Skip to main content

Ulasan buku “Au Loim Fain” karya Romi Perbawa

“Au Loim Fain” atau “Aku Ingin Pulang” adalah kata-kata terakhir Adelina Sau, seorang Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Desa Oenino, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Pada usia yang sangat belia, Adelina meregang nyawa di Malaysia, akibat siksaan majikannya.  

 

Kematian Adelina yang tragis dan begitu menyesakkan itu -sayangnya- menjadi gambaran kebanyakan pekerja migran Indonesia di negeri-negeri asing. Romi Perbawa menyadari hal itu. Ia ingin menyebarkan kesadaran itu ke khalayak. Ia juga ingin memberi gambaran, bagaimana orang-orang terkasih di seputar para pekerja migran itu begitu terdampak, misalnya saja anak-anak mereka.   

 

Dalam pengantarnya, Romi mengatakan, alasan utamanya menerbitkan buku ini adalah memperjuangkan kehidupan yang sehat dan pendidikan yang baik bagi anak-anak pekerja migran. Oleh karena itu, buku yang merupakan pengembangan dari workshop buku foto bersama Teun van der Heijden dan Sandra van der Doelen di JIPFest (Jakarta International Photo Festival) 2019 ini tidak hanya mengulik kisah para pekerja migran Indonesia, namun juga mengisahkan anak-anak mereka. Karya foto dokumenter ini Romi kerjakan dari kurun 2012 hingga 2019 di Indonesia, Malaysia, dan Hongkong. 

 

Romi mengawali buku ini dengan sebuah jalan setapak, yang ternyata adalah sebuah jalur tikus yang menghubungkan Entikong, Indonesia dengan Tebedu, Malaysia. Jalan ini sering menjadi jalur para pekerja migran yang tidak berdokumen resmi untuk menembus Malaysia.  Lewat lorong yang tampak sering dilalui, namun tersembunyi ini, Romi ingin membawa serta pembaca dalam perjalanannya, bertemu, berinteraksi, lalu memotret para pekerja migran, keluarga dan anak-anak mereka. Dari jalur tikus itu, perjalanan Romi sampai pada sebuah dunia pekerja migran Indonesia  dengan aktivitas kesehariannya. 

 

Di awal buku ini Romi memberi catatan, tiga perempat dari sembilan juta pekerja migran Indonesia di luar negeri merupakan pekerja berketerampilan rendah. Catatan awal itu memberi konteks dari foto-foto yang muncul setelah jalur tikus itu.  Foto-foto itu memperlihatkan para pekerja migran yang melakukan kerja-kerja di sektor informal, semacam asisten rumah tangga, pekerja di ladang sawit serta, buruh di pabrik pengolahan kayu.  

 

Dari situ, Romi terus memberi gambaran tentang bagaimana para pekerja migran ini melakukan mobilitasnya, baik itu pulang ke kampung halaman atau ketika harus kembali lagi ke negara tempat mereka bekerja. Dari foto itu terlihat bahwa aktivitas pulang dan berangkat mengais rejeki di negeri asing adalah momen dengan tantangan sendiri-sendiri. Kedua momen itu punya euforianya masing-masing. 

 

Bagi pekerja migran yang berdokumen lengkap dengan skill dan pengetahuan memadai, peristiwa berangkat adalah sebuah kesempatan mencari rejeki yang menjanjikan, walau terkadang mendebarkan karena mereka harus berhadapan dengan isu-isu kekerasan domestik yang tak kunjung selesai. Sementara itu bagi yang tidak berdokumen lengkap, peristiwa berangkat adalah hal yang sangat tidak pasti, dan membuat gelisah. Mereka harus melalui jalur tikus yang tidak mudah, serta seringkali harus melewati manusia-manusia bak lintah darat agar bisa melangkahkan kaki di negeri asing. 

