catatan : Tulisan ini ditulis sebagai kontribusi untuk FLOCK Project yang diinisiasi oleh Aji Susanto Anom, Arif Furqan, dan Kurniadi Widodo. Untuk melihat foto-foto dari ketiga fotografer ini bisa langsung melihat edisi cetak dari zine FLOCK ini.
Kamera bisa menjadi awal mula sebuah proses melihat. Proses melihat yang tidak hanya melibatkan mata, tetapi juga pengetahuan, latar konteks, latar kultur, persepsi dan interpretasi dari mata di belakangnya, termasuk para pembaca gambarnya. Proses ini adalah sebuah formulasi yang tidak –melulu- sedeharna.
Ia menjadi tidak sederhana karena formulasi ini tidak hanya melibatkan satu elemen. Segala sesuatu yang sudah kita tahu, serta kita percayai dari semenjak mengenal bahasa adalah bagian dari formula itu. Segala formula yang tercampur itulah yang membentuk dunia kita.
Dunia serba visual yang kita terjemahkan dengan kata-kata itu membuat kita tahu bagaimana kedirian kita, serta posisi kita dengan yang lain. Lewat kata-kata pula kita menginterpretasikan apa yang kita lihat dengan ragam persepsi kepada yang lain. Jadi memang tidak ada yang benar-benar statis atau tidak berubah dalam segala proses melihat itu, karena rupanya hubungan antara apa yang kita lihat dengan apa yang kita tahu itu tidak pernah ajeg. Kata-kata memang memiliki keterbatasan yang tidak mudah untuk dijembatani.
Gambar Tidak Lagi Sekedar Gambar
Fotografi bukan lagi hanya alat rekam sebuah momen yang telah lewat. Tetapi ia juga menjadi alat yang bisa mengundang kita masuk dalam sebuah kondisi sentimental. As the fascination that photographs exercise is a reminder of death, it is also an invitation to sentimentality. Photographs turn the past into an object of tender regard, scrambling moral distinctions and disarming historical judgments by the generalized pathos of looking at time past.[1] Gambar-gambar fotografi yang adalah momen-momen yang terekam pada masa lalu itu berubah menjadi monumen akan kenangan. Penggalan kenangan yang pada sisi tertentu menjadi begitu sentimental. Terkadang konteks sejarah yang terkait dengan gambar itu jadi terlupakan, tetapi rasa yang terbentuk menjadi begitu nostalgik. Ada romantisme soal masa lalu yang ditampilkan oleh foto-foto itu. Kenangan yang pada sisi tertentu menjadi pengingat bahwa sebagian dari diri kita pernah menjadi bagian dari perjalanan itu.
Gambar-gambar fotografis itu tidak lagi menjadi penting, tetapi apa yang diceritakan oleh gambar itu yang menjadi titik ‘lukanya’. Gambar hanyalah medium untuk menyampaikan sesuatu yang ingin disampaikan oleh si pencipta gambar. Gambar menjadi jembatan kata-kata.
Teks tulis memang kadang terbatas. Sebuah narasi bisa menjadi belum lengkap jika tidak dibantu oleh teks lainnya. Teks gambar adalah alternatif untuk bisa membahasakan yang sulit terbahasakan dengan kata. Keterbatasan inilah yang membuat manusia ingin terus mengeksplorasi. Fotografi adalah medium yang berangkat dari keterbatasan itu.
Manusia yang selalu berjalan selalu ingin menemukan medium baru untuk menyampaikan segala ide serta narasi-narasi yang sulit untuk diverbalkan. Bukan sekedar menyampaikan, tetapi ingin mengejawantahkan ide-ide itu dalam bentuk yang bisa terlihat, tertangkap oleh panca indera.
Dari tangkapan-tangkapan panca indera terhadap berbagai fenomena alam, tentang bagaimana cahaya bisa ditangkap untuk memproyeksikan gambar, manusia kemudian melakukan berbagai eksperimen untuk mengolah fenomena itu agar bisa berdaya guna bagi mereka.
Maka jika melihat timeline [2] perkembangan medium fotografi dari awal diketemukan hingga saat ini, akan dipenuhi dengan percobaan-percobaan oleh ragam manusia dari latar yang berbeda. Dan ketika medium ini akhirnya masuk ke pasar, inovasi yang tidak pernah henti pun terus dilakukan. Para pelaku pasar melihat peluang yang begitu besar pada medium ini. Medium ini kemudian menjadi semacam candu baru bagi masyarakat yang mengagungkan budaya visual. Foto menjadi kebenaran. Foto menjadi alat propaganda oleh orang-orang yang memiliki kuasa untuk bisa merekonstruksi kebenaran itu.
