Skip to main content

Membangun Jembatan, Mendobrak Mitos


­­­­­­­­­­­pengantar
Sehari sebelum pertemuan dengan seluruh tim residensi Cemeti Institut, Linda, Direktur Cemeti Institut, menghubungi saya via WA. Linda mengajak saya untuk bertemu dan membicarakan sesuatu. Saya belum mengenal Linda ketika itu. Linda berkata, ia mengenal saya dari seorang kawan, serta melihat tulisan-tulisan saya melalui mesin pencari google. Antara rasa penasaran, was-was, serta sedikit excited, saya pun bertemu Linda. Ia menawari saya untuk ikut berpartisipasi dalam proses residensi sebagai seorang pengamat. Ia berharap, saya bisa menuliskan amatan saya selama proses residensi berlangsung.

Tentu ini mengagetkan. Sontak diajak terlibat dalam sebuah kegiatan yang diselenggarakan oleh salah satu institusi seni bergengsi di Jogja. Apalagi saya tidak pernah bergumul dengan Cemeti. Saya pun belum pernah benar-benar terlibat dalam sebuah proses kekaryaan para seniman kontemporer. Pengetahuan saya amat terbatas tentang dunia ini. Paling-paling cuma menjadi penonton, dan itu pun cuma sambil lalu. Jelas ini dunia baru. Oleh karena itu, tawaran Linda itu jadi agak menggelisahkan  buat saya.

Tapi, melepas semua ragu, dan rasa minder karena saya merasa tidak tahu apa-apa di situ, saya pun memberanikan diri menerima tawaran Linda. Berikut adalah impresi saya selama tiga bulan kurang menjadi peserta residensi (bukan seniman) di Cemeti Institut.  

Pagi itu sekira jam 10 pagi saya tiba di Cemeti. Beberapa wajah di situ, rasanya saya kenali, salah satunya tentu saja Linda. Yang lain, seperti Agni, Sanna, Alec, Dimas dan beberapa yang lain, samar-samar saja, sepertinya pernah berpapasan entah dimana.

Pagi itu adalah pagi pertama, seluruh tim residensi Cemeti Institut berkumpul. Kamipun memperkenalkan diri. Dalam sesi perkenalan itu, isi kepala saya berputar-putar entah kemana. Seperti biasa, pikiran saya terkadang memang senang mengembara, tak terkontrol. Terkadang dalam sebuah pertemuan yang sangat formal, pikiran saya bisa langsung pergi membayangkan sebongkah es krim atau mengapa es bisa mencair. Sangat acak.

Tapi selain hal-hal yang sangat acak, pikiran saya pun dipenuhi oleh pertanyaan. “Ngapain ya saya di sini?” Kalau memang saya harus menulis, saya mau nulis apa ya? Selain itu, pertanyaan-pertanyaan lain juga muncul, seperti, Cemeti itu apa to? Iya saya tau dia galeri seni kontemporer besar dan ternama di Jogja. Tapi apa itu seni kontemporer, dan residensi ini program semacam apa to? Berbagai pertanyaan itu muncul begitu saja.

Dan kondisi seperti itu, rupanya tidak saya alami sendiri. Kebingungan serupa juga dialami oleh tiga orang seniman yang mengikuti proses residensi itu. Saya bisa menebak kebingungan itu dari wajah-wajah para seniman, serta sedikit lontaran dan ujaran yang keluar di sesi perkenalan. Pertanyaan tentang apa yang harus dilakukan selama proses residensi berlangsung, serta apa yang akan mereka hasilkan nantinya, persis menjadi pertanyaan ketiga seniman residensi; Kevin, Laura dan Yoshi.  

Lalu saya merasa menjadi seperti salah satu partisipan residensi. Saya merasa diajak untuk mengalami hal-hal yang serba baru ini secara intens, berproses bersama, dan pada akhirnya menghasilkan sebuah karya tulis yang diharapkan bisa menjadi gambaran bagaimanakah proses kreatif dan proses residensi dari para seniman residensi ini. Tulisan saya, sepertinya, diharapkan bisa memberikan perspektif baru di luar sudut pandang kesenirupaan. Itulah mengapa saya yang tidak punya latar belakang seni sama sekali, diajak untuk terlibat dalam proses ini. Sepertinya, saya adalah bagian dari laboratorium Cemeti Institut untuk melihat bagaimana sebenarnya orang luar atau ‘liyan’ melihat proses residensi mereka.

