Skip to main content

Catatan yang Sentimental tentang ‘Manusia, Gunung, dan Laut’

catatan: Tulisan ini saya buat untuk kawan saya Rony Zakaria yang beberapa waktu sebelum buku fotonya Man, Mountain and Sea terbit, meminta saya untuk memberi tanggapan atas karyanya itu. 


Bolehlah jika saya disebut sebagai melodramatik atau desperately romantic, saya sungguh tidak percaya ada yang kebetulan. Bagi saya semuanya adalah rangkaian kisah yang serba ajaib dan terkadang tidak bisa dijelaskan. Pasti ada maksudnya.

Termasuk pertemuan saya dengan Rony beberapa waktu lalu di Jogja.  Saya yakin, yang kemarin itu bukan sebuah kebetulan. Dan benar, rupanya pertemuan itu adalah awal dari sebuah kerja penulisan.

Ketika itu Ronny membawa soft copy bakal bukunya berjudul Man, Mountains and the Sea. Foto-foto hitam putih itu langsung memukau saya. Rasanya seperti ada yang begitu familiar. Rasa akrab yang muncul ketika saya melihat laut dan gunung. Rasa rindu pada yang tak berbatas,  juga tak terjangkau, termasuk juga rasa asing pada sesuatu yang misteri dan tak terduga.

Dan ini adalah maksud mengapa saya dipertemukan dengan Rony. Saya yang begitu mencintai laut dan gunung, akhirnya bisa mengapresiasi karya yang berbicara tentang manusia, dan dua hal yang sangat spiritual itu. Jadi ini bukan kebetulan. Mereka adalah tanda bahwa ini adalah sesuatu yang sudah diatur.

Projek ini dimulai pada tahun 2008. Itu adalah saat pertama kali saya bertemu dengan Rony.  Kami bertemu di kontrakan kawan di Jogja. Kedatangan Ronny ke Jogja ketika itu juga menjadi awal dari projek panjang  Man, Mountains and the Sea.

Semenjak pertemuan itu, kami berteman baik. Beberapa kali kemudian, kami sempat bersua fisik. Terkadang di Jogja, Jakarta, Bali, atau pernah bersama-sama dalam road trip mobil antara Jogja-Malang-Bali. Namun seringkali perjumpaan kami hanya lewat sosial-media. Perbincangan paling menyenangkan antara saya dan Rony tentu saja fotografi. Tetapi hal-hal yang sangat remeh pun selalu menarik, dan kadang bisa menjadi begitu panjang hingga tak habis-habis.

Dari perbincangan serta perjumpaan dengan Rony itu, saya tahu Rony itu seorang pejalan. Ia seorang petualang yang terkadang amat gelisah. Kurang lebih kami berbagi melankolia itu.  Dan, setelah beberapa lama tidak bersua fisik, Ronny mengoleh-olehi karya tentang laut, gunung dan manusia nya itu. Saya pun terhanyut di dalamnya.

 ….

Ketika saya mengarungi lautan gambar itu, saya seperti mengarungi ingatan serta berbagai rasa yang serba akrab.  Dalam karya itu, manusia, laut dan gunung seperti saling berpadu. Bagi Rony, gunung adalah sesuatu yang amat misterius. Ia bisa merasakan hal yang tidak terjelaskan ketika berada di atas puncak gunung. Itu persis rasa yang muncul ketika ia berada di Merapi.  Lalu ketika ia melanjutkan perjalanannya ke Timur, Bromo, ia juga menemukan rasa yang persis sama.

Saya bisa merasakan dari catatan visualnya di buku itu, bagi Rony, gunung bukan sekedar gundukan tanah atau campuran material vulkanik yang saling melebur. Gunung adalah ruang suci yang penuh dengan interaksi manusia serta berbagai semesta penghuninya. Gunung adalah semesta spiritualitas yang mewujud dalam berbagai ritual, serta tindak-tanduk keseharian orang-orang yang hidup di sekitarnya. 

Gunung adalah ‘Bapak’ yang maskulin, dan saya bisa merasakan kembali rasa itu dari foto-foto Rony. Gunung adalah semesta yang gagah dan terkadang bisa begitu gahar ketika ia sedang memuntahkan cairan intinya. Gunung adalah ‘Bapak’ yang tegar dan kuat, dan seperti seorang Bapak, ia memberikan hidup dan kemakmuran pada anak-anak yang berada dalam lindungannya.     

