Skip to main content

Selfie itu Piknik

Siapa yang tidak mati rasa jika setiap hari ‘dihujani’ oleh ribuan gambar. Gambar-gambar yang  akhirnya  menjadi cermin bagi yang melihat. Cermin tentang yang ideal dan tentang yang tidak. Apalagi gambar-gambar itu adalah beraneka wajah milik beragam manusia dengan senyum merekah bahagia. 

Bukankah kita selalu bercermin pada yang lain? 

Dan ketika cermin-cermin itu berhamburan, sangat wajar jika kita jadi limbung dan tersesat.Seperti si Narcissus versi interpretasi ulang McLuhan yang saya kutip dari The Allure of the Selfie ditulis oleh Brooke Wendt ;

Narcissus, he reminds us, means numbness, which he results from viewing one’s reflection as a form of misrecognition. In contrast to the common understanding of the Narcissus myth, McLuhan observes that Narcissus did not fall in love with himself; rather he was numb to his image and could not recognize his reflection as his own. Narcissus thought his image was that of another. For example, when we unexpectedly encounter ourselves in a mirror, we can be jarred by the figure that confronts us. In this brief moment of confusion and shock, our reflection appears to be familiar and unfamiliar, perhaps even otherworldly. Shortly after, however, we realize the image to be our own. Narcissus, McLuhan tells us, did not have this realization.

Brooke Wendt mencoba melihat mitologi Yunani tentang Narcissus ini dari sisi yang berbeda, dari sisi McLuhan. Menurut McLuhan, Narcissus bukannya jatuh cinta pada bayangannya dirinya, tetapi sebenarnya ia mati rasa pada gambar wajahnya itu. Ia pun tidak dapat mengenali bayangan dirinya sendiri. Seperti ketika kita melihat cermin, kita bisa saja tiba-tiba merasa bingung, bahkan shock karena refleksi di cermin itu bisa menjadi sangat familiar atau bahkan tidak bisa kita kenali sama sekali. Namun tidak berapa lama, biasanya kita akan langsung menyadari bahwa bayangan di cermin itu adalah kita sendiri. Dan menurut McLuhan, Narcissus tidak memiliki kesadaran seperti itu. Hal itulah yang menyebabkan ia terus kebingungan dan akhirnya mencapai titik frustasi.  

Di saat kita diserbu oleh cermin-cermin itu, tentu sangat wajar jika kita selalu ingin mencari sejatinya kita. Apakah seorang perempuan kelas menengah yang begitu bahagia duduk di warung kopi, ataukah seorang perempuan petualang yang begitu bahagia menikmati keindahan alam dari ketinggian gunung. Berbagai gambaran itu terus menyerbu, dan kita diharapkan menjadi salah satunya. Kita diharapkan mencipta imaji semacam itu secara mandiri, lalu turut dalam perayaan itu dengan menyebarkannya. Teknologi pun merespon hal itu, lalu menciptakan medium yang mampu mewujudkannya secara mudah dan terjangkau. Lalu terciptalah sosial media. Platform ini ternyata begitu laku, bahkan mampu merevolusi banyak kebudayaan manusia.

Mati rasa, dan keinginan untuk menciptakan imaji yang sempurna seperti sudah menjadi hal yang mekanik. Mengambil foto diri secara mandiri lalu mengunggahnya dalam sosial media adalah hal lumrah. Seperti sebuah keseharian yang tidak perlu lagi ditanya alasannya. Setiap satu foto tercipta maka akan ada ketidakpuasan. “Aku ingin menghasilkan yang lebih bagus dari ini,” “aku ingin seperti cermin yang lain yang bentuknya lebih sempurna dari ini.” Lama-lama kita (mungkin jadi) lupa akan kesejatian kita. Oleh karena itu, seberapa kalipun kita mengambil gambar diri, kita tidak akan pernah merasa sanggup untuk berhenti.  

Aktivitas memotret diri sendiri itu pun populer dengan sebutan selfie. Oxford Dictionaries bahkan memilih ‘selfie’ sebagai kata pilihan versi mereka untuk tahun 2013. Selfie dicatat sebagai foto diri yang diambil secara mandiri, dan biasanya dengan menggunakan smartphone atau webcam serta diunggah ke media sosial.

