Tahun 2006
saya mulai berkenalan dengan Fanny. Kami kebetulan satu angkatan dalam Kursus
Dasar Pewarta (Susdape) yang diselenggarakan oleh Lembaga Kantor Berita Nasional
ANTARA. Kami angkatan ke-14. Saya pewarta tulis dan Fanny pewarta foto. Beberapa
kali, saya dan Fanny sering bertukar pikiran tentang banyak hal. Tetapi memang
lebih banyak soal-soal remeh yang personal dan seringkali tidak berujung
pangkal. Terkadang nuansa satir dan ironi pada hidup sering terlontar dalam
perbincangan itu, namun ujung dari perbincangan kami biasanya adalah tentang
kebahagiaan hidup yang –sepertinya- tidak pernah benar-benar sampai.
Setelah saya
keluar dari ANTARA dan hijrah ke Yogya, beberapa kali saya bertemu Fanny di
Jakarta, dan yang paling saya ingat adalah perbincangan kami di ruang merokok
Biro Foto ANTARA, di lantai dua, persis di samping jendela besar. Ketika saya
bertanya “Are you happy boi?”, Fanny cuma memberi senyum tipis dan gelengan
kepala. Tidak ada kata ya, atau tidak. Saya pun tidak lagi membahasnya. Lalu
kami berdua pun lanjut membicarakan hal-hal remeh yang ada di depan mata kami.
Setelah tahu
Fanny akan menerbitkan buku foto tentang Jakarta, saya yakin ini pasti tentang
Jakarta yang sangat personal buat dia. Dan sepertinya, kurang lebihnya, apa
yang saya kira-kira, ternyata benar demikian. JKT adalah interpretasi fanny
tentang dirinya sendiri sebagai warga Jakarta yang melihat ruang kehidupannya,
dan pada akhirnya akan membicarakan tentang kegelisahan Fanny yang utama, yaitu
tentang kabahagiaan itu sendiri.
Di halaman
pertama buku ini, Fanny memberi tanda tangan dan memberi pengantar;
To Lucia,
In The Name Of Happiness !
Atas nama kebahagiaan, lalu masuklah saya ke dalam JKT. Masuk ke dalam JKT rasanya seperti kembali menelisik ingatan ketika masih menjadi warga Jakarta. Saya ingat Jakarta yang seperti ini. Saya tahu rasanya. Dan ketika terus masuk, saya berhenti pada sebuah halaman dengan foto wajah terbungkus plastik. Foto yang juga menjadi sampul dari buku JKT ini adalah gambar yang ‘melukai’ saya. Di foto itu, hanya sebelah mata yang terlihat. Sebuah mata sayu yang begitu sedih.
Atas nama kebahagiaan, lalu masuklah saya ke dalam JKT. Masuk ke dalam JKT rasanya seperti kembali menelisik ingatan ketika masih menjadi warga Jakarta. Saya ingat Jakarta yang seperti ini. Saya tahu rasanya. Dan ketika terus masuk, saya berhenti pada sebuah halaman dengan foto wajah terbungkus plastik. Foto yang juga menjadi sampul dari buku JKT ini adalah gambar yang ‘melukai’ saya. Di foto itu, hanya sebelah mata yang terlihat. Sebuah mata sayu yang begitu sedih.
repro dari cover buku JKT karya Fanny Octavianus |
Pada mulanya
saya pikir wajah terbungkus plastik ini adalah seorang perempuan yang tewas di
jalanan. Perempuan korban kejahatan. Seorang perempuan yang entah siapa, apa
pekerjaannya atau bagaimana kisahnya ia bisa mati seperti itu.
Tapi rupanya
bukan demikian. Wajah itu adalah wajah patung Maria. Ibu Yesus yang disucikan
dan menjadi ikon suci bagi umat Katolik. Maria yang terbungkus plastik. Matanya
sayu menahan pedih dan sedih. Namun sepertinya ada yang kudus di situ. Mata itu
sedih tetapi juga begitu tulus dan tidak tersentuh.