Akhirnya saya pun masuk pelan-pelan dan mulai belajar memahami dunia residensi yang  berlangsung selama tiga bulan; Maret, April, Mei 2017.

---
Dari awal hingga beberapa lama berproses dengan seluruh sistem proses residensi Cemeti Institut ada sebuah rasa yang belum hilang juga. Rasa yang persis sama ketika saya mengunjungi tempat-tempat semacam galeri seni rupa. Rasa asing.

Namun rasa asing itu bukan sepenuhnya berarti tidak benar-benar mengenal. Ini adalah sebuah rasa asing yang janggal. Ya janggal, seperti merasa tidak fit in. Atau merasa tidak benar-benar paham. Asing tetapi seperti pernah kenal, pernah berpapasan, tapi tidak pernah benar-benar akrab. Dan anehnya, seperti ada rasa enggan untuk merubah kondisi itu. Dan bukan karena persona-persona yang ada di situ. Tetapi seperti ada bahasa berbeda yang tidak saya pahami. Rasanya belum ada jembatan atau jalin-jalin yang menghubungkan berbagai kosakata yang tidak saya pahami itu.

Sambil meraba-raba dan mengurai satu persatu apa yang membuat saya merasa asing, saya pun bergumul dengan dunia ini. Mungkin istilah “tak kenal maka tak sayang” ada benarnya, maka untuk mengenali dunia ini dan berusaha menghilangkan kejanggalan itu. Saya mencoba berteman dengan orang-orang yang ada di situ.

Layaknya sebuah pertemanan, saya tidak punya agenda apa-apa. Berteman ya berteman. Berteman karena saya senang dengan orang-orang yang ada di situ sebagai seorang pribadi, bukan karena embel-embelnya sebagai seniman atau apapun. Oleh karena itu, saya mencoba merajut pertemanan dengan para seniman residensi ini dengan menjadi diri saya sendiri. Saya senang mempelajari hal-hal baru dan senang membuka diri dengan orang yang saya anggap nyaman. Untung saja, saya nyaman dengan persona-persona  yang ada di situ. Terutama dengan para seniman residensinya.

Saya pun membicarakan hal-hal yang remeh dan kadang sedikit personal dengan beberapa yang ada di situ. Saya mencoba melebur dengan suasana residensi di ruang cemeti. Akhirnya keakraban itu pun hadir, terutama antara saya dengan dua seniman perempuan di situ. Laura dan Yoshi. Kalau dengan Kevin, mungkin karena dia laki-laki dan tidak tinggal di Cemeti, saya menjadi tidak terlalu akrab, walau kami berteman baik.

Tidak sulit berteman dengan Yoshi dan Laura. Saya merasakan energi yang serupa dengan mereka. Banyak perbincangan kami yang cukup nyambung dan banyak sekali hal-hal yang amat personal jadi pengisi ruang bincang kami. Banyak hal baru yang saya dapatkan. Apalagi dari Laura yang latar budayanya amat berbeda.

Ketika berbicara dengan Laura, saya jadi tahu bagaimana perbedaan budaya jadi isu yang begitu penting dalam banyak hal. Apalagi jika seseorang harus merespon berbagai perbedaan tersebut. Ia terpaksa harus hidup dalam perbedaan itu dan akhirnya mau tidak mau harus berkompromi dengan segala yang ada di situ. Kompromi itu adalah opsi terbaik, karena seseorang itu sudah sepakat terhadap berbagai konsekuensi yang akan ia hadapi dari hal yang sudah ia masuki itu. Dalam hal ini adalah program residensi. Selama berinteraksi dengan Laura, saya jadi tahu bagaimana Laura dengan susah payah menghadapi kondisi ‘gegar budaya’ nya ini.