Selfie pertama kali yang sempat tercatat terjadi pada tahun 1839. Ketika itu seorang ahli kimia amatir dan pecinta fotografi bernama Robert Cornelius melakukan gaya foto ala ‘selfie’. Ketika itu Robert menggunakan Daguerreotype -kamera pertama yang dipatenkan. Pada era Daguerreotype, melakukan selfie tentu bukan hal yang mudah, karena ukuran alatnya sangat besar. Selain itu, Dagureotype masih menggunakan plat untuk menangkap lukisan dari cahaya itu. Dengan beragam kualitas yang dimiliki oleh Dagureotype, butuh waktu lama serta proses yang tidak mudah untuk bisa melihat hasil foto-foto yang medium itu tangkap. Ini tidak seperti yang terjadi di era sekarang, hasil selfie dapat segera, dan dengan mudah dilihat atau diapresiasi.

Mungkin saja ketika itu Robert hanya ingin bereksperimen dengan alat barunya. Mungkin saja alasannya tidak rumit  -apapun itu- ia sekadar ingin coba-coba. Tidak ada alasan lebih dari itu. Medium fotografi yang ketika itu baru saja ditemukan, membuat medium ini menjadi hal yang tidak umum bagi kebanyakan orang. Kemudian hal-hal yang lebih dari sekadar mendokumentasikan, sepertinya belum benar-benar terpikirkan.

Namun jaman bergulir dan berubah. Semangat jamannya pun berbeda. Alasan sekadar coba-coba, sepertinya tidak lagi jadi satu-satunya. Antara 1950-an dan 1960-an, khususnya di Amerika, medium fotografi menjadi semakin populer. Kamera menjadi semakin kecil, lebih mudah dan lebih terjangkau. Kamera menjadi alat dengan beraneka fungsi. Kamera akhirnya masuk ke hampir seluruh ranah kehidupan manusia. Kamera menjadi alat dokumentasi momen paling populer. Medium ini menjadi sangat penting dalam dunia jurnalistik.

Kemampuan kamera yang mampu mendokumentasikan momen juga digunakan untuk mendokumentasikan momen-momen yang dianggap penting, semisal pernikahan, ulang tahun atau kematian. Kamera akhirnya juga dapat dijangkau oleh orang-orang kebanyakan. Siapapun dapat memegang dan menggunakan kamera. Tidak perlu menjadi profesional, para amatir dengan kamera juga semakin banyak, termasuk para seniman, yang menggunakan kamera sebagai alat ekspresi, serta sarana berkisah.

Pada era 1950-an dan 1960-an itu di Amerika ada Vivian Maier yang kerap melakukan selfie, namun Vivian yang kelahiran Perancis itu tidak pernah mempublikasikan karya-karyanya ke publik. Selama ia masih aktif memotret, Vivian hanya menumpuk negatif-negatif film yang sudah ia gunakan tanpa pernah memprosesnya. “Dunia” baru menemukan karya-karyanya ketika ia sudah meninggal. Selain Vivian Maier, juga ada sejumlah fotogafer dan  seniman foto, salah satunya Cindy Sherman yang menggunakan selfie sebagai cara mengekspresikan apa yang ia rasa dan pikirkan. Cindy adalah seorang kelahiran Amerika yang memotret dirinya sendiri dalam beragam kostum. Dalam karya-karyanya itu, Cindy berubah menjadi orang yang ia tampilkan dalam kostum yang ia kenakan. Terkadang ia menjadi seorang make up artist, penata rambut, penulis, sutradara atau menjadi seorang model profesional.

Kemudian di jaman sosial media sekarang ini, selfie menjadi kegiatan sehari-hari yang tampak lumrah. Tentu amat berbeda jika dibandingkan dengan era 1950 – 1960-an saat itu. Apalagi jika dibandingkan dengan ketika kamera pertama kali dipatenkan. Ketika itu sosial media masih jauh dari bayangan, kata-kata selfie pun belum menjadi istilah sehari-hari.