Seperti itu
lah ketika saya melihat wajah Jakarta. Seperti wajah Maria yang terbungkus
plastik. Ada yang indah dan tak tersentuh pada tubuh Jakarta. Hanya bisa
dinikmati dan dilihat saja. Tetapi banyak yang memuja dan dengan segala
pengorbanan mendatanginya. Kota ini bagai terbungkus plastik transparan.
Terkadang ia tidak benar-benar seperti apa yang tampak, namun sesungguhnya kita
bisa melihat gemerlap juga karut marutnya lewat bungkus yang transparan itu.
Untuk benar-benar tahu apa yang terjadi, kita
harus merogoh ke dalam plastik itu.
Jakarta
punya ragam rasa. Ia dibentuk dari bermacam penghuni. Melting pot. Seluruh Nusantara bahkan beberapa belahan dunia, bisa
saja ada di Jakarta. Ia adalah kota megapolitan, tempat mesin-mesin penghasil uang
berkumpul. Jakarta adalah gula yang menjadi daya tarik bagi siapa saja yang
butuh mencecap manisnya.
Lalu apakah manis berarti bahagia. Bisa jadi iya, tapi belum tentu benar-benar demikian. Kota yang manis ini rupanya tidak sekonyong-konyong menjadi kota yang sepenuhnya bahagia. Menurut Fanny yang sempat ia cuplik dalam JKT, sebuah survey tentang kebahagian untuk tahun 2014, menyebutkan bahwa penghuni Jakarta “cukup bahagia”. Indeks kebahagiaan penghuni Jakarta adalah 69,21 persen. Artinya ada sekitar 30,79 persen yang entah bahagia, tidak bahagia atau hanya entah, samar.
Lalu apakah manis berarti bahagia. Bisa jadi iya, tapi belum tentu benar-benar demikian. Kota yang manis ini rupanya tidak sekonyong-konyong menjadi kota yang sepenuhnya bahagia. Menurut Fanny yang sempat ia cuplik dalam JKT, sebuah survey tentang kebahagian untuk tahun 2014, menyebutkan bahwa penghuni Jakarta “cukup bahagia”. Indeks kebahagiaan penghuni Jakarta adalah 69,21 persen. Artinya ada sekitar 30,79 persen yang entah bahagia, tidak bahagia atau hanya entah, samar.
Kompromi Untuk Kebahagiaan
Jika saya
masuk ke dalam JKT dengan mengucapkan “Atas Nama Kebahagiaan?” Lalu apakah saya
tahu apakah kebahagiaan itu? Apalagi ketika ada sebuah badan survei yang dengan
sengaja mengukur kebahagian. Karena bagi saya, kebahagiaan adalah term yang
sungguh personal. Jika ada yang terukur,
berarti ada yang bisa dijelaskan. Artinya bahagia itu punya arti dan definisi
yang jelas dan terukur.
Mungkin saja
ukuran-ukuran kebahagiaan yang diformalkan itu adalah ukuran kebahagiaan yang
secara arus utama dianggap menjadi tolok ukur kebahagiaan seseorang. Misalnya
saja, cukup sandang, cukup pangan dan cukup papan. Juga bisa jadi ada
kebutuhan-kebutuhan di luar yang –dianggap- primer itu yang juga harus
terpenuhi. Misalnya cukup terpenuhi kebutuhan akan hiburan. Atau misalnya saja,
badan survey itu cukup mengajukan pertanyaan, “Apakah Anda bahagia?” , maka
jawaban ‘ya’ sudah diterima sebagai kebenaran tentang kebahagiaan, juga
sebaliknya jika jawabannya adalah ‘tidak’. Namun, bagaimana cara kita
mengetahui bahwa jawaban “ya” atau “tidak” itu benar adanya?
Alih-alih
berpikir seperti itu, bagaimana jika saya berpikir bahwa kebahagiaan adalah
sebuah ruang kosong yang harus diisi. Isinya bisa sangat beragam. Bisa saja ia
berisi sebongkah es loly berwarna
merah muda, atau cukup sebersit senyum manis. Atau, bagaimana jika pada
akhirnya kebahagiaan adalah sebuah ruang kompromi antara yang riil dan yang
imajinasi.
