Skip to main content

Memotret Eksotisme Dengan Empati


Catatan: 
*Tulisan ini saya tulis untuk dimuat di Destin Asia edisi Juli-September 2019. 
*Tulisan di blog ini adalah versi sebelum diedit oleh saya karena harus memenuhi batas kuota halaman dari Destin Asia, serta diedit kembali oleh Editor in Chief Destin Asia. 


Kamera adalah medium yang ‘penuh dengan risiko’. Medium ini bisa membentuk realitas, dan  pada beberapa kesempatan bisa “mengusik kenyataan orang lain.”  “To photograph people is to violate them,...” kata Sontag dalam bukunya, On Photography.[1] Ketika kita memotret orang lain (semesta yang lain), berarti kita sedang, atau sudah mengganggu mereka, atau -mungkin saja- melanggar batas-batas privasi mereka.  

Tindakan memotret juga mampu mengubah subjek yang kita foto menjadi objek, dan secara simbolik apa yang kita potret itu menjadi milik kita. “...it turns people into objects that can be symbolically possessed.[2] Yang kita potret itu menjadi beku, dan tersimpan dalam kamera kita. Memotret juga mampu “membunuh” seseorang yang dipotret. Kamera “menyublim” menjadi senjata, ketika medium itu berada dalam genggaman seseorang. Kamera membunuh kedirian, yang tadinya subjek menjadi objek. Membuat yang kita foto menjadi “liyan” sesuai dengan apa yang kita ingin gambarkan. Just as a camera is a sublimation of the gun, to photograph someone is a subliminal murder - a soft murder, appropriate to a sad, frightened time.”[3]

Di era awal ketika kamera datang ke Nusantara, sejumlah manusia yang memegang kamera, telah membekukan “wajah Nusantara.” Ketika Woodbury and Page[4] mengeksploitasi Nusantara dengan kamera, wajah “bumi rempah” merambah luas menjalari Eropa dan belahan-belahan dunia yang belum pernah melihat tanah Jawa. Hal ini juga dilakukan oleh Kassian Cephas.[5] Sebagai seorang juru foto Keraton, ia mengabadikan wajah Keraton Jogja, menjadi rupa eksotis bagi para penikmatnya.[6]
Mooi Indie[7] pun menjangkiti dunia, khususnya Eropa. Wajah-wajah eksotis ala kepulauan “Timur Jauh” tertempel pada pikir dan ruang-ruang imaji mereka. Perempuan berkulit sawo matang, legam bercahaya tertimpa sinar mentari, payudara ranum tak terbungkus, sawah nan hijau terhampar luas. Semua gambaran itu begitu berjarak bagi orang-orang di belahan dunia berbeda yang sering kali tertutup salju. Mooi Indie menjadi begitu indah, dan begitu eksotis. Selalu menarik untuk dipandang, dikunjungi, tanpa benar-benar terlibat masuk dalam lumpur dan jelaganya.
Semua bangsa-bangsa poskolonial[8] pasti memahami hal  ini. Kita punya imaji-imaji yang sudah meluruh dalam kesadaran –menubuh- tentang apa yang dianggap cantik atau sedap dipandang. Ini adalah gejala umum dimana yang lain memandang “yang berbeda” menjadi sebuah objek yang menarik untuk dilihat, lalu diabadikan. “Yang berbeda” dan menarik untuk divisualkan itulah yang disebut “eksotis”.

Imaji ini beku dalam ingatan, juga dalam kertas-kertas foto. Kita punya gambaran baku yang disebut cantik, atau sebaliknya. Juga gambaran baku yang disebut modern, dan sebaliknya. Fotografi membentuk gambar-gambar itu. Eksotisme itu “menubuh” dan mengendap dalam kepala. Kita acap tidak sadar menjadi bagian darinya, dan menjadi orang-orang yang merayakannya.

Kebanyakan dari kita, jika mendengar kata Asia, maka yang terlintas adalah benua penuh bumbu,  dunia ketiga, miskin, dan penuh warna eksotis. Dan jika mendengar Eropa, yang terlintas adalah peradaban maju, modernitas, warna-warna putih dan bersih. Sama seperti jika kita mendengar kata Papua, maka yang terlintas adalah koteka, atau gambaran tentang sebuah suku adat yang dekat dengan hutan belantara. Begitu juga jika kita mendengar Jakarta, maka yang akan terlintas adalah sebuah kota metropolitan yang berisi manusia-manusia modern serba sibuk. Pada masing-masing, menempel stereotip-stereotip yang meluruh dengan kesadaran. Ketika salah satu pihak memegang kamera, maka gambar yang akan tercipta adalah gambar-gambar yang sesuai dengan imaji si pemegang kamera. Gambar-gambar itulah yang akan menjadi realita.