Walau latar budaya kami berbeda jauh, rupanya kami punya banyak dinamika masalah yang kurang lebih sama. Saya dan Laura punya gambaran ideal tentang sesuatu yang terkadang sulit untuk dipahami. Oleh karena itu, saya cukup paham mengapa ia mengalami hal itu. Gegar budaya nya ini muncul karena begitu banyak yang sulit ia kompromikan dengan apa yang ia anggap ideal. Misalnya saja, Laura merasa seharusnya orang-orang di Yogyakarta paham tentang berlalu lintas yang baik karena itu demi keselamatan mereka. Tetapi rupanya Laura lupa bahwa konteks budaya dan latar sejarah sering membuat orang, atau kolektif, merespon sesuatu secara berbeda. Ada hal-hal subtil yang sangat kontekstual, yang terkadang sulit ia pahami.

Saya dan Laura pun sering berbagi masalah personal kami yang warnanya sangat perempuan. Hal-hal itu sering menjadi kunci pembuka dari kekakuan relasi kami. Termasuk dengan Yoshi. Dengan Yoshi, saya sering bertukar pikir tentang projeknya. Saya seperti bertemu teman lama perempuan saya yang amat cerdas. Lingkaran pertemanan kami rupanya tidak jauh beda. Itulah yang membuat saya tidak sulit untuk menjalin pertemanan dan obrolan dengan Yoshi. Dan dengan Kevin saya pernah menghabiskan beberapa jam ngobrol khusus membicarakan tentang projek serta latar sejarah kekaryaannya. Rupanya kami berdua punya seorang teman yang sama-sama tinggal di Ubud. Yap, dengan mereka, saya punya jembatan untuk menghilangkan rasa janggal itu. Dan, berbekal jembatan itu, saya berupaya mengikuti proses kekaryaan mereka selama di Jogja.

---
Lewat pergaulan saya dengan proses kekaryaan para seniman residensi ini saya melihat proses berkarya yang tidak jauh berbeda dengan apa yang saya sendiri lakukan. Terutama ketika saya ingin menghasilkan sebuah tulisan.

Pertama-tama tentu mereka bertiga, yang bukan orang Jogja, harus memahami Jogja. Jogja yang bukan sekedar sebuah kota, tetapi juga sebuah entitas yang sangat dinamis dan penuh dengan ha-hal yang tidak sederhana, saling berkelindan dan amat kompleks. Tentu ini sebuah tantangan besar bagi siapapun yang tidak terlahir dari rahim Jogja, apalagi harus merespon Jogja sebagai ruang kekaryaannya.

Waktu satu bulan untuk benar-benar memahami Jogja tentu tidak masuk akal. Yang akan didapat adalah gambaran sangat banal dan serba kulit luar dari kota ini. Dan memang itulah yang terjadi. Ketiga seniman hanya mendapatkan yang tampak eksotis dari Jogja. Beberapa seniman dalam perjalanannya sempat mengalami kebuntuan. Hal-hal yang serba personal terkadang sulit untuk dikontrol, namun semua pada akhirnya teratasi. Ketiga seniman ini akhirnya mampu mempresentasikan karya -yang saya pikir- on going.

Lewat arena sabung ayam yang ia temui di Jogja, Yoshi menampilkan berbagai kegelisahan dan pertanyaannya tentang hidup itu sendiri. Tentang menjadi pemenang, kalah dan berbagai strateginya dalam arena besar dunia. Karena bagi Yoshi, hidup itu sendiri adalah soal permainan. Karya residensinya di Cemeti ini adalah sebuah permulaan atas berbagai pertanyaannya tentang berbagai hal itu. Ia sedang memulai sebuah konflik yang mungkin akan menjadi semacam karya panjang. Kemudian Laura mempresentasikan tumpukan kegelisahannya selama ia di Jogja. Ia seperti mengejawantahkan rasa ‘shock’ nya terhadap ruang residensinya di Jogja. Berbaga hal di Jogja yang selama ini tidak relate dengan diriya, ia tumpahkan dalam Jogja Jacuzzi. Laura sepertinya ingin mencari jawab dari berbagai kegelisahannya dengan mencipta ruang diskusi nyaman bersama orang-orang yang bisa ia gali jawabnya. Ini sepertinya awal dari keinginan Laura untuk masuk lebih dalam kepada pikiran orang Jogja. Ini bisa jadi awal mula ia mulai jatuh cinta dengan Jogja. Lalu Kevin mempresentasikan sebuah karya kolaboratif yang ia harapkan dapat menjadi awal mula dari sebuah projek jangka panjang antara dia dengan sejumlah seniman Jogja. Kevin sedang memulai perjalanan awal projek kolaboratif yang mungkin saja menjadi awal dari projek2 serupa untuk daerah lain.