Seperti
manusia-manusia Jakarta yang hidup di kota megapolitan, mereka pun harus
berevolusi. Pelan-pelan kota ini bisa merubah tiap penghuninya menjadi semacam
mesin. Mesin-mesin yang harus melupakan hati nuraninya. Sebuah proses yang
terjadi saat kompromi antara yang riil dan imajinasi. “Aku tidak ingin terjebak
macet dalam perjalananku bekerja, tetapi aku butuh uang untuk hidup. Aku ingin
hidup nyaman jauh dari bising kota, tetapi tempat ini yang paling terjangkau.
Aku ingin hidup sehat dan bersih, tetapi untuk menjadi sehat dan bersih itu
juga butuah uang.” Namun, rupanya tidak semua manusia bisa benar-benar mengubur
nuraninya. Ada yang suaranya begitu kuat, hingga membuat sang empunya memiliki
keberanian untuk memberontak dan tidak mau kompromi. Tapi ada juga yang memilih
untuk berkompromi. Dan bukan berarti
yang berani memberontak itu lebih baik atau akan lebih bahagia, ataupun yang
memilih berkompromi itu lebih baik, ataupun akan lebih bahagia. Karena setiap
ruang kosong itu sangat unik, baik nantinya akan diisi oleh gula-gula atau
sebentuk kompromi.
Kemudian
apakah yang riil dan yang imajinasi itu? Secara banal dan amat sederhana saya
mungkin akan mengatakan bahwa yang riil itu seperti misalnya realita yang harus
dihadapi oleh makhluk-makhluk Jakarta setiap harinya. Sementara yang imajinasi
itu adalah harapan ataupun keinginan yang mungkin akan sulit diraih jika masih
harus bergulat dengan yang riil. Tetapi tentu selalu ada jalan tengah. Manusia bukan
makhluk dengan kapasitas otak dan kesadaran sebesar semut. Ada kemampuan akal
dan nurani yang begitu kompleks dan luar biasa. Artinya, yang riil ataupun yang
imajinasi itu tentu bisa dikompromikan.
Manusia-manusia
yang hidupnya di Jakarta, tentu sudah sadar betul akan hal itu. Juga, manusia-manusia
yang hidup di kota lainnya dengan ritme dan rima yang begitu cepat hingga mendesak
jantung. Ini adalah masalah ruang yang telah berevolusi menjadi kota yang
begitu sumpek hingga mengaburkan batas antara yang privat dan publik. Ruang
personal, kedirian setiap penghuninya rentan terlibas yang lain, bahkan tanpa
sang empunya menyadari hal itu. Yang terjadi adalah yang nyata. Macet adalah
realita kota yang harus dilalui penghuninya. Ketidakpedulian adalah konsekuensi
logis masyarakat kota. Menjadi konsumtif memang sudah sewajarnya. Kebenaran-kebenaran
yang tidak bisa diubah. Dan agar tetap pada kewarasan, menjadi bagian dari
ruang itu berarti harus bisa menerima kebenaran-kebenaran itu.
Maka atas nama kebahagiaan pun saya semakin yakin bahwa kebahagiaan memang benar-benar soal kompromi. Apalagi ketika sudah berani dan siap menjadi orang Jakarta, menjadi bagian dari masyarakat kota mengapolitan. Sebuah kota yang terbungkus, yang tidak benar-benar jelas. Tertutup plastik. Begitu kompleks, dinamis, ruwet, begitu banyak masalah, juga begitu banyak ruang penyelesaian, berasap, berwarna, kelam. Kalau menurut bahasa Fanny, kota yang abu-abu.
Maka atas nama kebahagiaan pun saya semakin yakin bahwa kebahagiaan memang benar-benar soal kompromi. Apalagi ketika sudah berani dan siap menjadi orang Jakarta, menjadi bagian dari masyarakat kota mengapolitan. Sebuah kota yang terbungkus, yang tidak benar-benar jelas. Tertutup plastik. Begitu kompleks, dinamis, ruwet, begitu banyak masalah, juga begitu banyak ruang penyelesaian, berasap, berwarna, kelam. Kalau menurut bahasa Fanny, kota yang abu-abu.
Pringgolayan, Bantul. Desember2015
Comments