Tidak ada yang salah dengan eksotisme yang “menubuh” itu. Apalagi itu sudah menjadi hal yang dianggap kewajaran. Belum tentu juga hal itu merugikan. Namun bayangkan saja jika kondisinya semacam ini. Kita  berkunjung ke rumah orang lain, lalu tidak mengikuti -atau paling tidak, tahu - aturan dasar di rumah itu, misalnya kalau masuk rumah tertentu harus melepas sepatu. Kita yang serba tidak tahu -atau jangan-jangan tidak mau tahu- asal masuk rumah itu, bersepatu tanpa mengindahkan si pemilik rumah. Rasa-rasanya kurang tepat jika itu kita lakukan.

Jika kita berempati dengan si pemilik rumah, tentu sebelum bertandang, kita akan memberi amunisi kepada kepala kita, sehingga bisa memahami konteks ruang yang kita kunjungi. Jika sudah mengerti, tentu kita akan berkunjung dengan hati lega, karena tidak ada yang mengganjal dengan si pemilik rumah.  Sama seperti ketika kita memotret. Dengan pengetahuan akan konteks yang difoto, dan empati pada yang kita foto, maka kita akan meminimalisir risiko yang bisa muncul akibat senjata yang kita pakai itu. Ketika hasil foto berada di ruang publik, ia menjadi alat yang bisa “mengganggu,” bagi yang melihat. Objek dalam gambar yang telah beku itu, akan berbicara lewat suara orang lain dengan ragam interpretasi. Dan inilah yang mengandung risiko besar. 

Sekali lagi, “memotret orang itu berarti ‘melanggar’ ruang mereka.” Kita masuk dan mencampuri ruang-ruang personal, dan ruang publik mereka. Ini yang dimaklumi oleh seorang fotografer senior, Don Hasman. Dalam sebuah wawancara[9] ia mengatakan, “untuk memotret diperlukan etika. Sebagai tamu kita juga harus punya tujuan yang baik, dan menjelaskan dengan jujur mengenai tujuan datang ke daerah mereka.” Yang paling penting adalah, kita harus tahu bahwa tidak semua orang, atau semesta lain, bisa menerima apa yang kita anggap  kebenaran, sebagai kebenaran bagi mereka juga.




[1] Sontag, On Photography, hal 14
[2] Ibid, hal 14
[3] Ibid,  hal 14-15
[4] Woodbury and Page adalah dua fotografer asal Australia yang pergi ke Batavia untuk berbisnis foto studio. Mereka membuka studio foto di Batavia pada tahun 1857. Studio foto mereka bertahan hingga awal abad ke 20, dan menjadi salah satu cikal bakal perkembangan fotografi di Indonesia, yang ketika itu masih berada di bawah kekuasaan Hindia Belanda. https://photographyindonesia.wordpress.com/2011/09/09/woodbury-and-page/
[5] Dikenal sebagai fotografer pertama dari kalangan pribumi.Menurut Gerrit Knaap dalam Cephas, Yogyakarta: Photography in the Service of the Sultan (1999), “Kassian Cephas dilatih sebagai fotografer sejak 1861 hingga 1871 […] Dia mungkin ditunjuk sebagai pelukis istana dan fotografer (oleh Sultan) pada awal tahun 1871.” https://tirto.id/kassian-cephas-bumiputera-pertama-yang-jadi-fotografer-csF6
[6] Ketika itu, hanya kalangan tertentu yang bisa menikmati fotografi. Yang memiliki privilege untuk bisa menikmati foto adalah hanya kalangan Eropa, dari kalangan orang Cina, serta bangsawan
[7] Istilah Mooi Indie berasal dari bahasa Belanda. Dalam bahasa Indonesia, “mooi” berarti cantik atau molek atau jelita. Sedangkan Indie berarti Hindia atau wilayah Nusantara yang kini disebut Indonesia. Istilah ini pada mulanya dikenal dari dunia seni lukis. Pelukis Sudjojono lah yang mempopulerkan istilah ini pada 1930. Pada saat itu ia memakai istilah “mooi indie” untuk menyebut karya lukis yang menggambarkan pemandangan-pemandangan di Hindia atau Indonesia yang serba indah, damai, dan tenteram. Meski istilah ini baru populer pada 1930-an, lukisan jenis naturalistik “mooi indie” ini sebenarnya sudah dilakukan oleh pelukis Raden Saleh yang mengenalkan gaya naturalistik di lukisannya pada abad 19. https://lukisanku.id/pengertian-seni-lukis-mooi-indie-di-indonesia/
[8] Poskolonial sebagai sebuah kajian muncul pada 1970-an. Studi poskolonial di Barat salah satunya ditandai dengan kemunculan buku Orientalisme (1978) karya Edward Said yang kemudian disusul dengan sejumlah buku lainnya yang masih terkait dengan perspektif Barat dalam memandang Timur. Seperti yang diungkap Said dalam Orientalisme, ada sejumlah karya sastra dalam dunia Barat yang turut memperkuat hegemoni Barat dalam memandang Timur (Orient). Sejumlah karya seni itu telah melegitimasi praktik kolonialisme bangsa Barat atas kebiadaban Timur. Penjajahan adalah sesuatu yang alamiah, bahkan semacam tugas bagi Barat untuk memberadabkan bangsa Timur. (dikutip dari artikel Poskolonial: Sebuah Pembahasan, oleh Nurhadi, http://staffnew.uny.ac.id/upload/132236129/penelitian/POSKOLONIAL+SEBUAH+PEMBAHASAN.pdf). Dalam konteks ini, bangsa-bangsa poskolonial berarti bangsa-bangsa yang pernah mengalami penjajahan oleh bangsa Barat, dan masih merasakan dampaknya pada berbagai lini kehidupan.
[9] http://destinasian.co.id/menyelami-etnofotografi-bersama-sang-maestro/