Ingatan saya ketika sempat berada di Merapi, Merbabu, Bromo dan Semeru pun muncul kembali. Saya ingat, betapa gunung adalah ruang suci yang terus dihidupi. Di gunung, manusia yang hidup di sekitarnya, seperti merayakan sebuah perjalanan. Perjalanan menuju pada ruang kosong yang serba tidak pasti.

Yang saya maklumi hingga saat ini, begitulah jejak spiritualitas setiap manusia. Semua adalah perjalanan. Tampaknya itulah yang juga dimaklumi oleh Rony. Ia seperti mencuplik fragmen perjalanan spiritualnya dalam buku ini, dan saya selalu yakin apa yang kita proyeksikan pada sesuatu adalah cermin diri kita. Begitu juga buku ini.

Sesudah berjalan di gunung, lalu ia menuju laut. Sebuah ranah spiritual yang lain. Laut adalah sebuah hamparan ketidaktahuan yang serba luas dengan atmosfer yang berbeda dari gunung. Laut adalah ruang besar yang tak berbatas. “Kamu merasakan hal yang berbeda jika melihat laut Lus,” ucap Rony suatu ketika.

Ya, Laut adalah Ibu, sesuatu yang feminin. Seperti layaknya seorang ibu, laut adalah sesuatu yang indah, menyenangkan. Ada energi yang begitu lembut dan mengayomi. Di tepiannya kita menjadi begitu gembira. Bermain di pantainya, bercumbu dengan pasirnya, dan tidak takut berlama-lama di situ. Laut adalah ibu yang memeluk anak-anaknya dengan gembira dan penuh kasih.

Pada pantai dan laut yang ia alami dalam perjalanan itu, Rony turut merasakan energi yang dibangun dan dihidupi oleh masyarakat pendukungnya. Laut adalah pusat energi. Laut adalah tempat mereka melabuh beban, dan mengirimkan harapan kepada yang tak berbatas.

Laut juga menjadi sumber kehidupan bagi sejumlah masyarakat dengan tradisi perburuan. Lewat tradisi semacam itu, manusia-manusia yang hidup dekat dengan laut itu mewujudkan rasa syukurnya pada Ibu Bumi -Ibu Pertiwi-. Mereka memanfaatkan tanpa serakah, seperlunya, apa yang diberi oleh Sang Ibu kepada mereka.

Tradisi yang diwujudkan lewat ritual itu adalah semacam dialog dengan semesta laut. Termasuk tindak-tanduk keseharian mereka adalah bentuk komunikasi yang sudah diajarkan sejak ribuan tahun oleh para leluhur. Mengelola apa  yang mereka terima dari alam semesta adalah bentuk syukur. Lewat berbagai tradisi yang sudah dihidupi ratusan tahun , manusia-manusia yang hidupnya dekat dengan laut itu, mengingat kembali betapa kecil dan beruntungnya mereka di hadapan semesta.

Begitulah manusia-manusia di sekitar gunung dan laut memaknai ruang-ruang itu. Seperti layaknya sebuah perjalanan yang mencoba melihat, lalu akhirnya memahami apa yang dialami orang lain yang tidak pernah benar-benar menjadi bagian dari semesta hidup kita. Dalam perjalanan ke ruang-ruang yang berbeda itu, kita bertemu dengan beragam manusia yang cara hidupnya berbeda, termasuk cara mereka memandang dunia. Perbedaan itu pasti mengesankan, sekaligus, mungkin saja, bisa mengguncang dunia kita yang selama ini tidak pernah mengalami yang berbeda. Pengalaman dengan yang berbeda itulah yang membuat kita bisa menelisik diri sendiri. Mencari diri sampai ke titik horison tidak berbatas, atau hingga jauh menembus puncak tertingi Ibu Pertiwi.

 

Entah,…dan terserah. Siapa yang bisa mengatur perjalanan personal seseorang? siapa yang bisa mendikte perjalanan spiritualitas seseorang yang terkadang sulit dinarasikan? Dan siapa yang boleh mengatakan bahwa manusia tidak boleh terus gelisah pada diri, dan mencari hal yang tak berwujud itu?