Lalu apakah memang mati rasa itu yang membuat manusia masa kini jadi begitu keranjingan dengan selfie. Bisa saja demikian, tetapi (jangan-jangan) selfie adalah momen piknik. “But, essentially the camera makes everyone a tourist in other people’s reality, and eventually in one’s own. (On Photogaphy, 57).  Ketika memegang kamera, orang menjadi “turis”, ia menjadi pengunjung dari realita orang lain, bahkan pada akhirnya menjadi pengunjung dari realita yang ia ciptakan sendiri. Seperti halnya ketika seseorang sedang berpiknik, ia sejatinya sedang menciptakan realita baru sebagai upaya menciptakan kebahagiaan. Dan upaya penciptaan kebahagiaan itu dilakukan melalui medium kamera. Dalam konteks selfie, kamera adalah medium atau perpanjangan tangan dari “sesuatu” yang disebut sebagai “kebahagiaan”. Kebahagiaan yang subjektif bagi tiap persona. Klise memang, tetapi saya sepakat dengan terma ini. Bagi sebagian orang, sekedar bisa piknik dengan cara mudah, murah dan meriah, sudah bisa menjadi jalan menuju kebahagiaan.

Piknik atawa pergi sebentar untuk berwisata amat beragam pada tiap persona dan sangat mungkin dilakukan dalam jarak dekat. Piknik itu tidak perlu jauh membelah benua, semisal piknik dengan cara pergi sebentar dari realita keseharian, seperti membayang-bayang diri menjadi cantik nan rupawan. Membayangkan diri dalam wujud berbeda dan mencipa realita lain di kepala, lalu memencet tombol Klik, adalah piknik terjangkau karena hanya sepersekian detik hasil bayang-bayang dalam wujud selfie yang sudah diberi puluhan layer filter pemanis wajah itu bisa mewujud. Dan dalam hitungan detik pula hasil selfie itu bisa viral, melanglang buana membelah belantara dunia yang tak berbatas. Hanya dengan sekali pencet di ponsel, citra wajah hasil reka-reka kita sudah berwisata jauh, hingga entah kemana. Bagi manusia sekarang, hal semacam itu bisa disebut sebagai pikinik, karena dengan melakukan hal semacam itu, kegembiraan bisa diraih dengan cara yang amat sederhana.
 
Salah satu ruang piknik dari kegiatan semacam itu adalah sosial media. Kini sosial media seperti sudah menjadi media yang tak terbayangkan lagi batasannya. Apapun ada dan bisa terjadi di ruang maya itu. Piknik dalam segala rupa bisa terjadi di ruang itu. Namun terkadang batas-batas antara yang personal dan yang privat menjadi begitu blur. Kini manusia makin sering berbenturan dengan cermin-cermin dirinya yang bisa begitu berbeda dari satu persona ke persona yang lain. Cermin-cermin diri itu adalah gambar-gambar visual yang menyerbu ruang maya kita secara besar-besaran. Dari cermin-cermin itu kita seperti merasa ada gambar-gambar ideal yang –mau tidak mau- seperti harus dipenuhi, juga ada gambar-gambar yang tidak ideal, yang dengan susah payah dihindari.

Dan untuk memenuhi imaji ideal itu ada cara mudah yang kini banyak dilakukan oleh manusia masa sekarang, ... lewat selfie itu tadi. Dengan kemajuan teknologi yang serba luar biasa dan tak terbendung, selfie kini bisa menghasilkan citra-citra sempurna bak model. Ponsel-ponsel pintar masa kini memiliki fitur-fitur canggih yang yang mampu mengakomodir (secara sesaat) keinginan orang-orang, misalnya saja, wajah lebih tirus, kulit lebih halus dan lebih putih. Semua hal itu mampu diakomodir dalam sebuah selfie yang hanya dihasilkan dalam waktu sepersekian detik.

Apakah itu karena mati rasa atau karena butuh piknik, manusia -kita- terkadang berimajinasi menjadi sesuatu yang lain. Menjadi sesuatu yang terkadang sulit sekali terjangkau oleh kita sendiri. Selfie mewujudkan itu. Kita memotret diri kita sendiri, kemudian melihatnya kembali agar imaji kesempurnaan itu bisa terpenuhi, paling tidak dalam bayangan kita. Dan, sepertinya, sadar tidak sadar, lewat selfie kita menciptakan counter-counter terhadap cermin yang ada di luar diri kita. 

