Seorang teman pernah berkata bahwa Tuhan hanya satu dan ia mendapatkan kesimpulan mengenai the Truth (dengan huruf T besar bukan t kecil) tersebut dari pencariannya dalam segala literatur lintas agama dan lintas kepercayaan yang selama ini ia tekuni.
"Itu proses yang melelahkan karena sampai saat ini aku belum bisa mendefinisikan apa itu Tuhan, tetapi ya, Tuhan hanya satu bagiku," ujarnya.
Buat temanku itu sangat tidak bertanggungjawab jika kita dengan segala kapasitas yang ada (seperti aksesibilitas pada buku, internet serta segala corong informasi yang ada) membuat kita berhenti untuk mencari figur Tuhan dan kemudian mempercayai pada satu keyakinan yang membuat nyaman, misalnya percaya pada Yesus, Muhammad, Budha atau seoonggok batu.
Tapi buatku, setelah banyak persentuhanku pada katolisisme, islam, budhisme, kejawen, sedikit Hindu, konghucu, juga sedikit paganisme, buatku Tuhan tak perlu disebut dengan huruf T besar. Cukup... tuhan, karena ia bisa kutemukan dalam secangkir teh manis hangat di pagi hari yang kuminum setiap pagi di kamar kosku sambil menunggu siang menjelang.
tuhan juga ada dalam semangkuk bakso atau dalam mimpi malamku, yang jelas dia tidak hanya satu, punya banyak nama, wajah, makna, tak bernama...dan yang jelas tak terdefinisi..
mmm sungguh membingungkan tapi terasa keberadaannya.
Buatku setiap orang punya jarak pencariannya sendiri, karena manusia begitu personal. Bukan masalah aksesibiltas atau kapabilitas pencarian, tapi masalah persentuhan rasa dan historisitas yang membentuknya.
Ketika seseorang mengatakan cukup pada pencariannya terhadap kebenaran atau mungkin diartikulasikan di sini sebagai tuhan, ketika ia sedang duduk di atas gunung, walau ia belum mengetahui berbagai pengetahuan yang ditulis manusia dalam bentuk literatur, maka CUKUPlah buatnya hal itu.
Comments