Comments

Popular posts from this blog

Di Belakang Film The Mission : Ketika “si Putih” bekerja dengan “si Merah”.

Sedikit Pengantar Film adalah sebuah karya yang tidak mungkin dikreasi sendirian. Ia muncul menjadi semacam perhelatan bersama berbagai elemen di balik layar serta di depan layar yang pada akhirnya menjadi sebuah konsumsi publik. Film berangkat dari sebuah kerja yang solid antar berbagai individu yang sejatinya memiliki visi dan tujuan sama. Tanpa ada kerja yang benar-benar rekat antar berbagai elemen, seperti para aktor, sutradara, teknis produksi ataupun produser, maka sulit dibayangkan akan tercipta sebuah film yang layak untuk ditonton. Lalu bagaimana jika sebuah film digarap oleh berbagai elemen yang masing-masing memiliki stereotipe-stereotipe yang membuat salah satu diantara mereka menjadi “yang lain”. Predikat “yang lain” inilah yang akhirnya menjadi semacam standar bagi para kru film ini untuk memperlakukan si “yang lain” ini dengan berbeda. Inilah yang jadi begitu menarik dan terlihat jelas dalam “dapur” sebuah film garapan sutradara peraih Oscar, Roland Joffe.”Yang lai

Dunia Diane Arbus, Dunia Sunyi Yang Eksentrik

http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Diane-Arbus.html Saya adalah penggemar karya foto yang memotret manusia tepat pada matanya. Bagi saya, mata itu adalah ruang yang mampu berbicara banyak tentang diri. Ia adalah ruang kosong tempat segala pedih, atau keriaan yang jujur tersimpan. Salah seorang fotografer yang saya kagumi karena  mampu menangkap ruang jujur itu adalah Diane Arbus. Ruang-ruang jujur yang tertangkap kamera itu lah yang membuat karya Diane begitu intim. Seperti ada kedekatan yang tidak artifisial. Dalam setiap bidikannya, Diane mampu menangkap mata dengan begitu telanjang. Mungkin juga karena Diane dan subjeknya sesungguhnya tidak berjarak. Bisa jadi, Diane dan subjek foto itu adalah bagian dari masing-masing. Jangan-jangan yang Diane foto adalah proyeksi tentang dirinya sendiri. Siapakah Diane Arbus ? Diane lahir dengan nama Diane Nemerov pada 14 Maret 1923 di New York. Diane berasal dari kalangan menengah New York. Ia adalah putri Gertrude

Sesudah Melihat 'The Last Temptation Of Christ'

Apreasiasi luar biasa (dan sungguh terlambat) untuk Martin Scorsese, yang masih tetap nekat mengadaptasi novel kontroversial Nikos Kazantzakis ke dalam media film. Ya, saya memang sangat terlambat untuk benar-benar memaknai film ini. Setelah menyaksikan untuk yang ketiga kali tanpa ketiduran (haha), saya akhirnya mampu merefleksi film ini secara lebih personal. Pada saat novel The Last Temptation of Christ terbit tahun 1953, novel ini begitu banyak mengundang kontroversi. Novel ini juga seringkali masuk dalam daftar buku yang dilarang. Sumber kontroversi utama dari buku ini (dan berikutnya film ini), adalah pada dekonstruksi (atau mungkin bisa disebut sebagai refleksi personal) Nikos atas tokoh suci umat Kristen, Yesus, serta kisah penebusan oleh Yesus yang sudah didogmakan dalam Injil. Maafkan karena saya belum membaca novelnya. Oleh karena itu, saya hanya bisa merefleksi film garapan Scorsese yang sempat mendapat nominasi Academy Award untuk kategori Sutradara Terbaik.