Skip to main content

Tamasya "Ngeng" Dalam Lautan Gambar

Setiap hari kita melihat dan mengalami puluhan, bahkan ribuan gambar. Kita diserbu oleh gambar-gambar yang memadati ruang hidup tanpa bisa mengelaknya. Gambar-gambar itu akhirnya menjadi realitas kita sehari-hari. Yang nyata adalah yang ada di lautan gambar itu. Yang nyata adalah rentetan gambar di televisi, majalah, dunia daring, atau yang tertempel di jalanan. Serangan ribuan gambar itu menjadi hal yang lumrah, kita melihat, kemudian menyerapnya dalam kesadaran, namun sayangnya banyak dari kita lama-kelamaan menjadi bebal. Makna tidak lagi terlihat dalam gambar-gambar itu. Beberapa diantaranya terkadang lepas dari konteksnya, ia tidak berarti, ia menjadi sampah.

Sama seperti hidup. Hidup sejatinya adalah sebuah rentetan gambar bergerak dengan segala dinamikanya. Terkadang beberapa bagiannya kehilangan makna. Kita terlalu sibuk, terlalu cepat, dan tidak benar-benar menikmati. Kita lupa bertamasya. Akibatnya, hidup sekedar menjadi rutinitas yang harus mau tidak mau- kita jalani.

Tentu tidak ada yang salah dari hal itu. Rutinitas adalah bagian yang sangat biasa dari hidup. Tidak ada salahnya menjalani hal-hal yang rutin. Dan tidak melulu yang rutin itu tidak menyenangkan. Bagi sebagian orang rutinitas adalah pilihan, tetapi bagi sebagian yang lain, rutinitas adalah "kewajiban”, dan yang wajib inilah yang mengkhawatirkan. Menjadi mati rasa adalah acaman terbesar. Seperti robot, kita berjalan berdasar perintah program yang ter-install dalam benak dan sudah terlanjur menubuh”. Kita lebih sering lupa dengan hal-hal yang sesungguhnya membuat kita bergariah atau bahagia.

Dari situlah ngeng bermula. Ngeng adalah bunyi di dalam kepala Djaduk. Bunyi itu muncul ketika ia merasa menemukan sesuatu. Seperti teriakan Eureka, atau punctum atau seperti Decisive Moment ala Cartier Bresson. Kira-kira itulah padanan terdekat yang dapat ditemukan. Ngeng” adalah  awal mula  foto-foto dalam ruang pamer ini.

“Ngeng” dipilih Djaduk sebagai metode, alat dan pegangan untuk menjalani hidup. Untuk menciptakan apa saja yang bermakna. Bermakna bagi diri, lalu pada akhirnya bagi semesta yang lebih besar. Ngeng  semacam perpaduan antara roso dan pikir. Ia sulit dinarasikan, tetapi bisa dirasakan. Dan menurut Djaduk, hanya orang-orang yang sudah melewati fase-fase tertentu dalam hidup yang benar-benar bisa menyadari akan hadirnya ngeng itu.

Gambar-gambar yang dipamerkan ini semacam ajakan Djaduk bagi para hadirin untuk bersama-sama mengalami "ngeng" nya masing-masing, karena tiap "ngeng" adalah personal bagi tiap empunya. Djaduk ingin mengajak kita bersama-sama meretas bunyi "ngeng" yang memang harus kita temukan terlebih dahulu. "Meretas" artinya, kita mencoba membedah bunyi yang muncul, mencari asal mulanya, mendedah bagaimana hal-hal yang sulit dijelaskan bisa menjadi bunyi "ngeng".

Meretas bunyi juga bisa berarti sebuah upaya untuk “mewujudkan” sesuatu yang semula tidak berwujud menjadi bunyi yang sangat sederhana, namun sarat makna. Bunyi yang hanya terdiri dari satu suku kata itu bahkan telah menjadi cara, metode atau semacam peta menuju ke hal-hal yang lebih dalam.

Inilah yang dilakukan Djaduk Ferianto. Ia ingin mengajak siapapun yang hadir untuk mengalami proses retasan itu. Proses yang pada akhirnya tidak hanya tentang bunyi, tetapi tentang hidup itu sendiri. Lewat gambar-gambar hitam putih yang terpampang di ruang pamer ini, Djaduk ingin mengatakan bahwa semua karya yang ia hasilkan memiliki imajinasinya” masing-masing. Ada cerita dan makna yang amat  personal.

Pergulatannya dengan ranah seni tradisi lah yang membuat Djaduk terlatih “untuk mendedah dan mengolah imajinasi-imajinasi itu. Dari ranah itu pula Djaduk melihat seni sebagai hal yang tidak berbatas. Seni tentu saja berkelindan dengan teknologi, dan Djaduk memilih kamera untuk mewujudkan imajinasi itu menjadi visual yang terkumpul dalam perpustakaan ngeng nya Visual yang bukan sekedar melulu estetis. Ada hal yang mendasari dan  melampauinya. Itulah wujud nyata  ngeng.

