Skip to main content

::Mencari Tuhan Dalam Secangkir Teh Manis::

Seorang teman pernah berkata bahwa Tuhan hanya satu dan ia mendapatkan kesimpulan mengenai the Truth (dengan huruf T besar bukan t kecil) tersebut dari pencariannya dalam segala literatur lintas agama dan lintas kepercayaan yang selama ini ia tekuni. "Itu proses yang melelahkan karena sampai saat ini aku belum bisa mendefinisikan apa itu Tuhan, tetapi ya, Tuhan hanya satu bagiku," ujarnya. 

Buat temanku itu sangat tidak bertanggungjawab jika kita dengan segala kapasitas yang ada (seperti aksesibilitas pada buku, internet serta segala corong informasi yang ada) membuat kita berhenti untuk mencari figur Tuhan dan kemudian mempercayai pada satu keyakinan yang membuat nyaman, misalnya percaya pada Yesus, Muhammad, Budha atau seoonggok batu. 

Tapi buatku, setelah banyak persentuhanku pada katolisisme, islam, budhisme, kejawen, sedikit Hindu, konghucu, juga sedikit paganisme, buatku Tuhan tak perlu disebut dengan huruf T besar. Cukup... tuhan, karena ia bisa kutemukan dalam secangkir teh manis hangat di pagi hari yang kuminum setiap pagi di kamar kosku sambil menunggu siang menjelang. tuhan juga ada dalam semangkuk bakso atau dalam mimpi malamku, yang jelas dia tidak hanya satu, punya banyak nama, wajah, makna, tak bernama...dan yang jelas tak terdefinisi.. mmm sungguh membingungkan tapi terasa keberadaannya. 

Buatku setiap orang punya jarak pencariannya sendiri, karena manusia begitu personal. Bukan masalah aksesibiltas atau kapabilitas pencarian, tapi masalah persentuhan rasa dan historisitas yang membentuknya. Ketika seseorang mengatakan cukup pada pencariannya terhadap kebenaran atau mungkin diartikulasikan di sini sebagai tuhan, ketika ia sedang duduk di atas gunung, walau ia belum mengetahui berbagai pengetahuan yang ditulis manusia dalam bentuk literatur, maka CUKUPlah buatnya hal itu.

Comments

Anonymous said…
Nice post..Tuhan adalah pengalaman pribadi dan tidak terdefinisi:)

Popular posts from this blog

Di Belakang Film The Mission : Ketika “si Putih” bekerja dengan “si Merah”.

Sedikit Pengantar Film adalah sebuah karya yang tidak mungkin dikreasi sendirian. Ia muncul menjadi semacam perhelatan bersama berbagai elemen di balik layar serta di depan layar yang pada akhirnya menjadi sebuah konsumsi publik. Film berangkat dari sebuah kerja yang solid antar berbagai individu yang sejatinya memiliki visi dan tujuan sama. Tanpa ada kerja yang benar-benar rekat antar berbagai elemen, seperti para aktor, sutradara, teknis produksi ataupun produser, maka sulit dibayangkan akan tercipta sebuah film yang layak untuk ditonton. Lalu bagaimana jika sebuah film digarap oleh berbagai elemen yang masing-masing memiliki stereotipe-stereotipe yang membuat salah satu diantara mereka menjadi “yang lain”. Predikat “yang lain” inilah yang akhirnya menjadi semacam standar bagi para kru film ini untuk memperlakukan si “yang lain” ini dengan berbeda. Inilah yang jadi begitu menarik dan terlihat jelas dalam “dapur” sebuah film garapan sutradara peraih Oscar, Roland Joffe.”Yang lai

Dunia Diane Arbus, Dunia Sunyi Yang Eksentrik

http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Diane-Arbus.html Saya adalah penggemar karya foto yang memotret manusia tepat pada matanya. Bagi saya, mata itu adalah ruang yang mampu berbicara banyak tentang diri. Ia adalah ruang kosong tempat segala pedih, atau keriaan yang jujur tersimpan. Salah seorang fotografer yang saya kagumi karena  mampu menangkap ruang jujur itu adalah Diane Arbus. Ruang-ruang jujur yang tertangkap kamera itu lah yang membuat karya Diane begitu intim. Seperti ada kedekatan yang tidak artifisial. Dalam setiap bidikannya, Diane mampu menangkap mata dengan begitu telanjang. Mungkin juga karena Diane dan subjeknya sesungguhnya tidak berjarak. Bisa jadi, Diane dan subjek foto itu adalah bagian dari masing-masing. Jangan-jangan yang Diane foto adalah proyeksi tentang dirinya sendiri. Siapakah Diane Arbus ? Diane lahir dengan nama Diane Nemerov pada 14 Maret 1923 di New York. Diane berasal dari kalangan menengah New York. Ia adalah putri Gertrude

Sesudah Melihat 'The Last Temptation Of Christ'

Apreasiasi luar biasa (dan sungguh terlambat) untuk Martin Scorsese, yang masih tetap nekat mengadaptasi novel kontroversial Nikos Kazantzakis ke dalam media film. Ya, saya memang sangat terlambat untuk benar-benar memaknai film ini. Setelah menyaksikan untuk yang ketiga kali tanpa ketiduran (haha), saya akhirnya mampu merefleksi film ini secara lebih personal. Pada saat novel The Last Temptation of Christ terbit tahun 1953, novel ini begitu banyak mengundang kontroversi. Novel ini juga seringkali masuk dalam daftar buku yang dilarang. Sumber kontroversi utama dari buku ini (dan berikutnya film ini), adalah pada dekonstruksi (atau mungkin bisa disebut sebagai refleksi personal) Nikos atas tokoh suci umat Kristen, Yesus, serta kisah penebusan oleh Yesus yang sudah didogmakan dalam Injil. Maafkan karena saya belum membaca novelnya. Oleh karena itu, saya hanya bisa merefleksi film garapan Scorsese yang sempat mendapat nominasi Academy Award untuk kategori Sutradara Terbaik.