereka. Dan
Viv adalah salah seorang pemotret, yang dengan segala ‘kerendahan hatinya’
tidak pernah mempublikasikan karyanya, juga memiliki berbagai kualitas itu. Viv
yang amat secretive itu sepertinya menjadikan
jalanan sebagai semacam eskapisme[9]
(?)
Flâneur
Bagi Viv jalanan
sebagai eskapisme adalah sebuah flâneur.
Jalanan adalah ranah untuk bisa melarikan diri sesaat dari realita sehari-hari.
Ketika di jalanan, ia menjadi bagiannya, tetapi ia tidak benar-benar menjadi
bagian dari jalanan. Dalam flâneur
itu Viv turut merasakan ambience
jalanan, atmosfernya, namun sesungguhnya ia tidak benar-benar terlibat di dalam
fragmen jalanan itu.
Pada sebuah essay di
koran Paris, Figaro, yang terbit tahun 1863, Charles Baudelaire melukiskan
tentang
flâneur ini.
"The crowd is his element, as the air is that of birds
and water of fishes. His passion and his
profession are to become one flesh with the crowd. For the perfect flâneur , for the passionate
spectator, it is an immense joy to set up house in the heart of the multitude,
amid the ebb and flow of movement, in the midst of the fugitive and the
infinite. To be away from home and yet
to feel oneself everywhere at home; to see the world, to be at the centre of
the world, and yet to remain hidden from the world - impartial natures which
the tongue can but clumsily define. The
spectator is a prince who everywhere rejoices in his incognito.
….
...And so away he goes, hurrying, searching. But searching for what? Be very sure that this man, such as I have
depicted him - this solitary, gifted with an active imagination, ceaselessly
journeying across the great human desert - has an aim loftier than that of a
mere flâneur , an aim more general, something other than the fugitive pleasure
of circumstance.”[10]
Kemudian seorang pemikir
dari era sesudah Baudelaire mengadopsi konsep flâneur itu dan mengelaborasinya secara akadem ik. Walter Benjamin
mendeskripsikan flâneur sebagai figur penonton dalam sebuah masyarakat
urban. Seorang detektif amatir, seorang investigator dalam sebuah kota.
Benjamin juga kemudian mendeskripsikan flâneur
sebagai tanda-tanda alienasi dalam sebuah kota, juga alienasi akibat
kapitalisme yang tak terbendung.
Akhirnya,
sesudah Benjamin, flâneur pun menjadi subjek menarik yang
dibicarakan dalam sejumlah diskusi di kalangan akademisi, seniman juga
budayawan. Figur flâneur ini pun digunakan sebagai cara untuk menjelaskan modernisme,
pengalaman dalam masyarakat urban, ketegangan antar kelas, serta pembagian peran
sesuai dengan gendernya
di sebuah kota pada abad 19.
Figur ini juga menjadi inspirasi bagi banyak penulis serta seniman.
Viv adalah salah satu
figur flâneur di daerah urban Amerika
Serikat. Ia berjalan-jalan (strolling)
di jalanan kota tempat ia tinggal, hingga beberapa kota terdekatnya. Ia membawa kamera dan mengabadikan
momen-momen decisive nya. Viv tidak
benar-benar-bahkan sama sekali tidak -mengenal orang-orang yang ia potret. Viv pun
tidak terlibat pada momen yang ia potret. Viv melakukannya secara candid[11].
Kamera memang
akhirnya menjadi kawan bagi figur flâneur
ini. Kawan dalam sunyi di kepala, tapi juga menjadi senjata untuk mewujudkan
imajinasi si flâneur ini. Senjata
untuk mengabadikannya dalam bentuk gambar. Dan saya yakin, scene di jalanan itu bisa mewujud, ketika mata yang menangkapnya
memiliki imajinasi luar biasa.
The photographer is an
armed version of the solitary walker reconnoitering, stalking, cruising the
urban inferno, the voyeuristic stroller who discovers the city as a landscape
of voluptuous extremes. Adept of the joys of watching, connoisseur of empathy,
the flâneur finds the world "picturesque."[12] (Sontag, On Photography, 55)
Dan ketika kamera menjadi
begitu kecil dan terjangkau, ia menjadi alat yang menyenangkan bagi si flâneur untuk sekedar mengintip,
kemudian berimajinasi, membayangkan di kepalanya dunia di luar dirinya sendiri
sebagai dunia yang sangat indah, jenaka dan kadang tragis. Akhirnya si flâneur akan melepaskan diri dari momen itu untuk berlanjut ke momen selanjutnya.