Masyarakat pun jatuh cinta pada medium yang bisa mengabadikan momen itu. Mereka ingin menulis sejarah mereka masing-masing. Mereka ingin kembali mengulangi nostalgia ingatan. Merayakannya bersama-sama. Mereka juga ingin berbagi kebahagian dan mengafirmasi bukti keberadaannya kepada makhluk manusia lainnya. Mereka juga ingin memberi tahu kepada masyarakat lainnya, bahwa ia ada, menikmati hidup, mengalami kehidupan dan merayakan setiap bagiannya. Gambar-gambar fotografis yang kini semakin mudah diproduksi itulah yang menjadi jembatan kata-kata itu.
Gambar-gambar fotografis itu juga merupakan dokumentasi perjalanan hidup yang telah lewat. Semacam pendokumentasian yang sentimental. Bukankah hidup sendiri adalah sebuah perjalanan yang sentimental? Ada ruang yang kita tempati, ada ruang yang kita tinggalkan, ada ruang-ruang yang menjadi penghubung ingatan-ingatan yang sentimentil itu. Ada ruang yang membentuk kedirian kita. Namun, karena perpindahan adalah keniscayaan, maka terkadang kita terputus dari ruang yang sebelumnya sudah kita tinggali itu.
Saat Roland Barthes [3] ingin mengunjungi salah satu ruang dalam hidupnya, ia kemudian menggunakan foto sebagai alat untuk menghantarnya ke tempat itu. Lewat foto-foto itu ia menemukan ruang kanak-kanaknya. Ia menemukan mendiang ibunya.
Foto-foto itu adalah puluhan foto masa kecil ibunya. Ia menemukan ibunya pada sebuah foto yang memperlihatkan perempuan yang amat ia kasihi itu masih berumur lima tahun. Ibunya ketika itu sedang berdiri di depan sebuah bangunan yang biasa disebut Winter Garden. Ibunya saat itu berpose bersama pamannya yang masih berumur tujuh tahun.
The photograph was very old. The corners were blunted from having been pasted into an album, the sepia print had faded, and the picture just managed to show two children standing together at the end of a little wooden bridge in a glassed-in conservatory, what was called a Winter Garden those days. My mother was five at the time (1898), her brother seven. He was leaning against the bridge railing, along which he had extended one arm; she , shorter than he, was standing a little back, facing the camera; you could tell that the photographer had said, “Step forward a little so we can see you”; she was holding one finger in the other hand, as children often do, in an awkward gesture. The brother and sister, united, as I knew, by the discord of their parents, who were soon to divorce, had posed side by side, alone, under the palms of the Winter Garden (it was the house where my mother was born, in Chennevieres-sur-Marne). [4]
Ia kemudian menyebutnya sebagai Winter Garden photograph. For once, photography gave me a sentiment as a certain as remembrance. [5] Winter Garden photograph telah melukai Barthes. Baginya, si pemotret telah berhasil menjadi mediator untuk menyampaikan apa yang nyata. Gambar dalam foto itu tidak lagi sekedar gambar, foto itu telah digerakkan dan menggerakkan ruang-ruang nostalgia Barthes. Foto itu telah menghubungkan dirinya dengan ruang kenangan antara dia dengan ibunya. Ruang kenangan yang sentimental.
Berhubungan Lagi Dengan Yang Sentimental
Ketika terputus dari ruang-ruang yang sempat menjadi bagian dari diri yang belum selesai, foto membantu untuk menyelesaikannya. Ruang-ruang itu adalah ruang sentimental yang terkadang tampak kabur. Life is not about significant details, illuminated a flash, fixed forever. Photographs are.
[6]
Gambar di dalam foto tidak akan berubah. Ia memiliki keabadiannya sendiri. Foto bisa memberikan gambaran yang detil tentang apa yang terjadi pada hidup kita sebelumnya. Gambaran detil secara visual yang menjadi bukti otentik dari apa yang sudah terjadi, dan apa saja yang sudah kita lakukan. Karena terkadang ingatan begitu terbatas. Ingatan kadang hanya menampilkan potongan-potongan gambar yang tidak utuh. Bisa jadi ada potongan yang tidak bersambung antara satu dengan lainnya. Sehingga mungkin saja akan ada kisah-kisah yang kehilangan konteksnya. Dan foto membantu untuk mengingatkan kita kembali akan konteks dari fragmen-fragmen itu.