Mengikuti proses kekaryaan ketiga seniman ini adalah sebuah proses pembangunan jembatan bahasa. Dengan mengikuti proses berkarya mereka, saya juga sedang merobohkan berbagai mitos yang berkelindan di seputar ruang seni. Dan perobohan itu tentu saja bermanfaat untuk diri saya sendiri agar saya tidak merasa benar-benar asing.  

---
Mitos yang selama ini sering main-main di kepala saya soal sosok seniman yang serba nyentrik dan aneh, baik di kepala atau tindak-tanduknya, pelan-pelan lebur. Mereka menjadi sama seperti saya. Makhluk dengan kegelisahan serupa. Namun, mungkin saja, punya cara berbeda untuk mengekspresikan kegelisahan itu.

Cara berbeda itulah yang memang menjadi semacam keistimewaan bagi seni. Seni adalah ruang yang amat demokratis. Hanya di ruang bernama seni, orang terkadang dimaklumi untuk menjadi berbeda. Sebuah masyarakat yang memberikan ruang besar pada seni, sudah pasti masyarakatnya, pada konteks tertentu, merdeka. Paling tidak ada kemerdekaan pada ruang-ruang ekspresinya. Ruang bernama seni itu memungkinkan orang yang ada di dalamnya mengekspresikan apa yang mereka ingin sampaikan dengan cara mereka sendiri, seringkali menabrak berbagai pemikiran arus utama. Semakin berbeda dari yang umum, maka akan semakin mudah diingat.  Argumentasi semacam ini yang mungkin memunculkan mitos tentang seni itu.

Dan selama residensi ini saya menemukan –sedikit banyak- jembatan, yaitu bahasa dan berbagai kosa kata yang jadi sangat membumi buat saya. Saya melihat proses berkesenian mereka, kegelisahan para seniman ini, insekuritasnya, ketakutan mereka. Mereka menjadi manusia biasa saja seperti saya.

Mitos tentang glofikasi seniman yang menganggap para seniman adalah makhluk semacam nabi dengan bakat khusus untuk menerima wahyu lalu mewujudkannya dalam karya-karya mereka, juga menjadi salah satu penyebab munculnya rasa asing setiap saya bermain-main ke galeri seni rupa.

Secara sederhana mungkin begini afirmasi dari mitos “kenabian” itu. Dari buku 25 tahun Cemeti Turning Targets, Agung Kurniawan sempat menulis demikian “Ketika sedang nongkrong, melihat dua orang aneh berboncengan sepeda; laki-laki kurus dengan rambut digelung dan seorang perempuan berambut panjang. “Mereka seniman”, kata teman saya. Makanya dandanannya aneh. Memendam keinginan menjadi seniman, saya melihat ke ‘aneh’ an pasangan itu dengan takjub.” (Turning Targets, 13).

Keanehan inilah yang seperti dimitoskan. Dengan menganggap diri aneh atau dianggap aneh saja sudah merupakan pemisah. Sudah menjadi berbeda. Dan tentu saja Nabi itu berbeda dengan manusia kebanyakan. Mitos ini membuat para seniman seringkali merasa dirinya cukup berhak untuk mengatakan apapun dengan cara apapun. Terkadang mereka begitu semena pada cara ekspresinya. Lupa bahwa ada publik yang akan melihat dan mengapresiasi. Kealpaan inilah yang akhirnya membuat -seringkali- ada jurang begitu dalam yang sulit sekali dilalui. Jembatan untuk menyebrangi jurang itu pun sepertinya sulit untuk dibangun.

Namun kealpaan yang dilakukan para seniman itu bisa jadi bukan hal yang disengaja. Terkadang, mungkin saja, memang amat sulit untuk menerjemahkan sebuah bahasa. Proses penerjemahan itu sejatinya tidak hanya terjadi secara literal, tetapi juga sangat kontekstual. Proses itu akan bergantung pada dari mana kata itu berasal, atau dimana kata itu diucapkan.