Bagi saya, pertemuan dengan Rony dan Man, Mountains and The Sea -nya ini adalah sebuah pertemuan yang sudah direncana semesta. Pertemuan ini adalah bagian dari perjalanan saya sendiri. Karya itu adalah cermin. Saya melihat sebuah kegelisahan. Saya juga melihat seseorang yang sedang mencoba menjawab kegelisahannya itu, dan saya merasakan hal itu sebagai hal yang sangat spiritual. Lewat cermin itu saya pun menulis. Saya menguliti kembali makna spiritualitas yang amat personal. Term yang sulit saya pahami dengan pikir, tetapi bisa saya rasakan dalam batin.

  

Lucia Dianawuri

si pemberi catatan, tinggal di Jogja, 2017

 

 

 

 

 

 

Comments

Popular posts from this blog

Di Belakang Film The Mission : Ketika “si Putih” bekerja dengan “si Merah”.

Sedikit Pengantar Film adalah sebuah karya yang tidak mungkin dikreasi sendirian. Ia muncul menjadi semacam perhelatan bersama berbagai elemen di balik layar serta di depan layar yang pada akhirnya menjadi sebuah konsumsi publik. Film berangkat dari sebuah kerja yang solid antar berbagai individu yang sejatinya memiliki visi dan tujuan sama. Tanpa ada kerja yang benar-benar rekat antar berbagai elemen, seperti para aktor, sutradara, teknis produksi ataupun produser, maka sulit dibayangkan akan tercipta sebuah film yang layak untuk ditonton. Lalu bagaimana jika sebuah film digarap oleh berbagai elemen yang masing-masing memiliki stereotipe-stereotipe yang membuat salah satu diantara mereka menjadi “yang lain”. Predikat “yang lain” inilah yang akhirnya menjadi semacam standar bagi para kru film ini untuk memperlakukan si “yang lain” ini dengan berbeda. Inilah yang jadi begitu menarik dan terlihat jelas dalam “dapur” sebuah film garapan sutradara peraih Oscar, Roland Joffe.”Yang lai

Dunia Diane Arbus, Dunia Sunyi Yang Eksentrik

http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Diane-Arbus.html Saya adalah penggemar karya foto yang memotret manusia tepat pada matanya. Bagi saya, mata itu adalah ruang yang mampu berbicara banyak tentang diri. Ia adalah ruang kosong tempat segala pedih, atau keriaan yang jujur tersimpan. Salah seorang fotografer yang saya kagumi karena  mampu menangkap ruang jujur itu adalah Diane Arbus. Ruang-ruang jujur yang tertangkap kamera itu lah yang membuat karya Diane begitu intim. Seperti ada kedekatan yang tidak artifisial. Dalam setiap bidikannya, Diane mampu menangkap mata dengan begitu telanjang. Mungkin juga karena Diane dan subjeknya sesungguhnya tidak berjarak. Bisa jadi, Diane dan subjek foto itu adalah bagian dari masing-masing. Jangan-jangan yang Diane foto adalah proyeksi tentang dirinya sendiri. Siapakah Diane Arbus ? Diane lahir dengan nama Diane Nemerov pada 14 Maret 1923 di New York. Diane berasal dari kalangan menengah New York. Ia adalah putri Gertrude

Sesudah Melihat 'The Last Temptation Of Christ'

Apreasiasi luar biasa (dan sungguh terlambat) untuk Martin Scorsese, yang masih tetap nekat mengadaptasi novel kontroversial Nikos Kazantzakis ke dalam media film. Ya, saya memang sangat terlambat untuk benar-benar memaknai film ini. Setelah menyaksikan untuk yang ketiga kali tanpa ketiduran (haha), saya akhirnya mampu merefleksi film ini secara lebih personal. Pada saat novel The Last Temptation of Christ terbit tahun 1953, novel ini begitu banyak mengundang kontroversi. Novel ini juga seringkali masuk dalam daftar buku yang dilarang. Sumber kontroversi utama dari buku ini (dan berikutnya film ini), adalah pada dekonstruksi (atau mungkin bisa disebut sebagai refleksi personal) Nikos atas tokoh suci umat Kristen, Yesus, serta kisah penebusan oleh Yesus yang sudah didogmakan dalam Injil. Maafkan karena saya belum membaca novelnya. Oleh karena itu, saya hanya bisa merefleksi film garapan Scorsese yang sempat mendapat nominasi Academy Award untuk kategori Sutradara Terbaik.