Dan ketika dunia kita semakin tua, menjadi lupa pada diri adalah hal yang tidak mengherankan. Kita lupa karena setiap hari ribuan cermin [7] membombardir dunia kita. Cermin yang diciptakan manusia lain, yang terkadang begitu melelahkan untuk diperhatikan. Lalu yang manakah diri kita, dari cermin yang terserak itu.
Mungkin saja saat kita bertemu dengan ribuan burung Sriti yang hinggap pada tiang listrik di sudut kota kita, kita bisa bertemu dengan cermin kita yang lain. [8] Atau saat kita sedang tersesat di negeri asing, kita akan bertemu dengan keasingan-keasingan yang pada titik tertentu jadi begitu familiar. [9]
Dan mungkin saja saat kita bertemu dengan hal yang sehari-hari, kita bisa terhubung lagi dengan sesuatu yang pernah menjadi bagian dari diri kita. Sesuatu yang sempat begitu dekat dan masuk dalam ruang-ruang personal kita. Ruang yang telah membentuk kita, serta meninggalkan bekas begitu dalam pada kedirian kita. Namun, tiba-tiba, tanpa permisi sesuatu itu menghilang, karena memang begitulah seharusnya. [10]
Sejatinya, kita semua adalah sebuah perjalanan yang belum selesai.
Ada ritme yang teratur, perjalanan yang mengalur.
Semua selalu seperti itu, ingin kembali bertemu pada yang familiar, untuk kemudian tersesat sesaat dalam keasingan-keasingan, yang terkadang begitu kosong, hingga membuat kita menjadi lupa pada apa yang sewajarnya, pada yang lumrah, pada diri kita sendiri.
Ribuan burung Sriti yang hinggap di dekat Stasiun Jebres, adalah cermin kita soal pergi, lalu kembali pulang untuk sekedar singgah. Sehabis subuh mereka akan pergi terbang bersama-sama, entah ke mana. Menjelang maghrib, mereka akan kembali lagi berbaris rapi pada tiang-tiang tinggi itu.
Koloni ini hanya mendatangi tiang listrik itu pada bulan Agustus hingga Februari. Mereka datang dan pergi sesuai dengan pola yang sudah teratur. Mencari keakraban yang membuat mereka nyaman, untuk selanjutnya terbang lagi menuju tempat lain, untuk kemudian kembali lagi ke tempat sebelumnya.
Sebuah pola alam semesta yang begitu alamiah. Ada mekanisme yang datang secara wajar yang tidak bisa kita tolak, karena jika itu ditolak maka akan ada sistem dalam semesta kita yang tidak akan sejalan.
Begitupun saat menjadi pelancong di negeri asing, kita mungkin saja akan merindu pada hal-hal yang akrab. Rindu itu hanya bisa muncul ketika kita sudah lama berada jauh dari apa yang disebut rumah. Untuk merasakan kembali rasa yang meletup-letup adalah sebuah usaha untuk mencari jalan pulang. Kita harus tersesat dulu supaya bisa seperti itu.
Juga rindu pada rupa-rupa penggalan tanya yang telah menggumpal dan hampir saja membatu. Penggalan yang tersimpan dalam berbagai lintasan ingatan di kepala kita yang tampak begitu kabur. Ingatan tentang relasi pada seseorang yang telah pergi namun sempat dekat dengan kita. Kepergiannya meninggalkan tumpukan pertayaan yang belum sempat –mungkin tidak akan- terjawab, padahal jawabannya bisa membuat gambar-gambar yang tampak kabur itu jadi jelas.
Berhubungan kembali dengan ruang-ruang sentimental itu adalah salah satu usaha untuk bisa menelisik kembali siapa kita. Terkadang kita memang butuh cermin-cermin itu untuk bisa melihat bagaimana yang lain merepresentasikan atau direpresentasikan. Foto adalah cermin-cermin itu. Membuat yang lalu-lalu, yang kabur dan terpecah-pecah dalam fragmen, menjadi satu bungkusan yang bisa menjadi cerita utuh, cerita yang bisa dimaklumi.