Oleh karena itu, untuk membuat jembatan yang mampu menjangkau kedua belah pihak antara si kreator (seniman) atau khalayak, perlu effort yang cukup besar dari kedua belah pihak. Masing-masing harus memahami posisinya. Si kreator pun harus memiliki tujuan jelas. Jika ia sengaja menampilkan karya dengan bahasa yang sulit untuk dipahami, maka dia harus memiliki argumentasi mengapa ia berkreasi demikian. Sementara itu untuk penikmat karya, ia harus memahami bahwa ruang seni adalah ruang merdeka. Ketika ia masuk ke dalamnya, berbagai hal yang samar serta abu-abu itu adalah bagian dari pelegitimasian ruang itu. Jika ruang ini tidak berbeda dan sama dengan arus utama, maka ruang ini tidak akan menjadi merdeka untuk berbeda. Penikmat harus mau membuka diri, serta tidak buta visual. Ia harus mampu memaknai berbagai rupa dalam ruang tersebut yang dibentuk dengan nilai-nilai artistik.

----
Akhirnya, saya berefleksi seperti ini; membangun jembatan adalah pekerjaan rumah yang tidak mudah. Salah satu jembatan yang paling dikenal dan menjadi hal yang paling umum untuk menyampaikan sesuatu adalah bahasa. Ia adalah medium populer dan bentuknya pun bisa beragam.
Membicarakan bahasa bukanlah hal mudah. Elemennya begitu banyak dan sangat interpretatif, tergantung siapa yang membahasnya. Ia sangat kultural, dengan ragam kode yang saling berpaut. Masing-masing pemilik bahasa, harus saling memahami kode yang ada. Jika tidak, maka sudah pasti akan terjadi hambatan komunikasi. Pesan yang ingin disampaikan pun bisa tidak tersampaikan.

Sejatinya bahasa adalah masalah kesepakatan. Sebuah tanda dalam bahasa bisa bermakna karena ada hal-hal yang disepakati. Kesepakatan itulah yang memberi imajinasi dalam pikiran kita. Kita bisa membayangkan balon sebagai benda ringan yang melayang di udara, karena seluruh komunitas pemakai bahasa tersebut sepakat tentang imajinasi yang dimunculkan oleh kata balon itu. Ada semacam kesepakatan sosial serta pranata yang mengaturnya.

Dalam pembahasan mengenai bahasa yang amat njelimet serta penuh dengan konsep dan teori, seorang ahli linguistik bernama Saussure membedakan bahasa dengan wicara (speech atau parole). Dalam konteks wicara, subjektivitas si penutur wicara amat kental. Berbeda dengan bahasa yang sifatnya lebih objektif. Objektivitas inilah yang membuat bahasa bisa berperan sebagai pranata sosial serta nilai. 

Objektivitas itulah yang dimunculkan dari sebuah kesepakatan. Untuk memunculkan kesepakatan tersebut maka diperlukan keterlibatan dari semua pihak yang berjalan dalam medan yang bersangkutan. Jika ada yang tidak sepaham dengan kode-kode dalam bahasa itu, maka sangat mungkin, bahasa yang digunakan tidak akan efektif. Ketidaksepahaman dengan kode-kode itulah yang menimbulkan semacam jarak, atau lag dalam sebuah proses komunikasi.

Mungkin itulah yang terjadi dalam konteks diri saya dengan dunia seni rupa ini. Ada sejumlah kode dalam bahasa di medan seni rupa yang belum saya pahami. Jadi bagaimana mau menjadi akrab, jika bahasa nya saja tidak dimengerti. Untuk bisa menggenapi kesepakatan antara ruang yang berbeda, memang harus ada kerendahhatian dari masing-masing pihak untuk membuka diri. Jika ada salah satu pihak yang sudah berpikir tentang jarak, dan mencap dirinya berbeda sehingga mengganggap yang lain tidak setara, maka tidak mungkin kesepakatan itu bisa terwujud.

Kesepakatan itu adalah jembatan yang saya bicarakan di atas. Membangun jembatan itu artinya membangun kesepakatan bersama. Jika diterjemahkan secara sederhana, membangun jembatan itu artinya, membuka diri secara utuh, mau membongkar mitos di kepala, serta mau berkawan dengan ruang-ruang yang berbeda tanpa prejudice atau stereotipe di kepala. Salah satu cara yang cukup menarik adalah seperti yang sudah dilakukan Cemeti Institut ini, menghelat proses residensi dengan melibatkan persona-persona yang berbeda medan ‘tempurnya’.