"Ngeng" yang mewujud dalam foto-foto ini adalah cara Djaduk mengatakan bahwa fotografi hanya menjadi medium, alat untuk mengasah kepekaannya terhadap apapun. Dengan fotografi pula,” Djaduk mengasah ngeng nya. Sebuah upaya ulang alik yang ia lakukan agar dapat berkomunikasi secara baik melalui karyanya.

"Sudah sejak lama alat ini menjadi bagian utuh dari kedirian Djaduk yang juga seorang musisi, seniman teater, dan perupa. Baginya, fotografi tidak berbeda dengan gamelan atau kuas yang telah lebur dalam keseharianya. Sesuatu yang sudah natural dan bukan hal yang luar biasa. Saya merasa kehilangan jika saya tidak menangkap setiap momen yang lewat di depan saya melalui kamera saya, kata Djaduk.
 Pada akhirnya, lewat pameran ini, Djaduk ingin mengajak kita semua bertamasya. Tamasya untuk mencari "ngeng" kita masing-masing di tengah lautan gambar yang kita alami sehari-hari. Gambar-gambar dalam ruang pamer ini adalah adalah cara Djaduk mengatakan bahwa ini adalah ngeng saya, dan tiap dari kita adalah pemilik ngeng yang khas dan personal. Tiap ngeng yang kita temukan adalah tamasya yang menyegarkan, serta mencerahkan.


Penulis: Lucia Dianawuri
Kurator: Doni Maulistya
Seniman: Djaduk Ferianto

catatan: tulisan ini saya buat untuk pameran foto Meretas Bunyi karya Djaduk Ferianto yang berlangsung di Bentara Budaya Yogyakarta 15-23 Desember 2018

Comments

Popular posts from this blog

Di Belakang Film The Mission : Ketika “si Putih” bekerja dengan “si Merah”.

Sedikit Pengantar Film adalah sebuah karya yang tidak mungkin dikreasi sendirian. Ia muncul menjadi semacam perhelatan bersama berbagai elemen di balik layar serta di depan layar yang pada akhirnya menjadi sebuah konsumsi publik. Film berangkat dari sebuah kerja yang solid antar berbagai individu yang sejatinya memiliki visi dan tujuan sama. Tanpa ada kerja yang benar-benar rekat antar berbagai elemen, seperti para aktor, sutradara, teknis produksi ataupun produser, maka sulit dibayangkan akan tercipta sebuah film yang layak untuk ditonton. Lalu bagaimana jika sebuah film digarap oleh berbagai elemen yang masing-masing memiliki stereotipe-stereotipe yang membuat salah satu diantara mereka menjadi “yang lain”. Predikat “yang lain” inilah yang akhirnya menjadi semacam standar bagi para kru film ini untuk memperlakukan si “yang lain” ini dengan berbeda. Inilah yang jadi begitu menarik dan terlihat jelas dalam “dapur” sebuah film garapan sutradara peraih Oscar, Roland Joffe.”Yang lai

Dunia Diane Arbus, Dunia Sunyi Yang Eksentrik

http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Diane-Arbus.html Saya adalah penggemar karya foto yang memotret manusia tepat pada matanya. Bagi saya, mata itu adalah ruang yang mampu berbicara banyak tentang diri. Ia adalah ruang kosong tempat segala pedih, atau keriaan yang jujur tersimpan. Salah seorang fotografer yang saya kagumi karena  mampu menangkap ruang jujur itu adalah Diane Arbus. Ruang-ruang jujur yang tertangkap kamera itu lah yang membuat karya Diane begitu intim. Seperti ada kedekatan yang tidak artifisial. Dalam setiap bidikannya, Diane mampu menangkap mata dengan begitu telanjang. Mungkin juga karena Diane dan subjeknya sesungguhnya tidak berjarak. Bisa jadi, Diane dan subjek foto itu adalah bagian dari masing-masing. Jangan-jangan yang Diane foto adalah proyeksi tentang dirinya sendiri. Siapakah Diane Arbus ? Diane lahir dengan nama Diane Nemerov pada 14 Maret 1923 di New York. Diane berasal dari kalangan menengah New York. Ia adalah putri Gertrude

Sesudah Melihat 'The Last Temptation Of Christ'

Apreasiasi luar biasa (dan sungguh terlambat) untuk Martin Scorsese, yang masih tetap nekat mengadaptasi novel kontroversial Nikos Kazantzakis ke dalam media film. Ya, saya memang sangat terlambat untuk benar-benar memaknai film ini. Setelah menyaksikan untuk yang ketiga kali tanpa ketiduran (haha), saya akhirnya mampu merefleksi film ini secara lebih personal. Pada saat novel The Last Temptation of Christ terbit tahun 1953, novel ini begitu banyak mengundang kontroversi. Novel ini juga seringkali masuk dalam daftar buku yang dilarang. Sumber kontroversi utama dari buku ini (dan berikutnya film ini), adalah pada dekonstruksi (atau mungkin bisa disebut sebagai refleksi personal) Nikos atas tokoh suci umat Kristen, Yesus, serta kisah penebusan oleh Yesus yang sudah didogmakan dalam Injil. Maafkan karena saya belum membaca novelnya. Oleh karena itu, saya hanya bisa merefleksi film garapan Scorsese yang sempat mendapat nominasi Academy Award untuk kategori Sutradara Terbaik.