Kita semua –sepertinya- butuh singgah sejenak untuk mengisi energi dan kembali menyusun cara pandang kita. Kita semua butuh itu. Kita butuh momen sejenak untuk berpikir ulang tentang apapun. Tentang diri kita sendiri. Tentang bertemu kembali dengan diri kita sendiri, atau bagian-bagian dari diri, yang mungkin pernah hilang entah kemana.
Lucia Dianawuri
penulis lepas, tinggal di Jogja
www.luciadianawuri.blogspot.com
Referensi
Barthes, Roland, Camera Lucida, London: Vintage, 2000.
Fink, Bruce, The Lacanian Subject: Between Language and Jouissance, New Jersey; Princeton University Press, 1995
Peres, Michael R (ed), Focal Encyclopedia of Photography, 4th Edition, Oxford: Elsevier Inc., 2007.
Sontag, Susan, On Photography, New York: An Anchor Book, 1977.
[1] Sontag, On Photography, 71
[2] Jika melihat Focal Encyclopedia of Photography pada bab Timeline, kita bisa melihat perkembangan fotografi yang berjalan
dengan amat progresif. Selalu ada eksplorasi dan eksperimentasi serta
penemuan-penemuan terbaru pada tiap periode. Tiap penemuan menuntun pada
perkembangan selanjutnya dan menuntun pada teknologi-teknologi terbaru dari medium
yang makin lama semakin mudah, murah dan terjangkau ini.
[3] Roland Gérard Barthes adalah seorang filsuf, semolog, penulis kritikus
sastra dan pengamat budaya dari Perancis. Ia lahir pada 12 November 1915 di
Cherbourg, Perancis. Barthes meninggal pada 25 Maret 1980 di Paris. Berbagai esai oleh Barthes
tentang Semiotik yang dipelopori oleh Ferdinand de Saussure itu semakin
memperkuat studi tentang strukturalisme serta New Criticism sebagai sebuah gerakan intelektual. -- sumber http://www.britannica.com/biography/Roland-Gerard-Barthes
[4] Barthes,
Camera Lucida, 67-69
[5] Ibid, 70
[6] Sontag, On
Photography, 81
[7] Cermin bisa menjadi refleksi diri ketika
kita melihat hal lain di luar diri kita. Hal-hal lain di luar diri itu
terkadang menjadi semacam ukuran bagi kita tentang hal yang ideal ataupun
tentang yang tidak ideal. Jika sedikit terbang jauh, maka konsep cermin yang
dihubungkan dengan diri ini sempat disebutkan oleh Jacques Lacan –seorang
pemikir asal Perancis- saat membicarakan tentang Subjek. Sedikit gambaran tentang
Lacan dan cermin adalah demikian. Ketika Lacan menjabarkan tentang Subjek ia
menjelaskan bahwa perkembangan Subjek manusia berangkat dalam beberapa fase, salah
satu fase yang dimasuki oleh manusia adalah fase cermin (mirror
stage). Fase ini terjadi ketika manusia masih bayi. Bayi suatu ketika akan
menyaksikan bayangan dirinya dalam cermin. Bayangan tersebut, oleh bayi, dikonfrontir
dengan keberadaan yang lain seperti ibu atau ayah. Saat itulah bayi mulai
menyadari bahwa dirinya adalah eksis dan terpisah dari yang lain. Tapi bayi
mengira dirinya yang berada dalam cermin adalah benar-benar dirinya. Citra
tersebutlah yang akhirnya diakui sebagai “aku” atau ego. Sehingga, cermin di
sini tidak secara literal sebagai alat untuk berkaca , tetapi juga bisa sebagai
sebuah konsep di kepala. Untuk lebih jelasnya, hal ini bisa dibaca pada The Lacanian Subject : Between Language and
Jouissance.
[8] Tulisan ini terinspirasi oleh karya tiga fotografer yang sedang menjajaki media publishing baru bagi
karya-karya mereka. Yang pertama adalah karya Aji Susanto Anom yang memotret fenomena ribuan burung Sriti yang hinggap di
Stasiun Jebres sesuai dengan pola-pola yang teratur.
[9] Yang kedua adalah karya Arif Furqan yang
memotret perjalanannya ketika mendapat beasiswa studi di Australia.
[10] Yang
ketiga adalah karya Kurniadi Widodo yang mengulang kembali ingatan
sentimentilnya tentang Bapak nya, dan lewat foto-foto ini, Wid mencoba menulis
surat kepada mendiang Bapak
nya itu.
Comments