Akhirnya, catatan panjang ini sebenarnya semacam catatan personal untuk saya sendiri. Sebuah catatan yang membantu saya untuk berefleksi mengapa saya seringkali canggung jika bermain-main di medan-medan yang berbeda, terutama seni rupa atau medan yang kesannya punya stempel eksklusif.

Pringgolayan, Juli 2017
Lucia dianawuri.


Bacaan
Turning Targets 25 Tahun Cemeti
ST. Sunardi, Semiotika Negativa, Yogyakarta: Kanal, 2002.






Comments

Popular posts from this blog

Di Belakang Film The Mission : Ketika “si Putih” bekerja dengan “si Merah”.

Sedikit Pengantar Film adalah sebuah karya yang tidak mungkin dikreasi sendirian. Ia muncul menjadi semacam perhelatan bersama berbagai elemen di balik layar serta di depan layar yang pada akhirnya menjadi sebuah konsumsi publik. Film berangkat dari sebuah kerja yang solid antar berbagai individu yang sejatinya memiliki visi dan tujuan sama. Tanpa ada kerja yang benar-benar rekat antar berbagai elemen, seperti para aktor, sutradara, teknis produksi ataupun produser, maka sulit dibayangkan akan tercipta sebuah film yang layak untuk ditonton. Lalu bagaimana jika sebuah film digarap oleh berbagai elemen yang masing-masing memiliki stereotipe-stereotipe yang membuat salah satu diantara mereka menjadi “yang lain”. Predikat “yang lain” inilah yang akhirnya menjadi semacam standar bagi para kru film ini untuk memperlakukan si “yang lain” ini dengan berbeda. Inilah yang jadi begitu menarik dan terlihat jelas dalam “dapur” sebuah film garapan sutradara peraih Oscar, Roland Joffe.”Yang lai

Dunia Diane Arbus, Dunia Sunyi Yang Eksentrik

http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Diane-Arbus.html Saya adalah penggemar karya foto yang memotret manusia tepat pada matanya. Bagi saya, mata itu adalah ruang yang mampu berbicara banyak tentang diri. Ia adalah ruang kosong tempat segala pedih, atau keriaan yang jujur tersimpan. Salah seorang fotografer yang saya kagumi karena  mampu menangkap ruang jujur itu adalah Diane Arbus. Ruang-ruang jujur yang tertangkap kamera itu lah yang membuat karya Diane begitu intim. Seperti ada kedekatan yang tidak artifisial. Dalam setiap bidikannya, Diane mampu menangkap mata dengan begitu telanjang. Mungkin juga karena Diane dan subjeknya sesungguhnya tidak berjarak. Bisa jadi, Diane dan subjek foto itu adalah bagian dari masing-masing. Jangan-jangan yang Diane foto adalah proyeksi tentang dirinya sendiri. Siapakah Diane Arbus ? Diane lahir dengan nama Diane Nemerov pada 14 Maret 1923 di New York. Diane berasal dari kalangan menengah New York. Ia adalah putri Gertrude

Sesudah Melihat 'The Last Temptation Of Christ'

Apreasiasi luar biasa (dan sungguh terlambat) untuk Martin Scorsese, yang masih tetap nekat mengadaptasi novel kontroversial Nikos Kazantzakis ke dalam media film. Ya, saya memang sangat terlambat untuk benar-benar memaknai film ini. Setelah menyaksikan untuk yang ketiga kali tanpa ketiduran (haha), saya akhirnya mampu merefleksi film ini secara lebih personal. Pada saat novel The Last Temptation of Christ terbit tahun 1953, novel ini begitu banyak mengundang kontroversi. Novel ini juga seringkali masuk dalam daftar buku yang dilarang. Sumber kontroversi utama dari buku ini (dan berikutnya film ini), adalah pada dekonstruksi (atau mungkin bisa disebut sebagai refleksi personal) Nikos atas tokoh suci umat Kristen, Yesus, serta kisah penebusan oleh Yesus yang sudah didogmakan dalam Injil. Maafkan karena saya belum membaca novelnya. Oleh karena itu, saya hanya bisa merefleksi film garapan Scorsese yang sempat mendapat nominasi Academy Award untuk kategori Sutradara Terbaik.