Viv adalah si flâneur dengan kamera yang mencipta dunia sureal di luar kesehariannya. Ia sedang
berimajinasi ketika ia mengarungi jalanan kota. Viv adalah si
flâneur berkamera dengan perpaduan kualitas yang begitu
komplit, dan ia menikmatinya sendiri saja. “She
had great eye, great sense of framing, she had a sense of humor, and sense of
tragedy,” kata Mary Ellen Mark[13],
saat melihat foto-foto karya Viv. Perpaduan dan jukstaposisi yang bisa
dibandingkan, dengan Robert Frank[14],
Lisette Model[15], Helen Levitt[16]
juga Diane arbus[17]. Perpaduan itu
kemudian mencipta semacam dunia di luar keseharian Viv.
Itu mungkin yang
membuat Viv menikmati aktifitas flâneur.
Sebuah aktiftas yang sepertinya sangat rekreatif. Saat ia menyusuri jalanan, ia
seperti melarikan diri dari realita hidup kesehariannya. Ia mungkin saja
menemukan keramaian yang bukan di dalam dirinya, tetapi tidak jauh dari
tempatnya berada. Ia menikmati keramaian yang tidak bisa ia raih benar-benar. Dunia
yang sempurna untuk melarikan diri, namun sesaat saja.
Beberapa anak yang
sempat diasuh Viv pun mengatakan, Viv memang sangat imajinatif. Ia sangat
menyenangkan, sekaligus aneh. Viv sering mengajak mereka berpetualang ke kota
atau hanya bermain di kebun belakang. Dan Viv pasti akan memotret mereka dengan
kamera yang selalu menggantung di lehernya itu. Tetapi, sepertinya ada
ketakutan besar yang ia represi. Ia takut membuka diri seluas-luasnya kepada
dunia. Ia takut kepada manusia.Tapi di kutub yang lain, ia juga mencintai
manusia dan tidak bisa hidup tanpa manusia lain.
Flâneur , strolling, menjadi pengamat di
jalanan, dan menikmati setiap momennya lalu membekukannya dengan medium kamera
adalah jalan tengah untuk bisa menikmati hidup tanpa harus benar-benar terlibat
dengan manusia lain, tetapi tetap merasakan keberadaan manusia yang lain itu.
Karena keberadaan manusia lain itu sesungguhnya bisa dijadikan semacam memori
abadi. Foto.
Bresson pernah
mengatakan tentang aktifitas flâneur
nya.” I love life. I love human being. A
also hate people.”[18] Dan
ini mungkin yang membuat pendekatan street
photography jadi nyaman dilakukan. Detachment
–ketidakbersambungan- dengan manusia yang ada di sekitarnya itu, namun tidak
benar-benar lepas, adalah hal yang nyaman bagi beberapa orang.
Dan ini adalah
kepingan puzzle yang rasa-rasanya masih hilang dari fragmen Viv. Tapi puzzle
itulah justru yang membuat Viv hidup
kembali. Ini juga yang membuat saya menulis tentang Viv, dan bagi saya, Viv
adalah seorang yang sangat otentik dengan keeksentrikannya.
“First impression when I saw her works was the kind of
delight when a surprise comes your way, and you feel that somebody hitherto
undiscovered suddenly makes their work available and it looks good. It looks like there’s an
authentic eye and real savvy about human nature, and photography, and the
street, and that kind of thing doesn’t happen that often. I see thousands of
pictures. Day after day, people send me their websites to look at. And when a
flick through them, I feel most of them are undistinguished. But Vivian’s work
instantly had those qualities of human understanding and warmth and playfulness
that I thought , “This is a genuine shooter.” Joel Meyerowitzs.[19]
Seorang eksentrik
yang genuine dan paham betul tentang
manusia. Ia paham bagaimana seorang manusia bisa teralienasi dari dirinya sendiri.
Teralienasi dari dunia yang ia tinggali. Teralineasi dari hidupnya sendiri.
Mungkin saja Viv
mengalami hal itu, sehingga ia butuh sebuah eskapisme. Melarikan diri dari
dirinya sejenak, berwisata, untuk kemudian kembali lagi ke hidupnya yang
sehari-hari. Dan jalanan adalah tempat yang sempurna untuk melarikan diri.
Sebuah panggung yang berwarna dengan ragam polahnya. Dan kamera menjadi medium
menyenangkan untuk membuat diri kita benar-benar menjadi anonim, tanpa harus
membuka jati diri kita pada fragmen yang ada di depan mata. Klik ! dan fragmen
itu membeku. Sebuah eskapisme yang sureal dan abadi.
http://www.nytimes.com/2014/09/06/arts/design/a-legal-battle-over-vivian-maiers-work.html?_r=0 |
[1]Secretive: adjective (of
a person or an organization) inclined to conceal feelings and intentions or not
to disclose information.Dalam
bahasa Indonesia artinya adalah diam-diam, yang suka merahasiakan.