Sebuah piknik dalam rangka bertahan dari dunia yang rentan membuat kita -manusia- mati rasa.   





referensi 

Sontag, Susan, On Photography, Farrar, Straus and Giroux, 1977.
Wendt Brooke, The Allure of the Selfie: Instagram and the New Self-potrait, Amsterdam: Institute of Network Cultures, Hogeschool van Amsterdam, 2014. 









Comments

Popular posts from this blog

Di Belakang Film The Mission : Ketika “si Putih” bekerja dengan “si Merah”.

Sedikit Pengantar Film adalah sebuah karya yang tidak mungkin dikreasi sendirian. Ia muncul menjadi semacam perhelatan bersama berbagai elemen di balik layar serta di depan layar yang pada akhirnya menjadi sebuah konsumsi publik. Film berangkat dari sebuah kerja yang solid antar berbagai individu yang sejatinya memiliki visi dan tujuan sama. Tanpa ada kerja yang benar-benar rekat antar berbagai elemen, seperti para aktor, sutradara, teknis produksi ataupun produser, maka sulit dibayangkan akan tercipta sebuah film yang layak untuk ditonton. Lalu bagaimana jika sebuah film digarap oleh berbagai elemen yang masing-masing memiliki stereotipe-stereotipe yang membuat salah satu diantara mereka menjadi “yang lain”. Predikat “yang lain” inilah yang akhirnya menjadi semacam standar bagi para kru film ini untuk memperlakukan si “yang lain” ini dengan berbeda. Inilah yang jadi begitu menarik dan terlihat jelas dalam “dapur” sebuah film garapan sutradara peraih Oscar, Roland Joffe.”Yang lai

Dunia Diane Arbus, Dunia Sunyi Yang Eksentrik

http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Diane-Arbus.html Saya adalah penggemar karya foto yang memotret manusia tepat pada matanya. Bagi saya, mata itu adalah ruang yang mampu berbicara banyak tentang diri. Ia adalah ruang kosong tempat segala pedih, atau keriaan yang jujur tersimpan. Salah seorang fotografer yang saya kagumi karena  mampu menangkap ruang jujur itu adalah Diane Arbus. Ruang-ruang jujur yang tertangkap kamera itu lah yang membuat karya Diane begitu intim. Seperti ada kedekatan yang tidak artifisial. Dalam setiap bidikannya, Diane mampu menangkap mata dengan begitu telanjang. Mungkin juga karena Diane dan subjeknya sesungguhnya tidak berjarak. Bisa jadi, Diane dan subjek foto itu adalah bagian dari masing-masing. Jangan-jangan yang Diane foto adalah proyeksi tentang dirinya sendiri. Siapakah Diane Arbus ? Diane lahir dengan nama Diane Nemerov pada 14 Maret 1923 di New York. Diane berasal dari kalangan menengah New York. Ia adalah putri Gertrude

Sesudah Melihat 'The Last Temptation Of Christ'

Apreasiasi luar biasa (dan sungguh terlambat) untuk Martin Scorsese, yang masih tetap nekat mengadaptasi novel kontroversial Nikos Kazantzakis ke dalam media film. Ya, saya memang sangat terlambat untuk benar-benar memaknai film ini. Setelah menyaksikan untuk yang ketiga kali tanpa ketiduran (haha), saya akhirnya mampu merefleksi film ini secara lebih personal. Pada saat novel The Last Temptation of Christ terbit tahun 1953, novel ini begitu banyak mengundang kontroversi. Novel ini juga seringkali masuk dalam daftar buku yang dilarang. Sumber kontroversi utama dari buku ini (dan berikutnya film ini), adalah pada dekonstruksi (atau mungkin bisa disebut sebagai refleksi personal) Nikos atas tokoh suci umat Kristen, Yesus, serta kisah penebusan oleh Yesus yang sudah didogmakan dalam Injil. Maafkan karena saya belum membaca novelnya. Oleh karena itu, saya hanya bisa merefleksi film garapan Scorsese yang sempat mendapat nominasi Academy Award untuk kategori Sutradara Terbaik.