 

Sementara itu peristiwa pulang tentu selalu menyisakan perasaan gembira yang terkadang campur aduk. Karena banyak yang akan bertemu dengan sumber kerinduan mereka yang sudah lama dibendung. Mereka akan bertemu keluarga, dan banyak di antara mereka yang akan bertemu dengan anak mereka yang tampak asing, karena sudah tahunan tak bersua. Bagi sebagian yang lain, peristiwa pulang adalah hal yang sangat memilukan, karena mereka pulang dalam kondisi kaku, tak bernyawa, seperti Adelia. Dinamika ‘berangkat dan pulang’ inilah yang dipotret Romi dalam karya foto dokumenter ini. Kemudian yang menjadi benang merah, sekaligus kegelisahan utamanya adalah “anak-anak”.

 

Potret Karno, seorang anak pekerja migran yang harus kehilangan masa kecilnya karena harus bekerja membiayai hidup adalah salah satu yang menyentil Romi. Semenjak memotret Karno, ia merasa harus mendedikasikan karya fotografinya untuk membantu anak-anak semacam ini. Kemudian ketika ia masuk semakin dalam dengan isu ini, Romi akhirnya bertemu dengan isu-isu serupa Karno. Anak-anak yang seharusnya besar dalam lindungan kedua orang tuanya, mendapatkan masa kecil yang menyenangkan, serta pendidikan yang memadai, tidak banyak didapatkan oleh anak-anak pekerja migran ini. Banyak yang harus lahir di negeri asing tanpa infrakstruktur kesejahteraan anak yang memadai. Bahkan ada diantara mereka harus dimohonkan statusnya sebagai pengungsi negara yang bersangkutan karena orang tuanya kehilangan paspor. 

 

Bagi Romi, hal-hal semacam ini harus disebarluaskan, walaupun bukan kenyataan yang menyenangkan. Apalagi banyak pekerja migran Indonesia yang masih dibawah umur harus mengalami deportasi. Atas nama keadilan serta penegakan hukum, mereka harus ditahan dalam tahanan imigrasi di negara asing. Romi menampilkan kegetiran itu dalam beberapa potret pekerja migran yang ditahan dalam Tahanan Sementara Sandakan, Malaysia. Potret-potret itu ia tampilkan dalam bentuk serupa klise (negatif foto). 

 

Walaupun banyak kegetiran, buku ini juga menampilkan kelegaan. Pada bagian akhir, Romi mencoba memperlihatkan bagaimana para pekerja migran yang memiliki anak, tidak selamanya bernasib buruk, dan tidak mampu melakukan tugas mereka sebagai orang tua. Sejumlah potret anak-anak pekerja migran yang berhasil mengatasi stigma dan tantangan menjadi penutup Au Loim Fain yang menampilkan kelegaan, serta harapan-harapan yang selalu ada di tiap lubang-lubang gelap. Termasuk di tengah carut marutnya kisah dan kenyataan pekerja migran Indonesia. 

 

Usaha Romi untuk mendokumentasikan isu pekerja migran Indonesia yang tampaknya tak pernah selesai ini patut diberi apresiasi. Isu pekerja migran yang bagi beberapa orang amat sensitif membuatnya menjadi hal yang tidak mudah untuk didokumentasikan. Konsistensi dan determinasi Romi menembus batas-batas negara, serta masuk sangat dalam mengikuti perjalanan para pekerja migran Indonesia dari 2012 hingga 2019 ini merupakan hal yang jarang dimiliki oleh banyak orang. Tantangan-tantangan yang cukup berat itulah yang menjadikan Au Loim Fain pada beberapa hal -sayangnya- kurang detil dan tidak terlalu runut, namun buku ini adalah dokumentasi yang sangat penting bagi masyarakat kita. Au Loim Fain -sepertinya- mampu menjadi bahan advokasi untuk memperjuangkan kesejahteraan para pekerja migran Indonesia, terutama anak-anak mereka. 

 

 

Keterangan Buku:

 

Judul 

Au Loim Fain

Karya 

Romi Perbawa

Tahun Terbit

2021

Penerbit

Yayasan Panna, Jalan Bambu Apus III No. 206, Pondok Bambu, Jakarta Timur 13430.