[2] John
Maloof adalah seorang kontraktor yang kebetulan membeli dan menemukan kotak-kotak
yang berisi benda-benda pribadi milik Vivian Maier. Maloof kemudian membuat
film dokumenter Finding Vivian Maier yang mendapat banyak pengakuan dari dunia
internasional serta sempat mendapat nominasi Oscar untuk kategori Best Documentary Film http://www.imdb.com/name/nm5525244/.
[3]
Obsesive Compulsive adalah kecendrungan yang bersifat obsesi pada
sesuatu. Obsesi /obsési/ n
Psi gangguan jiwa berupa pikiran yg selalu menggoda seseorang dan
sangat sukar dihilangkan: mencari
jalan ke Kepulauan Nusantara merupakan -- bagi orang Eropa pd abad ke-15;
http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/ocd/basics/definition/con-20027827
[4] Jef
Goldstein adalah kolektor kedua terbesar yang memiliki negatif pribadi milik Vivian
Maier. http://petapixel.com/2014/12/21/toronto-gallery-buys-entire-collection-vivian-maier-negatives-owned-jeffrey-goldstein/
[5] The decisive moment is a concept made
popular by the street photographer, photojournalist, and Magnum co-founder
Henri Cartier-Bresson. The decisive moment refers to capturing an event that is
ephemeral and spontaneous, where the image represents the essence of the event
itself.http://petapixel.com/2013/08/12/the-decisive-moment-and-the-human-brain/
[6] http://www.imaging-resource.com/news/2013/08/09/john-thomson-photographing-19th-century-street-life-london.
Susan Sontag dalam essay Melancholy
Object mengatakan bahwa karya John Thomson ini adalah bisa dikatakan model
awal dari pendekatan fotografi jalanan ini. John Thomson mengabadikan
karya-karya Street Life in London ini pada tahun 1877-78. Sebelumnya ia telah
memiliki pengalaman mengabadikan kehidupan jalanan dan kemiskinan semacam
Street Life in London ini yang bukan hanya di negrinya sendiri, tetapi pada
negeri-negeri jauh. Pengalaman perjalanannya itu ia abadikan dalam sebuah karya
yang terdiri dari empat volume berjudul Illustration of China and its People.
(1873-74). (Sontag, On Photography, 57)
[7]
Sontag, On Photography, 55.
[8]
Untuk konteks Indonesia, fotografi dengan pendekatan street ini masih merupakan
hal yang baru. Salah seorang pemotret yang secara konsisten telah memotret
dengan pendekatan ini adalah Erik Prasetya. Lewat buku nya Jakarta: Estetika
Banal, Erik mencoba memberikan pondasi pendekatan street photography dalam
konteks Indonesia.
[9]
eskapisme : n Sas : kehendak atau kencendrungan menghindar dari kenyataan
dengan mencari hiburan dan ketentraman di dalam khayal atau situasi rekaan
(KBBI)
[10]
Essay ini kemudian diterbitkan
kembali dalam sebuah buku The Painter of
Modern Life, terbitan Da Capo Press, New York pada tahun 1964.
[11]
Candid:
taken informally, especially without the subject’s knowledge. Dalam sebuah perbincangan dengan sebuah situs online
street photography Sidewalker Asia, Erik Prasetya mengatakan, dalam street
photography, emosi sebuah kota ditangkap/digambarkan dari momen candid dalam keseharian, dengan bantuan
estetika, komposisi, kontras-kontras, simbol, dan juga (yang terpenting)
surealisme untuk menangkap hubungan, kontradiksi, ironi, harmoni, kegilaan,
absurditas dan sebagainya. Unsur candid
di sini menjadi penting karena tujuannya menangkap emosi, dalam hal ini (emosi)
sebuah kota.”
[12] Sontag,
On Photography, 55.
[13] http://www.maryellenmark.com/
[14] http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Robert-Frank.html
[15] http://www.getty.edu/art/collection/artists/1521/lisette-model-american-born-austria-1901-1983/
[16] https://www.lensculture.com/articles/helen-levitt-helen-levitt-new-york-streets-1938-to-1990s
[17] Klik
luciadianawuri.blogspot.com pada tulisan tentang Diane Arbus.
[18]
Bresson mengatakan ini dalam sebuah wawancara yang saya captured lewat film
dokumenter singkatnya di http://digital-photography-school.com/henri-cartier-bresson-the-decisive-moment/
[19] ini adalah potongan wawancara Joel (http://www.joelmeyerowitz.com/) ketika diwawancara dalam film Finding Vivian Maier
Comments