 

 

 

*Ditulis oleh Lucia Dianawuri

*Ulasan ini saya buat untuk bicarafoto.com, tulisan ini adalah versi sebelum diedit oleh editor bicarafoto.com

Comments

Popular posts from this blog

Di Belakang Film The Mission : Ketika “si Putih” bekerja dengan “si Merah”.

Sedikit Pengantar Film adalah sebuah karya yang tidak mungkin dikreasi sendirian. Ia muncul menjadi semacam perhelatan bersama berbagai elemen di balik layar serta di depan layar yang pada akhirnya menjadi sebuah konsumsi publik. Film berangkat dari sebuah kerja yang solid antar berbagai individu yang sejatinya memiliki visi dan tujuan sama. Tanpa ada kerja yang benar-benar rekat antar berbagai elemen, seperti para aktor, sutradara, teknis produksi ataupun produser, maka sulit dibayangkan akan tercipta sebuah film yang layak untuk ditonton. Lalu bagaimana jika sebuah film digarap oleh berbagai elemen yang masing-masing memiliki stereotipe-stereotipe yang membuat salah satu diantara mereka menjadi “yang lain”. Predikat “yang lain” inilah yang akhirnya menjadi semacam standar bagi para kru film ini untuk memperlakukan si “yang lain” ini dengan berbeda. Inilah yang jadi begitu menarik dan terlihat jelas dalam “dapur” sebuah film garapan sutradara peraih Oscar, Roland Joffe.”Yang lai

Dunia Diane Arbus, Dunia Sunyi Yang Eksentrik

http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Diane-Arbus.html Saya adalah penggemar karya foto yang memotret manusia tepat pada matanya. Bagi saya, mata itu adalah ruang yang mampu berbicara banyak tentang diri. Ia adalah ruang kosong tempat segala pedih, atau keriaan yang jujur tersimpan. Salah seorang fotografer yang saya kagumi karena  mampu menangkap ruang jujur itu adalah Diane Arbus. Ruang-ruang jujur yang tertangkap kamera itu lah yang membuat karya Diane begitu intim. Seperti ada kedekatan yang tidak artifisial. Dalam setiap bidikannya, Diane mampu menangkap mata dengan begitu telanjang. Mungkin juga karena Diane dan subjeknya sesungguhnya tidak berjarak. Bisa jadi, Diane dan subjek foto itu adalah bagian dari masing-masing. Jangan-jangan yang Diane foto adalah proyeksi tentang dirinya sendiri. Siapakah Diane Arbus ? Diane lahir dengan nama Diane Nemerov pada 14 Maret 1923 di New York. Diane berasal dari kalangan menengah New York. Ia adalah putri Gertrude

Sesudah Melihat 'The Last Temptation Of Christ'

Apreasiasi luar biasa (dan sungguh terlambat) untuk Martin Scorsese, yang masih tetap nekat mengadaptasi novel kontroversial Nikos Kazantzakis ke dalam media film. Ya, saya memang sangat terlambat untuk benar-benar memaknai film ini. Setelah menyaksikan untuk yang ketiga kali tanpa ketiduran (haha), saya akhirnya mampu merefleksi film ini secara lebih personal. Pada saat novel The Last Temptation of Christ terbit tahun 1953, novel ini begitu banyak mengundang kontroversi. Novel ini juga seringkali masuk dalam daftar buku yang dilarang. Sumber kontroversi utama dari buku ini (dan berikutnya film ini), adalah pada dekonstruksi (atau mungkin bisa disebut sebagai refleksi personal) Nikos atas tokoh suci umat Kristen, Yesus, serta kisah penebusan oleh Yesus yang sudah didogmakan dalam Injil. Maafkan karena saya belum membaca novelnya. Oleh karena itu, saya hanya bisa merefleksi film garapan Scorsese yang sempat mendapat nominasi Academy Award untuk kategori Sutradara Terbaik.